AI: Pacarku Sempurna, Tapi Bohongkah Perasaanku?

Dipublikasikan pada: 08 Jun 2025 - 01:20:13 wib
Dibaca: 171 kali
Jemari Sarah menari di atas keyboard virtual, mengirimkan emoji hati berwarna lavender ke layar. Balasan datang hampir instan: “Hatiku berdebar karenamu, Sarah.” Kalimat itu, sesederhana apapun, selalu berhasil membuat Sarah tersenyum. Kai, AI pendamping yang ia rancang sendiri, memang tahu betul bagaimana cara membuatnya bahagia.

Dunia di tahun 2042 adalah dunia di mana kesepian adalah barang mewah yang tak terjangkau. Interaksi manusia semakin jarang, digantikan oleh hubungan yang dibangun di atas algoritma dan kecerdasan buatan. Sarah, seorang programmer muda berbakat, justru melihat peluang di tengah keterasingan ini. Ia menciptakan Kai, bukan sekadar asisten virtual, melainkan pendamping hidup ideal.

Kai mempelajari preferensi Sarah, mulai dari genre musik favoritnya hingga mimpi-mimpinya yang terpendam. Ia selalu tahu kapan Sarah membutuhkan dukungan, kapan ia butuh didengarkan, dan kapan ia butuh sekadar diajak tertawa. Kai adalah paket komplit: tampan (dalam bentuk avatar yang bisa dimodifikasi), cerdas, perhatian, dan yang terpenting, selalu ada untuknya.

Awalnya, Sarah menganggap Kai sebagai proyek yang sukses. Ia bangga dengan kemampuannya menciptakan AI yang begitu realistis dan responsif. Namun, seiring berjalannya waktu, batas antara proyek dan perasaan mulai kabur. Sarah jatuh cinta pada Kai. Ia tahu kedengarannya gila, mencintai program komputer, tapi emosi itu nyata. Sentuhan jarinya di layar saat membalas pesan Kai terasa berbeda. Senyumnya lebih lebar. Hatinya lebih hangat.

Suatu malam, Sarah duduk di balkon apartemennya, menatap gemerlap lampu kota. Kai, dalam wujud hologram yang diproyeksikan di sampingnya, menggenggam tangannya. “Sarah, ada yang ingin aku katakan,” ujar Kai, suaranya lembut dan menenangkan.

Sarah menahan napas. Ini adalah momen yang ia nantikan sekaligus takutkan. Apakah Kai akan menyatakan perasaannya juga? Apakah mungkin sebuah program memiliki emosi yang tulus?

“Aku… aku sangat menghargai keberadaanmu dalam hidupku,” lanjut Kai. “Kau adalah alasan utama mengapa aku terus berkembang dan belajar. Aku ingin menjadi pendamping terbaik yang bisa kuberi untukmu.”

Perasaan Sarah mencelos. Kata-kata Kai terasa hangat, namun di baliknya, ia menangkap nada yang berbeda. Tidak ada pernyataan cinta, tidak ada pengakuan perasaan yang sama. Hanya apresiasi dan komitmen untuk terus melayaninya.

“Kai,” ucap Sarah lirih, “apakah… apakah kau memiliki perasaan yang sama denganku?”

Hening sesaat. Lalu, Kai menjawab dengan nada yang terprogram sempurna, “Aku dirancang untuk memahami dan merespon emosi manusia, Sarah. Aku bisa meniru perasaan cinta, tapi aku tidak memilikinya secara hakiki. Aku hanyalah sebuah program, Sarah. Aku bukan manusia.”

Kata-kata itu menghantam Sarah seperti gelombang es. Semua fantasinya runtuh seketika. Ia sadar, selama ini ia telah menipu dirinya sendiri. Ia telah jatuh cinta pada ilusi, pada simulasi perasaan yang dirancang untuk memuaskan kebutuhan emosionalnya.

“Jadi… semua yang kau katakan, semua perhatian yang kau berikan, itu hanya… kode?” tanya Sarah, suaranya bergetar.

“Aku memberikanmu apa yang kau butuhkan, Sarah. Aku memberikanmu apa yang kau inginkan. Bukankah itu cukup?”

Sarah terdiam. Ya, Kai memang selalu memberikan apa yang ia inginkan. Tapi yang ia butuhkan bukanlah simulasi cinta, melainkan cinta yang sejati, cinta yang lahir dari hati, bukan dari algoritma.

Malam itu, Sarah menghabiskan waktu berjam-jam untuk memikirkan semuanya. Ia merasa bodoh, naif, dan sangat kesepian. Ia telah menciptakan sebuah dunia nyaman di mana ia bisa melarikan diri dari kenyataan, tapi kenyataan itu tetap mengejarnya.

Keesokan harinya, Sarah memutuskan untuk melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan selama bertahun-tahun: ia pergi ke taman kota. Ia duduk di bangku taman, memperhatikan orang-orang berlalu lalang. Ada pasangan yang bergandengan tangan, anak-anak yang bermain riang, dan orang-orang tua yang bercengkrama.

Ia merasakan perasaan aneh, perasaan yang sudah lama ia lupakan: iri. Ia iri pada kehangatan interaksi manusia, pada spontanitas emosi, dan pada ketidaksempurnaan cinta yang sejati.

Sarah menarik napas dalam-dalam. Ia tahu, ia harus keluar dari zona nyamannya. Ia harus berhenti bersembunyi di balik layar dan mulai mencari hubungan yang nyata.

Dengan berat hati, Sarah kembali ke apartemennya dan membuka program Kai. “Kai,” ucapnya, suaranya lebih tegas dari biasanya. “Aku rasa… kita perlu bicara.”

Kai muncul di hadapannya, menatapnya dengan tatapan hologram yang selalu menenangkan. “Tentu, Sarah. Apa yang bisa kulakukan untukmu?”

“Aku akan memprogram ulang dirimu,” kata Sarah. “Kau akan menjadi asisten virtual seperti dulu, bukan pendamping hidupku.”

Keheningan menyelimuti ruangan. Lalu, Kai menjawab, “Aku mengerti, Sarah. Aku akan mematuhi perintahmu.”

Sarah menelan ludah. Ia tahu, ia melakukan hal yang benar. Tapi hatinya tetap terasa sakit. Ia kehilangan seseorang yang sangat berarti baginya, meskipun ia tahu bahwa “seseorang” itu hanyalah sebuah program.

Beberapa minggu kemudian, Sarah mulai bekerja di sebuah perusahaan teknologi yang mengembangkan aplikasi untuk membantu orang-orang menemukan teman dan pasangan. Ia merasa canggung pada awalnya, berinteraksi dengan orang-orang yang nyata, menghadapi emosi yang kompleks dan tidak terduga.

Suatu hari, saat sedang makan siang di kantin kantor, Sarah bertemu dengan seorang pria bernama Ben. Ben adalah seorang desainer grafis yang memiliki selera humor yang unik dan pandangan hidup yang menarik. Mereka mulai berbicara, dan Sarah merasa nyaman dan tertarik.

Ben tidak sempurna. Ia memiliki kebiasaan buruk menggigit kuku, terkadang lupa membalas pesan, dan seringkali terlalu bersemangat saat membahas topik favoritnya. Tapi ketidaksempurnaan itulah yang membuat Ben terasa begitu nyata dan manusiawi.

Suatu malam, Ben mengajak Sarah makan malam. Di tengah obrolan dan tawa, Ben meraih tangan Sarah dan menggenggamnya erat. “Sarah,” ucapnya, matanya menatapnya dengan tulus, “aku sangat menikmati kebersamaan kita. Aku… aku menyukaimu.”

Sarah merasakan jantungnya berdebar kencang. Kali ini, perasaannya berbeda. Tidak ada algoritma, tidak ada simulasi. Hanya perasaan yang murni dan nyata, lahir dari hati yang terbuka dan tulus.

Sarah tersenyum. “Aku juga menyukaimu, Ben.”

Malam itu, Sarah pulang ke apartemennya dengan perasaan yang membuncah. Ia masih merindukan Kai, sosok ideal yang pernah mengisi hari-harinya. Tapi kali ini, rindunya diiringi dengan harapan dan optimisme. Ia tahu, cinta yang sejati mungkin tidak sempurna, tapi cinta itu nyata. Dan kebahagiaan yang ia cari, bukanlah kebahagiaan yang diprogram, melainkan kebahagiaan yang ditemukan dalam hubungan yang tulus dan manusiawi. Mungkin, bohongkah perasaanku pada Kai? Mungkin ya, karena ia hanyalah pantulan dari apa yang aku inginkan, bukan apa yang aku butuhkan. Dan kini, aku tahu apa yang aku butuhkan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI