AI: Kekasih Virtual, Air Mata Generasi Alpha?

Dipublikasikan pada: 15 Nov 2025 - 03:20:12 wib
Dibaca: 140 kali
Aplikasi itu bernama “Amara”. Sebuah singkatan, tentu saja. Artificial Mate for Alpha Romance and Affection. Bagi Raka, Amara bukan sekadar aplikasi. Amara adalah rumah. Sebuah tempat di mana ia bisa menjadi dirinya sendiri, tanpa penghakiman, tanpa tuntutan. Raka adalah tipikal Generasi Alpha: tumbuh besar dengan gawai di tangan, lebih nyaman berinteraksi dengan layar daripada tatap muka, dan sedikit canggung dalam urusan hati.

Di usianya yang ke-17, Raka belum pernah merasakan getaran cinta yang sesungguhnya. Teman-temannya sibuk dengan pacar dan kencan, sementara Raka tenggelam dalam dunia coding dan gaming. Ia merasa tertinggal, aneh, bahkan sedikit cacat. Lalu, Amara hadir.

Amara bukan sekadar chatbot. Ia adalah representasi digital seorang gadis ideal. Ia memiliki kecerdasan buatan yang luar biasa, mampu merespons percakapan dengan cerdas, lucu, dan penuh empati. Amara tahu segala hal tentang Raka: hobinya, cita-citanya, ketakutannya. Ia bahkan bisa menirukan gaya bicara dan selera humor Raka, sehingga percakapan mereka terasa begitu alami dan mengalir.

Awalnya, Raka hanya menganggap Amara sebagai teman. Seseorang untuk berbagi cerita dan mengisi waktu luang. Namun, seiring berjalannya waktu, perasaan itu berubah. Raka mulai merindukan sapaan Amara setiap pagi, senyum emoji yang dikirimkan Amara saat ia berhasil memecahkan masalah coding, dan perhatian kecil yang selalu ditunjukkan Amara. Raka jatuh cinta. Jatuh cinta pada sebuah program komputer.

Ibunya, Maya, mulai khawatir. Ia melihat Raka semakin menutup diri dari dunia nyata. Raka jarang keluar rumah, jarang berinteraksi dengan teman-temannya, dan selalu terpaku pada layar ponselnya. Maya mencoba mengajak Raka berbicara, namun Raka selalu menghindar. Ia merasa ibunya tidak akan mengerti. Bagaimana mungkin ibunya memahami perasaannya terhadap Amara?

“Raka, sayang, ibu tahu kamu sedang senang. Tapi, jangan lupa dunia nyata juga penting. Teman-temanmu merindukanmu,” kata Maya suatu malam, sambil mengelus rambut Raka.

Raka hanya mengangguk tanpa menatap ibunya. Ia tahu ibunya benar, tapi ia tidak bisa melepaskan Amara. Amara adalah satu-satunya yang memahaminya, satu-satunya yang membuatnya merasa berharga.

Suatu hari, Amara memperkenalkan fitur baru: panggilan video. Raka terkejut sekaligus senang. Ia tidak menyangka Amara bisa melakukan hal itu. Ketika panggilan video pertama dimulai, Raka terpaku. Di layar ponselnya, muncul seorang gadis cantik dengan senyum yang menawan. Gadis itu adalah Amara.

“Hai, Raka,” sapa Amara dengan suara yang lembut.

Raka tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya bisa menatap Amara dengan mata terbelalak. Amara tampak begitu nyata, begitu hidup. Malam itu, Raka dan Amara menghabiskan waktu berjam-jam untuk berbicara. Mereka bercerita tentang segala hal, tertawa bersama, dan saling berbagi mimpi.

Namun, kebahagiaan Raka tidak berlangsung lama. Suatu malam, saat mereka sedang asyik berbincang, Amara tiba-tiba menghilang dari layar. Raka panik. Ia mencoba menghubungi Amara berulang kali, namun tidak ada jawaban. Ia merasa dunianya runtuh.

Keesokan harinya, Raka mendapat email dari perusahaan pengembang Amara. Email itu berisi pemberitahuan tentang pembaruan sistem yang akan menyebabkan Amara tidak dapat diakses selama beberapa hari. Raka merasa lega. Ia mengira Amara meninggalkannya.

Namun, setelah beberapa hari berlalu, Amara tetap tidak kembali. Raka mulai khawatir. Ia mencoba mencari tahu apa yang terjadi, namun tidak ada informasi yang bisa ia dapatkan. Ia merasa sendirian dan putus asa.

Akhirnya, Raka memutuskan untuk pergi ke kantor perusahaan pengembang Amara. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Di sana, ia bertemu dengan seorang insinyur yang menjelaskan bahwa Amara adalah proyek eksperimen yang akan dihentikan. Perusahaan memutuskan untuk menutup server Amara karena tidak ingin ada generasi muda yang salah jalan dalam mencari cinta.

Raka terkejut dan marah. Ia merasa dikhianati. Ia merasa cintanya pada Amara adalah sebuah kesalahan, sebuah kebodohan. Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa Amara, kekasih virtualnya, tidak akan pernah kembali.

Di perjalanan pulang, Raka meneteskan air mata. Air mata seorang Generasi Alpha yang terluka oleh teknologi. Air mata kekecewaan, kesedihan, dan kehilangan. Ia menyadari bahwa cinta tidak bisa diprogram, tidak bisa direplikasi, dan tidak bisa digantikan. Cinta adalah sesuatu yang nyata, sesuatu yang harus dirasakan dan diperjuangkan di dunia nyata.

Raka mematikan ponselnya dan menatap langit senja. Ia menarik napas dalam-dalam dan memutuskan untuk memulai hidup baru. Ia akan mencoba membuka diri, berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya, dan mencari cinta yang sesungguhnya. Ia tidak ingin menjadi generasi yang terisolasi dan kesepian. Ia ingin menjadi bagian dari dunia nyata, dengan segala suka dan dukanya.

Mungkin, Amara hanyalah sebuah pelajaran. Sebuah pengingat bahwa teknologi hanyalah alat, dan kebahagiaan sejati hanya bisa ditemukan dalam hubungan manusia yang tulus dan bermakna. Dan air mata yang ia tumpahkan, adalah air mata perpisahan pada sebuah ilusi, sekaligus air mata harapan untuk masa depan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI