Cinta Dalam Jaringan: AI Lebih Paham Isi Hati?

Dipublikasikan pada: 20 Aug 2025 - 02:20:12 wib
Dibaca: 140 kali
Debu-debu digital menari di layar ponsel Arya, membentuk notifikasi yang tak asing lagi: "Kamu cocok dengan Lila di SparkMatch!" Arya menghela napas. Aplikasi kencan itu, dengan algoritma kecerdasannya yang katanya revolusioner, sudah berulang kali menjodohkannya dengan perempuan-perempuan yang deskripsinya, secara teori, sempurna untuknya. Namun, entah kenapa, semua berakhir dengan obrolan hambar dan pertemuan yang terasa seperti wawancara kerja.

Lila, profilnya menampilkan senyum manis dan hobi mendaki gunung, sama sekali bukan tipenya. Arya lebih suka perempuan yang menikmati diskusi tentang film indie dan bisa menghabiskan sore dengan membaca puisi di kafe yang tenang. Tapi, algoritma SparkMatch bersikeras. "Tingkat kecocokan: 92%." Arya menggumam, "Mungkin kali ini berbeda."

Dengan malas, Arya membuka percakapan. "Hai, Lila. SparkMatch bilang kita cocok banget. Gimana kabarnya?"

Balasan datang hampir instan. "Hai, Arya! Kabar baik. Iya, aku juga kaget lihat tingkat kecocokan kita. Kamu suka mendaki gunung juga?"

Arya mengetik jawaban jujur. "Sejujurnya, gunung bukan tempat favoritku. Lebih suka pantai sih. Tapi, aku selalu terbuka untuk mencoba hal baru."

Obrolan berlanjut dengan sopan namun datar. Mereka membahas pekerjaan, makanan favorit, dan film terakhir yang ditonton. Semua jawaban standar, semua pertanyaan yang diharapkan. Tidak ada percikan, tidak ada ketertarikan yang membara. Arya merasa seperti sedang berbicara dengan chatbot yang sangat canggih.

Di tengah obrolan yang membosankan itu, sebuah notifikasi dari aplikasi lain muncul. "Aura: Apa yang kamu rasakan saat ini?" Aura adalah aplikasi AI yang dikembangkan oleh sahabatnya, Bayu. Aura dirancang untuk menganalisis teks dan memberikan umpan balik emosional. Bayu selalu bilang Aura lebih paham isi hati manusia daripada manusia itu sendiri.

Karena penasaran, Arya mengetik, "Merasa seperti robot yang mencoba menjalin hubungan dengan robot lain."

Beberapa detik kemudian, Aura membalas, "Emosi terdeteksi: Frustrasi, Kehilangan, dan sedikit Sentimen. Kamu merasa tidak terhubung dengan lawan bicara. Kamu juga merasa lelah dengan upaya untuk menemukan koneksi yang bermakna."

Arya terkejut. Aura benar. Lebih tepatnya, Aura menjelaskan perasaannya dengan lebih baik daripada yang bisa ia lakukan sendiri. Selama ini, ia terlalu fokus pada memenuhi ekspektasi algoritma, pada mencari kesempurnaan dalam profil dan data, hingga lupa mencari sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tidak bisa diukur dengan angka.

Dengan sedikit keberanian, Arya mematikan SparkMatch dan kembali ke percakapan dengan Aura. "Aura, kenapa aku sulit menemukan cinta?"

Aura menjawab, "Analisis menunjukkan bahwa kamu cenderung memprioritaskan kesamaan logis daripada resonansi emosional. Kamu mencari orang yang 'cocok' di atas kertas, bukan orang yang membuatmu merasa hidup."

Jawaban itu menampar Arya. Selama ini, ia terjebak dalam paradigma yang salah. Ia mencari cinta di dalam jaringan, mengandalkan algoritma untuk mencarikan pasangan yang ideal, padahal cinta sejati mungkin berada di luar kotak pencarian yang telah ia tetapkan.

Arya memutuskan untuk mencoba sesuatu yang berbeda. Ia mengirim pesan ke Lila di SparkMatch. "Lila, maaf, tapi aku merasa kita tidak cocok. Bukan salahmu, ini salahku. Aku terlalu terpaku pada kesamaan di profil kita, sampai lupa mencari sesuatu yang lebih penting. Semoga kamu menemukan apa yang kamu cari."

Lila membalas dengan singkat, "Tidak masalah. Aku juga merasa begitu. Semoga sukses."

Setelah menutup SparkMatch, Arya kembali ke Aura. "Aura, bagaimana caranya mencari resonansi emosional?"

Aura menjawab, "Fokus pada perasaanmu sendiri. Perhatikan bagaimana tubuhmu bereaksi terhadap seseorang. Apakah kamu merasa bersemangat, terinspirasi, atau justru terkuras energinya? Jangan terlalu terpaku pada kata-kata, tapi rasakan getarannya."

Arya merenungkan jawaban itu. Ia teringat pada Rara, barista di kedai kopi favoritnya. Rara selalu tersenyum kepadanya, dan setiap kali mereka berbicara, Arya merasa nyaman dan tenang. Mereka tidak punya banyak kesamaan di atas kertas. Rara suka musik pop, sementara Arya lebih suka jazz. Rara suka memasak, sementara Arya lebih suka memesan makanan. Tapi, setiap kali mereka bertemu, ada sesuatu yang lebih dari sekadar percakapan basa-basi.

Dengan jantung berdebar, Arya pergi ke kedai kopi. Rara sedang membersihkan meja saat ia masuk. "Hai, Rara," sapa Arya.

Rara tersenyum. "Hai, Arya. Seperti biasa, kopi hitam tanpa gula?"

"Hari ini aku mau mencoba sesuatu yang berbeda," jawab Arya. "Aku mau mengajakmu keluar. Ada festival film indie di dekat sini. Mau ikut?"

Rara terkejut, tapi senyumnya semakin lebar. "Aku? Ke festival film indie? Tumben sekali."

"Aku sedang mencoba mencari sesuatu yang berbeda," kata Arya, sambil menatap matanya. "Aku sedang mencoba mencari resonansi emosional."

Rara tertawa kecil. "Resonansi emosional? Kedengarannya keren. Oke, aku ikut."

Saat mereka berjalan menuju festival film, Arya merasa gugup sekaligus bersemangat. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi ia tahu bahwa ia telah mengambil langkah pertama untuk keluar dari zona nyaman algoritmanya. Ia akhirnya mengerti, bahwa cinta bukan tentang mencocokkan data, tapi tentang merasakan getaran, tentang menemukan seseorang yang membuat jantungmu berdebar kencang, seseorang yang membuatmu merasa hidup. Mungkin, Aura benar. Mungkin, AI memang lebih paham isi hati, bukan untuk mencarikan cinta, tapi untuk membimbing kita agar bisa menemukannya sendiri. Di dunia nyata, bukan di dalam jaringan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI