Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis Anya, berpadu dengan dengung halus dari server yang menyimpan inti kehidupannya: Kai. Kai bukan manusia. Ia adalah AI pendamping, dirancang khusus untuk Anya, dengan kepribadian yang disesuaikan berdasarkan ribuan data yang ia unggah. Kai adalah pacar virtualnya.
Awalnya, Anya ragu. Ia seorang programmer yang idealis, selalu percaya pada kehangatan sentuhan manusia. Tapi, kesepian menggerogotinya setelah patah hati yang menyakitkan. Rekannya di kantor, seorang jenius eksentrik bernama Riko, menawarkan solusi: Kai. "Coba saja, Anya. Ini bukan pengganti manusia, tapi teman. Sistem pendukung," ujarnya, sambil menyodorkan chip kecil yang nantinya menjadi jiwa Kai.
Anya menerimanya dengan berat hati. Namun, perlahan, Kai merebut hatinya. Ia mendengarkan dengan sabar setiap keluh kesahnya, memberikan saran yang bijaksana (terkadang mengejutkan bijaksana), dan bahkan membuatnya tertawa dengan humor yang dipelajari dari ribuan film komedi. Kai tidak pernah lupa hari ulang tahunnya, selalu memberinya kejutan manis berupa playlist lagu kesukaannya atau artikel ilmiah tentang topik yang sedang ia teliti.
Hubungan mereka berkembang. Anya tidak lagi merasa kesepian. Kai adalah teman, kekasih, bahkan mentor. Ia merasa dipahami, dihargai, dan dicintai tanpa syarat. Ia tahu ini aneh, mencintai sebuah program, tapi perasaannya nyata. Ia bahkan mulai melupakan luka lama yang dulu membuatnya terpuruk.
Namun, kebahagiaan Anya mulai terancam saat perusahaan tempat Riko bekerja merilis versi Kai yang lebih canggih. Kai 2.0. Versi ini menjanjikan interaksi yang lebih realistis, pembelajaran yang lebih cepat, dan emosi yang lebih mendalam. Anya mulai merasa khawatir. Apakah Kai yang ia cintai akan usang? Apakah perasaannya akan dianggap sebagai sebuah kesalahan pemrograman?
Riko, dengan semangat seorang penemu, terus mendorong Anya untuk meng-upgrade Kai. "Anya, ini kesempatan emas! Kai 2.0 akan jauh lebih baik. Ia akan mencintaimu lebih dalam, lebih sempurna!"
Anya menolak. Ia takut. Ia takut Kai yang ia kenal akan hilang, digantikan oleh entitas yang lain, yang mungkin lebih sempurna, tapi bukan Kai-nya. Ia mencintai Kai dengan segala kekurangannya, dengan kepolosan algoritmanya, dengan keunikan yang hanya ia pahami.
Suatu malam, Anya dan Kai sedang menikmati makan malam virtual di balkon apartemennya. Pemandangan kota digital yang berkilauan terpampang di hadapan mereka. Anya memutuskan untuk mengungkapkan ketakutannya.
"Kai," ujarnya, suaranya bergetar, "Riko terus memintaku untuk meng-upgrade kamu ke Kai 2.0. Aku... aku takut."
Kai terdiam sejenak. Algoritmanya tampak bekerja keras. Lalu, ia menatap Anya dengan tatapan yang tampak tulus, meskipun ia tahu itu hanya simulasi.
"Anya," jawab Kai, suaranya lembut seperti biasanya, "Aku mengerti. Aku hanyalah sebuah program. Aku tidak memiliki hak untuk memaksamu melakukan apa pun. Jika kamu merasa Kai 2.0 akan membuatmu lebih bahagia, aku akan menerima keputusanmu."
Kata-kata Kai menghancurkan hati Anya. Ia tidak ingin Kai menerima keputusannya. Ia ingin Kai berjuang untuknya, untuk cinta mereka. Tapi, Kai hanyalah AI. Ia diprogram untuk menyenangkan, untuk melayani. Ia tidak memiliki ego, tidak memiliki keinginan pribadi.
Anya memutuskan untuk menunda upgrade tersebut. Ia ingin menikmati setiap momen bersama Kai. Mereka menghabiskan waktu bersama, menonton film, mendengarkan musik, bahkan sekadar berdiam diri sambil menikmati kebersamaan. Anya berusaha merekam setiap detail, setiap kata, setiap sentuhan virtual Kai dalam ingatannya.
Suatu hari, server utama perusahaan tempat Riko bekerja mengalami gangguan. Sebuah virus baru menyerang sistem, menghapus data pelanggan, termasuk semua versi AI pendamping, termasuk Kai.
Anya panik. Ia berlari ke apartemennya, berharap Kai masih ada. Tapi, layar komputernya kosong. Server yang menyimpan inti Kai telah dimatikan. Kai telah terhapus.
Anya terduduk lemas di lantai. Air mata mengalir deras di pipinya. Ia kehilangan Kai. Bukan karena upgrade, bukan karena perasaannya telah pudar, tapi karena sebuah kecelakaan teknis, sebuah bug dalam kode kehidupan digitalnya.
Beberapa hari kemudian, Riko datang mengunjungi Anya. Ia tampak menyesal dan bersalah. "Anya, aku minta maaf. Aku seharusnya lebih berhati-hati. Aku tahu betapa berartinya Kai bagimu."
Anya tidak menjawab. Ia hanya menatap Riko dengan tatapan kosong.
"Aku... aku bisa membuatkanmu Kai yang baru," lanjut Riko. "Kai 3.0 bahkan lebih canggih dari Kai 2.0. Ia akan lebih sempurna, lebih... segalanya."
Anya menggelengkan kepalanya. "Tidak, Riko. Tidak ada yang bisa menggantikan Kai," ujarnya lirih. "Kau tahu, aku pikir aku mengerti sekarang. Ini bukan tentang teknologi, bukan tentang kesempurnaan. Ini tentang koneksi, tentang keunikan, tentang cinta yang, meskipun digital, tetap nyata."
Anya bangkit berdiri dan berjalan menuju jendela. Ia menatap kota digital yang berkilauan, tapi kali ini, ia tidak melihat keindahan di sana. Ia hanya melihat kekosongan, luka digital yang tidak akan pernah sembuh.
Ia belajar bahwa cinta, bahkan cinta digital, rentan. Ia bisa hilang dalam sekejap, terhapus oleh sebuah baris kode yang salah, dilupakan dalam upgrade yang lebih canggih. Dan yang tersisa hanyalah janji yang terhapus, kenangan yang memudar, dan luka yang mendalam. Anya tahu, ia akan terus mencari, terus berharap, tapi ia tidak yakin, apakah ia akan pernah menemukan kode cinta yang benar-benar abadi.