Aplikasi kencan "SoulSync" berkedip di layar ponsel Anya. Algoritmanya, konon, mampu memetakan kecocokan jiwa berdasarkan data kepribadian, preferensi, bahkan gelombang otak. Anya skeptis, tentu saja. Di usianya yang hampir tiga puluh, ia telah mencoba segala macam aplikasi kencan, dari yang paling sederhana hingga yang paling canggih, dan hasilnya selalu sama: kencan yang canggung, percakapan hambar, atau ghosting yang menyakitkan.
Namun, rasa penasaran tetaplah lebih kuat. Lagipula, SoulSync sedang naik daun. Semua teman-temannya membicarakannya, dan beberapa bahkan mengklaim telah menemukan pasangan ideal mereka melalui aplikasi itu. Anya, yang bekerja sebagai programmer di sebuah perusahaan rintisan teknologi, merasa sedikit tertantang. Ia ingin membuktikan bahwa algoritma, secerdas apa pun, tidak akan pernah bisa menggantikan intuisi dan perasaan manusia.
Maka, dengan setengah hati, ia mengisi profilnya. Ia jujur tentang hobinya (membaca novel fiksi ilmiah, hiking di pegunungan, dan bermain catur), pekerjaannya, dan preferensinya. Ia juga menyertakan beberapa foto dirinya, yang dipilih dengan hati-hati untuk menampilkan sisi dirinya yang ceria dan percaya diri. Setelah selesai, ia menekan tombol "Sync" dan menunggu.
Tidak lama kemudian, aplikasi itu memberikan hasilnya: seorang pria bernama Revan, dengan tingkat kecocokan 98%.
Anya mengernyit. 98%? Terlalu sempurna untuk menjadi kenyataan. Ia membaca profil Revan dengan cermat. Ia juga seorang programmer, menyukai fiksi ilmiah, hiking, dan bahkan bermain catur! Foto-fotonya menunjukkan seorang pria tampan dengan senyum hangat dan mata yang cerdas. Anya merasa aneh. Ini seperti membaca deskripsi tentang dirinya dalam versi pria.
Ia memutuskan untuk mengambil risiko. Ia mengirim Revan pesan, "Hai, SoulSync bilang kita cocok 98%. Tertarik membuktikan atau menyanggahnya?"
Revan membalas hampir seketika, "Hai Anya. Aku juga merasa sedikit terkejut. Tapi kurasa satu-satunya cara untuk mengetahuinya adalah dengan bertemu. Bagaimana kalau kopi minggu depan?"
Anya setuju. Ia merasa gugup, tapi juga penasaran. Apa yang akan terjadi jika algoritma SoulSync benar? Apa yang akan terjadi jika ia benar-benar menemukan belahan jiwanya melalui aplikasi kencan?
Minggu berikutnya, Anya dan Revan bertemu di sebuah kedai kopi yang nyaman. Sejak saat mereka bertemu, Anya merasa ada sesuatu yang berbeda. Revan tidak seperti pria lain yang pernah ia kencani. Ia tidak mencoba membuatnya terkesan dengan cerita-cerita bombastis atau pujian murahan. Ia mendengarkan dengan penuh perhatian, mengajukan pertanyaan yang cerdas, dan berbagi pemikiran dan perasaannya dengan jujur.
Mereka berbicara selama berjam-jam, tentang pekerjaan mereka, hobi mereka, impian mereka, dan bahkan ketakutan mereka. Anya merasa nyaman dan tenang di dekat Revan, seolah ia telah mengenalnya seumur hidup. Ia tidak menyadari bahwa waktu telah berlalu begitu cepat sampai barista mulai membersihkan meja di sekitar mereka.
"Kurasa kita harus pergi," kata Revan, sedikit kecewa.
"Ya, kurasa begitu," jawab Anya, merasakan hal yang sama.
Sebelum berpisah, Revan bertanya, "Jadi, apa kesimpulanmu? Apakah algoritma SoulSync akurat?"
Anya tersenyum. "Aku masih belum tahu. Tapi aku tahu satu hal. Aku ingin bertemu lagi."
Revan tersenyum lebar. "Aku juga."
Mereka berkencan lagi, dan lagi. Setiap kencan semakin meyakinkan Anya bahwa Revan adalah pria yang istimewa. Mereka memiliki banyak kesamaan, tetapi mereka juga memiliki perbedaan yang saling melengkapi. Mereka menantang satu sama lain untuk tumbuh dan berkembang, dan mereka selalu ada untuk mendukung satu sama lain.
