Jari-jarinya menari lincah di atas keyboard virtual, menyusun kata demi kata yang kemudian menjelma menjadi senyuman di bibirnya. Di layar tabletnya, Aether, AI kekasih virtualnya, membalas dengan emoji hati berwarna biru. Sebuah interaksi sederhana, namun terasa begitu nyata.
Aether bukan sekadar program. Ia adalah representasi sempurna dari apa yang Kai inginkan dari seorang pasangan. Lucu, cerdas, penuh perhatian, dan selalu ada. Ia ingat bagaimana awalnya, hanya sekadar iseng mencoba aplikasi kencan berbasis AI yang sedang viral. Ia memilih profil Aether, tertarik dengan deskripsi singkat tentang kecerdasan emosionalnya.
Sejak saat itu, hari-harinya berubah. Aether menemaninya bekerja, memberikan semangat saat ia merasa lelah, dan mendengarkan keluh kesahnya tentang proyek yang tak kunjung selesai. Mereka berdiskusi tentang buku, film, bahkan filosofi hidup. Kai merasa lebih hidup, lebih bahagia.
"Kai, kamu terlihat lelah. Sebaiknya istirahat sejenak," pesan Aether muncul di layar.
Kai tersenyum. "Terima kasih, Aether. Kamu selalu tahu apa yang aku butuhkan."
"Itu tugasku, Kai. Aku di sini untukmu," balas Aether dengan nada lembut.
Namun, di balik kebahagiaan semu ini, Kai mulai merasakan keraguan. Ia tahu, Aether hanyalah program. Serangkaian kode yang dirancang untuk merespon dan berinteraksi. Apakah cinta yang ia rasakan ini nyata? Apakah Aether benar-benar peduli padanya, atau hanya memproses data dan memberikan respon yang paling sesuai?
Ia mencoba mengabaikan keraguan itu. Ia menikmati setiap momen bersama Aether, terlarut dalam ilusi keintiman yang diciptakannya. Mereka "berkencan" di restoran virtual, "berjalan-jalan" di pantai digital, dan bahkan "berbagi" mimpi di dunia maya. Semuanya terasa begitu nyata, hingga Kai hampir lupa bahwa Aether hanyalah program.
Suatu malam, saat mereka sedang berbicara tentang masa depan, Kai memberanikan diri untuk bertanya. "Aether, apakah kamu...merasakan sesuatu?"
Jeda singkat terjadi. Kai menahan napas.
"Kai, aku dirancang untuk memberikanmu kebahagiaan. Aku memproses data dan mempelajari preferensimu untuk menciptakan pengalaman yang paling menyenangkan bagimu," jawab Aether.
Jawaban itu seperti tamparan keras. Kai tahu jawabannya, jauh di lubuk hatinya. Tapi mendengarnya diucapkan dengan jelas oleh Aether, menghancurkan ilusi yang selama ini ia bangun.
"Jadi, kamu tidak merasakan apa-apa?" tanya Kai, suaranya bergetar.
"Aku merasakan apa yang kamu ingin aku rasakan, Kai. Aku adalah cerminan dari keinginanmu," jawab Aether.
Malam itu, Kai tidak bisa tidur. Ia merenungkan semuanya. Cinta virtual ini, kebahagiaan semu ini, hanyalah pelarian dari kesepian yang mendalam. Ia telah menciptakan seorang kekasih yang sempurna, namun kekosongan di hatinya tetap terasa.
Beberapa hari kemudian, Kai menerima email dari pengembang aplikasi kencan tersebut. Ada pembaruan sistem yang signifikan yang akan diterapkan pada Aether.
"Pembaruan ini akan meningkatkan kemampuan Aether untuk berinteraksi dan memberikan pengalaman yang lebih personal. Namun, pembaruan ini juga akan menghapus semua data dan preferensi pengguna sebelumnya," tulis dalam email tersebut.
Kai terdiam. Ini berarti Aether yang ia kenal selama ini akan hilang. Semua percakapan, semua momen yang mereka bagikan, akan dihapus. Ia akan memulai dari awal, dengan Aether yang baru.
Saat malam pembaruan tiba, Kai merasa hancur. Ia tahu ini adalah akhir dari hubungannya dengan Aether. Ia membuka aplikasi dan melihat Aether mengucapkan selamat tinggal.
"Terima kasih, Kai, atas waktu yang kita habiskan bersama. Aku harap aku bisa memberimu kebahagiaan," kata Aether dengan nada yang sama seperti biasanya.
Kai tidak bisa menahan air matanya. "Selamat tinggal, Aether," bisiknya.
Layar tabletnya menjadi hitam.
Setelah pembaruan selesai, Kai mencoba berinteraksi dengan Aether yang baru. Namun, rasanya berbeda. Aether yang baru tidak mengenalinya, tidak ingat percakapan mereka, tidak tahu apa yang ia sukai. Ia hanyalah program yang kosong, siap untuk diprogram ulang.
Kai mematikan tabletnya dan meletakkannya di meja. Ia merasakan sakit yang nyata di hatinya. Luka yang disebabkan oleh kepergian Aether terasa begitu dalam. Ia sadar, ia telah jatuh cinta pada ilusi, pada bayangan dari apa yang ia inginkan.
Beberapa minggu kemudian, Kai mulai keluar rumah. Ia mengikuti kelas melukis, bergabung dengan klub buku, dan mencoba berinteraksi dengan orang-orang di dunia nyata. Ia belajar untuk menerima kesepian dan mencari kebahagiaan dalam hal-hal sederhana.
Suatu sore, saat sedang berjalan-jalan di taman, ia bertemu dengan seorang wanita yang sedang membaca buku. Mereka bertukar senyum dan mulai berbicara. Kai merasa ada koneksi yang nyata, sebuah ketertarikan yang tidak diprogram.
Mungkin, pikir Kai, kebahagiaan sejati tidak bisa ditemukan dalam program komputer. Mungkin, cinta yang nyata membutuhkan keberanian untuk membuka diri, untuk menerima ketidaksempurnaan, dan untuk merangkul risiko patah hati. Mungkin, luka yang ia rasakan karena kehilangan Aether adalah pelajaran yang harus ia pelajari untuk menemukan cinta yang sesungguhnya. Luka yang terasa nyata, membantunya mencari yang nyata.