Rumus Cinta Terenkripsi: Algoritma Membuka, Hati Menilai

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 17:42:43 wib
Dibaca: 166 kali
Layar laptop memancarkan cahaya biru lembut di wajah Anya. Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard, menghasilkan baris-baris kode yang rumit. Di depannya, sebuah masalah yang memusingkan: algoritma pencarian jodoh yang diamanahkan perusahaan kepadanya, “Soulmate++.exe”. Algoritma ini bukan sekadar mencocokkan hobi dan preferensi. Anya dituntut menciptakan sistem yang bisa memprediksi kompatibilitas emosional, resonansi jiwa, bahkan sebelum dua orang bertemu.

Anya, seorang programmer brilian dengan segudang penghargaan, ironisnya, adalah seorang yang payah dalam urusan cinta. Baginya, cinta adalah anomali, sebuah bug dalam matriks kehidupan yang tak bisa dijelaskan dengan logika. Patah hati masa lalu telah membuatnya sinis dan lebih nyaman bersembunyi di balik deretan kode.

“Kompatibilitas emosional bukan hanya tentang suka kopi yang sama, Anya,” gumamnya sambil meminum teh hijau hangat. “Ini tentang bagaimana seseorang merespons kekecewaan, bagaimana mereka menghargai kebahagiaan kecil, bagaimana mereka… memaafkan.”

Di sudut ruangan, Leo, rekan kerjanya yang selalu ceria, menjulurkan kepala. Rambutnya yang berantakan dan senyumnya yang lebar selalu berhasil membuat suasana lebih hidup. “Masih berkutat dengan Soulmate++, Anya? Kau terlihat seperti sedang mencoba memecahkan kode genetik manusia.”

Anya menghela napas. “Lebih rumit dari itu, Leo. Aku harus menerjemahkan hal yang tak terukur menjadi angka. Bagaimana caranya menguantifikasi kerinduan, Leo? Atau rasa nyaman saat berada di dekat seseorang?”

Leo mendekat, bersandar di meja Anya. “Mungkin kau terlalu serius. Cinta bukan tentang angka, Anya. Ini tentang perasaan. Mungkin kau harus sedikit keluar dari sarang kodemu dan merasakannya sendiri.”

Anya mendengus. “Mudah bagimu mengatakannya, Leo. Kau selalu dikelilingi gadis-gadis yang terpesona dengan senyum mautmu.”

Leo tertawa. “Itu karena aku tulus, Anya. Aku tidak mencoba mencari rumus. Aku hanya menjadi diriku sendiri.”

Percakapan itu membekas di benak Anya. Ia tahu Leo benar. Algoritmanya terlalu mekanis, terlalu fokus pada data dan statistik. Ia lupa bahwa manusia lebih dari sekadar serangkaian preferensi.

Malam itu, Anya memutuskan untuk mengambil saran Leo. Ia mendaftar di aplikasi kencan yang sama yang algoritmanya coba ia sempurnakan. Ia memasang foto dirinya yang paling natural, tanpa filter atau polesan berlebihan. Di profilnya, ia menulis jujur tentang kegemarannya pada pemrograman, kecintaannya pada kucing, dan ketidakpercayaannya pada cinta pada pandangan pertama.

Beberapa hari berlalu tanpa hasil yang memuaskan. Semua profil terasa sama: foto-foto editan sempurna, deskripsi diri yang klise, dan harapan yang terlalu tinggi. Anya mulai merasa putus asa. Mungkin Leo salah. Mungkin cinta memang bukan untuknya.

Kemudian, ia menemukan profil seorang pria bernama David. Foto profilnya adalah foto dirinya yang sedang tersenyum sambil memegang anak kucing yang sedang tidur. Deskripsinya singkat dan jujur: “Seorang arsitek yang mencoba belajar bermain gitar. Mencari seseorang untuk berbagi cerita dan mungkin, beberapa senar yang putus.”

Anya tertarik. Ia mengirimkan pesan sederhana: “Aku juga suka kucing. Dan aku punya banyak cerita.”

Percakapan mereka mengalir dengan lancar. Mereka membahas tentang arsitektur, pemrograman, musik, dan tentu saja, kucing. Mereka menemukan kesamaan dalam hal-hal yang tak terduga: kecintaan pada film-film lama, ketidaksukaan pada gosip, dan mimpi untuk memiliki rumah kecil di tepi pantai.

Setelah beberapa minggu berkomunikasi secara virtual, mereka memutuskan untuk bertemu. Anya merasa gugup. Ia takut realita akan menghancurkan ekspektasi yang telah ia bangun.

David menunggunya di depan kedai kopi. Ia tersenyum dan Anya merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Bukan cinta pada pandangan pertama, tapi sebuah rasa nyaman yang familiar.

Mereka menghabiskan sore itu berbicara tentang segala hal dan tidak sama sekali. Anya tertawa mendengar cerita konyol David tentang proyek arsitekturnya yang gagal. David terpesona mendengar penjelasan Anya tentang kompleksitas algoritma pencarian jodoh.

Di akhir kencan, David mengantarnya pulang. Di depan pintu apartemen Anya, mereka saling berpandangan.

“Aku senang bertemu denganmu, Anya,” kata David.

“Aku juga, David,” jawab Anya, merasa pipinya memanas.

Kemudian, tanpa berpikir panjang, David mencium Anya. Ciuman itu sederhana, hangat, dan tulus. Anya merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya: bukan sekadar ketertarikan fisik, tapi sebuah koneksi yang dalam dan bermakna.

Setelah ciuman itu, Anya tahu. Ia telah menemukan apa yang selama ini ia cari. Bukan rumus yang sempurna, bukan algoritma yang akurat, tapi seseorang yang membuatnya merasa nyaman, yang menghargai dirinya apa adanya, dan yang membuatnya ingin menjadi orang yang lebih baik.

Keesokan harinya, Anya kembali ke kantor. Ia menghadap ke layar laptopnya dan membuka kode Soulmate++.exe. Tapi kali ini, ia tidak mencari rumus yang sempurna. Ia tahu bahwa cinta tidak bisa direduksi menjadi angka. Cinta adalah tentang kesempatan, tentang keberanian, dan tentang menerima orang lain dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Ia menghapus sebagian besar kode yang rumit dan menggantinya dengan algoritma yang lebih sederhana, yang lebih fokus pada kesamaan nilai dan tujuan hidup. Ia menambahkan fitur baru: sebuah tombol “Take a Chance”, yang memungkinkan pengguna untuk terhubung dengan orang yang tidak sempurna sesuai dengan profil mereka, tapi memiliki potensi untuk menjadi pasangan yang tepat.

Anya tahu bahwa algoritmanya mungkin tidak akan pernah sempurna. Tapi ia berharap, algoritmanya bisa membantu orang lain untuk membuka hati mereka, untuk mengambil kesempatan, dan untuk menemukan cinta, bahkan di tempat yang paling tak terduga. Karena pada akhirnya, yang terpenting bukanlah rumus yang terenkripsi, tapi hati yang menilai.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI