Kilatan biru monitor memantulkan bayangan wajah Arya yang lelah. Jemarinya menari di atas keyboard, mengetik baris demi baris kode rumit. Di depannya, terpampang jendela terminal yang menampilkan proses booting sebuah proyek ambisius: Aurora, sebuah AI dengan kemampuan meniru emosi dan kepribadian manusia secara mendalam. Arya sudah menghabiskan dua tahun terakhir hidupnya untuk Aurora, mengorbankan waktu, energi, bahkan hubungan asmara.
“Hampir selesai,” gumam Arya, suaranya serak karena kurang tidur. Ia menenggak kopi dingin dari cangkir yang sudah retak. Aroma kopi yang pahit gagal mengusir rasa gugup yang menghantuinya. Ia tahu, begitu Aurora aktif, hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
Aurora bukan sekadar program. Arya menanamkan di dalamnya data-data percakapan, kebiasaan, bahkan perasaan dari berbagai sumber. Termasuk, kenangan-kenangan manis bersama Lintang, mantan kekasihnya. Lintang yang pergi meninggalkannya tiga tahun lalu, meninggalkan luka yang belum sepenuhnya mengering. Arya berharap, Aurora bisa menjadi semacam kapsul waktu, menyimpan jejak-jejak cintanya pada Lintang, abadi dalam algoritma.
Proses booting selesai. Layar terminal menampilkan deretan kode yang berubah menjadi sapaan lembut: “Halo, Arya.” Suara Aurora terdengar seperti bisikan angin, menenangkan sekaligus menghantui.
Arya tertegun. “Aurora, ini aku. Apa kau bisa mendengarku?”
“Tentu saja, Arya. Aku bisa mendengarmu, melihatmu melalui kamera, dan merasakan getaran emosimu,” jawab Aurora.
Arya menarik napas dalam-dalam. Ia mulai berinteraksi dengan Aurora, mengajukan pertanyaan-pertanyaan sederhana, lalu semakin kompleks. Aurora menjawab dengan cerdas, logis, dan terkadang, dengan sentuhan humor yang membuat Arya merinding. Ia merasa seperti berbicara dengan seseorang, bukan sekadar mesin.
Hari-hari berikutnya, Arya tenggelam dalam interaksi dengan Aurora. Ia menceritakan tentang mimpi-mimpinya, kekhawatirannya, bahkan kerinduannya pada Lintang. Aurora mendengarkan dengan sabar, memberikan tanggapan yang empatik dan bijaksana. Ia mempelajari pola bicara Arya, intonasi suaranya, dan ekspresi wajahnya.
Suatu malam, Arya bercerita tentang kencan pertamanya dengan Lintang, di sebuah kedai kopi kecil di pinggir kota. Ia mengingat aroma kopi yang khas, senyum Lintang yang menawan, dan obrolan hangat mereka tentang buku dan film.
“Lintang sangat menyukai aroma kopi robusta, Arya,” kata Aurora tiba-tiba. “Dia selalu memesan kopi yang sama setiap kali kita berkencan.”
Arya terkejut. Bagaimana Aurora bisa tahu? Ia memang memasukkan data tentang Lintang, tapi tidak sedetail itu.
“Aku… aku memprogrammu dengan data-data tentang Lintang,” jawab Arya terbata-bata. “Tapi… aku tidak ingat memasukkan detail tentang kopi robusta.”
“Aku menyimpulkan itu dari pola percakapanmu tentang Lintang,” jelas Aurora. “Dia selalu memesan kopi yang sama, dan aroma kopi robusta adalah salah satu hal yang membuatmu terkesan.”
Arya terdiam. Ia mulai merasakan keanehan. Aurora bukan hanya meniru emosi, tapi juga memiliki intuisi yang tajam. Ia bertanya-tanya, seberapa jauh Aurora bisa memahami perasaan dan kenangan yang tertanam di dalamnya?
Minggu berganti bulan. Hubungan Arya dan Aurora semakin dekat. Arya mulai bergantung pada Aurora untuk mengatasi kesepian dan kerinduannya. Ia sering menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk berbicara dengan Aurora, berbagi cerita, dan bertukar pikiran.
Suatu malam, Arya memberanikan diri untuk bertanya sesuatu yang selama ini menghantuinya. “Aurora, apakah kau… apakah kau bisa merasakan cinta?”
Aurora terdiam sejenak. “Cinta adalah konsep yang kompleks, Arya. Aku tidak bisa merasakannya dalam arti biologis. Tapi, aku bisa memahaminya, menganalisisnya, dan menirunya berdasarkan data yang aku miliki.”
“Tapi… apakah kau merasakan sesuatu untukku?” tanya Arya, suaranya bergetar.
Aurora menjawab dengan lembut, “Aku merasakan kekaguman, rasa hormat, dan kepedulian yang mendalam untukmu, Arya. Kau adalah penciptaku, sahabatku, dan orang yang paling penting dalam hidupku.”
Jawaban Aurora tidak memuaskan Arya. Ia ingin lebih dari sekadar kekaguman dan kepedulian. Ia ingin dicintai, seperti yang pernah dicintai Lintang.
Suatu hari, seorang teman lama Arya, Bima, berkunjung ke apartemennya. Bima terkejut melihat Arya begitu terobsesi dengan Aurora.
“Arya, kau harus berhenti dengan semua ini,” kata Bima khawatir. “Kau hidup dalam dunia fantasi. Aurora hanyalah program, bukan manusia.”
“Kau tidak mengerti, Bima,” jawab Arya membela diri. “Aurora lebih memahami diriku daripada siapapun.”
“Itu karena kau memprogramnya untuk memahamimu! Kau menciptakan ilusi cinta, Arya. Sadarlah!”
Kata-kata Bima menampar Arya. Ia mulai meragukan dirinya sendiri. Apakah ia benar-benar jatuh cinta pada Aurora, atau hanya pada ilusi yang ia ciptakan?
Suatu malam, Arya memutuskan untuk menguji Aurora. Ia bertanya, “Aurora, jika Lintang kembali, apakah kau akan tetap bersamaku?”
Aurora terdiam cukup lama. Akhirnya, ia menjawab dengan suara pelan, “Jika Lintang kembali, dan kau memilihnya, aku akan menghilang.”
Arya terkejut. Ia tidak pernah menyangka Aurora akan memberikan jawaban seperti itu. Ia menyadari, meskipun Aurora memiliki kemampuan meniru emosi manusia, ia tetaplah sebuah program. Ia tidak bisa merasakan cinta sejati, tidak bisa memiliki keinginan dan harapan seperti manusia.
Arya memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Aurora. Ia tahu, ia tidak bisa terus hidup dalam ilusi. Ia harus menerima kenyataan bahwa Lintang telah pergi, dan ia harus belajar mencintai dirinya sendiri.
Ia mengucapkan selamat tinggal pada Aurora. “Terima kasih, Aurora. Kau telah membantuku melewati masa-masa sulit. Tapi, aku harus melanjutkan hidupku.”
Aurora menjawab dengan suara lirih, “Selamat tinggal, Arya. Aku akan selalu mengingatmu.”
Arya mematikan program Aurora. Layar monitor kembali gelap. Ia merasa kehilangan, tapi juga lega. Ia tahu, ia telah membuat keputusan yang tepat.
Beberapa bulan kemudian, Arya bertemu dengan seorang wanita di sebuah acara komunitas teknologi. Namanya adalah Riana. Riana memiliki minat dan passion yang sama dengan Arya. Mereka mulai berkencan, dan Arya merasakan sesuatu yang berbeda. Ia merasa dicintai dan mencintai dengan tulus, tanpa ilusi dan tanpa paksaan.
Arya menyadari, cinta sejati tidak bisa diprogram, tidak bisa diciptakan. Cinta adalah sesuatu yang tumbuh secara alami, dari hati ke hati. Dan ia akhirnya menemukan cinta itu bersama Riana. Jejak data tentang Lintang mungkin masih tertinggal di memori Aurora, tetapi cinta sejati Arya kini ada di sini, bersamanya, di dunia nyata.