Namun, di balik kebahagiaan itu, Anya masih merasa sedikit ganjil. Ia tidak bisa sepenuhnya melupakan bahwa pertemuan mereka diatur oleh sebuah algoritma. Ia merasa seolah-olah hubungannya dengan Revan adalah hasil dari perhitungan matematis, bukan dari pilihan bebas dan perasaan yang tulus.
Suatu malam, Anya memutuskan untuk berbicara dengan Revan tentang hal itu. Mereka sedang duduk di balkon apartemen Revan, menikmati pemandangan kota yang gemerlap.
"Revan," kata Anya, ragu-ragu, "aku harus mengakui sesuatu. Aku masih merasa sedikit aneh tentang bagaimana kita bertemu. Aku merasa seolah-olah SoulSync memilihkanmu untukku, bukan aku yang memilihmu."
Revan menatap Anya dengan lembut. "Aku mengerti apa yang kamu rasakan. Aku juga sempat merasa seperti itu. Tapi kemudian aku menyadari sesuatu."
Ia meraih tangan Anya dan menggenggamnya erat. "Algoritma SoulSync mungkin telah mempertemukan kita, tapi algoritma itu tidak bisa membuat kita jatuh cinta. Itu adalah pilihan kita. Kita yang memutuskan untuk saling mengenal, untuk membuka hati kita, untuk saling mencintai. Itu bukan hasil dari perhitungan matematis, Anya. Itu adalah hasil dari perasaan kita."
Anya terdiam. Ia menatap mata Revan dan melihat ketulusan di sana. Ia menyadari bahwa Revan benar. Algoritma SoulSync hanyalah alat. Ia tidak memiliki kekuatan untuk mengendalikan perasaan manusia.
"Kamu benar," kata Anya, dengan suara bergetar. "Aku yang memilihmu. Aku memilih untuk mencintaimu."
Revan tersenyum dan menarik Anya ke dalam pelukannya. "Aku juga memilihmu, Anya. Aku memilih untuk mencintaimu dengan sepenuh hatiku."
Malam itu, Anya menyadari bahwa cinta tidak bisa direduksi menjadi kode atau algoritma. Cinta adalah sesuatu yang jauh lebih kompleks dan misterius. Ia adalah kombinasi dari kompatibilitas, ketertarikan, kepercayaan, dan tentu saja, pilihan. Algoritma SoulSync mungkin telah membantu Anya menemukan Revan, tetapi yang membuat hubungan mereka bertahan adalah cinta mereka sendiri.
Anya melepaskan keraguannya. Ia tidak lagi peduli tentang bagaimana mereka bertemu. Yang penting adalah mereka bersama, saling mencintai, dan membangun masa depan bersama. Ia percaya bahwa cinta mereka cukup kuat untuk mengatasi segala rintangan, bahkan algoritma sekalipun.
Beberapa tahun kemudian, Anya dan Revan menikah. Mereka memiliki rumah yang nyaman, pekerjaan yang memuaskan, dan kehidupan yang bahagia. Kadang-kadang, mereka bercanda tentang SoulSync, dan bagaimana algoritma itu telah mengubah hidup mereka.
Anya kemudian bekerja di SoulSync, mencoba memperbaiki algoritma dan membuatnya lebih manusiawi. Ia ingin membantu orang lain menemukan cinta, tetapi ia juga ingin memastikan bahwa mereka memahami bahwa algoritma hanyalah alat, dan bahwa cinta sejati selalu merupakan pilihan.
Suatu malam, saat mereka sedang duduk di sofa, menonton film, Revan bertanya, "Apa kamu masih skeptis tentang SoulSync?"
Anya tersenyum dan menyandarkan kepalanya di bahu Revan. "Tidak lagi. Aku sekarang percaya bahwa algoritma bisa menjadi alat yang hebat untuk menemukan cinta. Tapi aku juga percaya bahwa yang terpenting adalah hati kita sendiri."
Revan memeluk Anya erat. "Aku setuju. Dan aku sangat bersyukur bahwa algoritma itu mempertemukan kita."
Anya tersenyum dan mencium pipi Revan. "Aku juga. Tapi aku lebih bersyukur karena aku memilihmu."
Dan di malam itu, di tengah kehangatan rumah mereka, Anya dan Revan merayakan cinta mereka, sebuah cinta yang dimulai dari sebuah algoritma, tetapi tumbuh dan berkembang menjadi sesuatu yang jauh lebih indah dan abadi. Sebuah algoritma hati yang tak pernah bisa diprediksi.