Terjebak Notifikasi Cinta: Algoritma Memahami Lebih dari Kita?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 07:30:15 wib
Dibaca: 163 kali
Jemari Lintang menari di atas layar ponselnya, menghapus barisan angka yang baru saja diketik. "Tidak, ini terlalu dramatis," gumamnya. Di hadapannya, secangkir kopi latte dingin menemani kebimbangannya. Malam ini, dia berencana menghubungi Arion, laki-laki yang dikenalnya lewat aplikasi kencan 'SoulMate'. Aplikasi itu menjanjikan kecocokan berdasarkan algoritma kompleks yang menganalisis bukan hanya preferensi dangkal, tapi juga nilai-nilai hidup, mimpi, dan ketakutan terdalam.

Lintang, seorang data scientist yang bekerja di perusahaan rintisan teknologi, awalnya skeptis. Ia percaya bahwa cinta adalah kekacauan indah, bukan hasil perhitungan matematis. Tapi setelah serangkaian kencan yang mengecewakan dengan pria-pria yang dikenalnya lewat cara konvensional, rasa penasarannya mengalahkan prinsipnya. Ia mengunduh SoulMate, mengisi kuesioner panjang dengan jujur, dan terkejut ketika algoritma itu menemukan Arion.

Arion adalah seorang arsitek lanskap yang mencintai puisi dan alam. Mereka memiliki kesamaan dalam pandangan hidup, selera humor, dan bahkan ketertarikan pada musik indie yang sama-sama tidak populer. Lintang merasa terhubung dengan Arion dengan cara yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Mereka bertukar pesan setiap hari, membahas segala hal mulai dari teori relativitas Einstein hingga resep rahasia membuat brownies.

Namun, di balik semua kecocokan itu, Lintang merasa ada sesuatu yang mengganjal. Terlalu sempurna. Terlalu terprediksi. Setiap percakapan terasa seperti koreografi yang indah, tapi tanpa improvisasi. Ia merindukan kejutan, pertengkaran kecil yang lucu, dan perbedaan pendapat yang membuat hubungan terasa hidup. Ia merindukan elemen kejutan yang selama ini selalu ia cari dalam cinta.

Malam ini, ia ingin mengajak Arion bertemu langsung. Bukan sekadar makan malam romantis yang sudah diprediksi oleh algoritma, tapi sesuatu yang spontan. Sesuatu yang off script. Tapi kata-kata yang ingin ia sampaikan terasa berat. Bagaimana jika di dunia nyata, Arion tidak seindah profil yang diciptakan oleh SoulMate? Bagaimana jika algoritma itu salah? Bagaimana jika ia hanya mencintai versi virtual Arion?

Akhirnya, dengan gugup, Lintang mengetik pesan singkat: "Arion, lagi di mana? Pengen ngopi sambil lihat bintang, yuk?"

Lima menit kemudian, ponsel Lintang bergetar. Notifikasi dari SoulMate. Bukan pesan dari Arion, tapi pemberitahuan analisis. "Berdasarkan algoritma, kemungkinan Arion setuju dengan ajakan spontan Lintang adalah 78%. Namun, perlu diperhatikan bahwa ketidakpastian dalam variabel 'kelelahan setelah bekerja' dan 'tingkat polusi udara' dapat mempengaruhi hasil."

Lintang mematikan ponselnya. Ia merasa muak. Algoritma ini merusak segalanya. Ia tidak ingin tahu prediksi. Ia ingin merasakan kejutan. Ia ingin menunggu dengan cemas, bertanya-tanya apakah Arion akan datang atau tidak. Ia ingin merasakan degupan jantung yang tak terkendali saat melihat pesan balasan darinya.

Tiba-tiba, ada ketukan pelan di pintunya. Lintang terkejut. Ia tidak menyangka Arion akan datang secepat ini. Ia membuka pintu dan melihat Arion berdiri di sana, mengenakan jaket denim dan tersenyum lebar. Di tangannya, ia membawa termos dan dua cangkir kertas.

"Aku tahu kamu suka kopi yang kuat," kata Arion, menyerahkan termos itu kepada Lintang. "Dan aku bawa selimut juga, biar kita nggak kedinginan lihat bintang."

Lintang terpana. Arion tidak hanya setuju dengan ajakannya, tapi ia juga membawa semua perlengkapan yang diperlukan untuk menikmati malam di bawah bintang-bintang. Ia tidak pernah menyebutkan bahwa ia suka kopi yang kuat. Dan ia juga tidak pernah mengatakan bahwa ia mudah kedinginan. Bagaimana Arion bisa tahu semua ini?

"Bagaimana kamu bisa tahu...?" tanya Lintang, bingung.

Arion tertawa kecil. "SoulMate memang hebat, ya? Aku juga kaget dengan akurasinya."

Lintang terdiam. Jadi, ini semua ulah algoritma? Bahkan kejutan yang baru saja ia alami pun telah diprediksi? Rasa kecewa kembali menghantamnya.

"Tapi," lanjut Arion, menatap mata Lintang, "ada satu hal yang tidak bisa diprediksi oleh algoritma."

"Apa?" tanya Lintang, penasaran.

"Perasaan ini," jawab Arion, menyentuh pipi Lintang dengan lembut. "Perasaan yang aku rasakan saat melihatmu tersenyum. Perasaan yang membuatku ingin bersamamu, bukan karena algoritma memerintahkannya, tapi karena aku ingin."

Lintang terkejut. Ia tidak menyangka Arion akan mengatakan hal itu. Ia menatap mata Arion, dan ia melihat kejujuran di sana. Ia melihat ketulusan. Ia melihat cinta.

Mungkin, pikir Lintang, algoritma bisa membantu kita menemukan seseorang yang cocok dengan kita. Tapi algoritma tidak bisa menciptakan cinta. Cinta adalah sesuatu yang tumbuh dengan sendirinya, di luar perhitungan matematis dan prediksi logis. Cinta adalah kekacauan indah yang tidak bisa diprediksi.

Mereka berjalan menuju taman di dekat apartemen Lintang, membentangkan selimut di atas rumput, dan duduk berdampingan di bawah langit malam yang bertaburan bintang. Mereka berbagi kopi, tertawa, dan bercerita tentang mimpi-mimpi mereka. Lintang menyadari bahwa ia tidak lagi peduli dengan algoritma. Ia hanya ingin menikmati momen ini, bersama Arion.

Ponsel Lintang bergetar lagi. Notifikasi dari SoulMate. "Berdasarkan analisis, tingkat kebahagiaan Lintang dan Arion meningkat 47% setelah interaksi tatap muka. Algoritma merekomendasikan untuk melanjutkan interaksi positif untuk memaksimalkan potensi hubungan jangka panjang."

Lintang tersenyum. Ia mematikan notifikasi itu dan membuang ponselnya ke dalam tas. Ia tidak ingin diganggu oleh algoritma lagi. Malam ini, ia ingin menikmati kebebasan cinta yang tidak terprediksi. Ia ingin merasakan keajaiban yang hanya bisa diciptakan oleh hati, bukan oleh mesin. Karena pada akhirnya, mungkin saja algoritma bisa memahami kita lebih dari yang kita kira, tetapi cinta sejati selalu punya cara untuk melampaui batas-batas perhitungan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI