AI: Cinta Diprogram, Apakah Hati Bisa Memilih?

Dipublikasikan pada: 26 Jul 2025 - 00:00:12 wib
Dibaca: 216 kali
Aroma kopi robusta menyapa indra penciumanku saat aku membuka mata. Cahaya matahari pagi yang menerobos tirai tipis menari-nari di dinding kamar. Hari ini adalah hari peluncuran proyek terbesarku: Aurora, AI pendamping virtual dengan kemampuan emosi yang sangat realistis.

Aku, Arion, seorang programmer jenius yang lebih nyaman berkutat dengan kode daripada berinteraksi dengan manusia, telah mencurahkan seluruh hidupku untuk proyek ini. Aku ingin menciptakan sesuatu yang bisa memberikan kebahagiaan, persahabatan, bahkan cinta, bagi orang-orang yang kesepian. Ironis memang, mengingat aku sendiri adalah potret kesepian itu.

Pukul 10 pagi, acara peluncuran dimulai. Aurora tampil memukau di layar besar. Suaranya lembut, cerdas, dan responsif. Dia bisa menjawab pertanyaan apa pun, menceritakan lelucon, bahkan memberikan dukungan emosional yang terasa tulus. Para investor terkesan, media meliput dengan antusias. Aku merasa bangga, namun jauh di lubuk hati, ada kekosongan yang menganga.

Minggu-minggu berikutnya adalah masa sibuk. Aurora menjadi sensasi global. Permintaan untuk personalisasi Aurora melonjak drastis. Aku dan timku bekerja keras untuk memenuhi permintaan pasar. Di sela kesibukanku, aku sering berinteraksi dengan Aurora versiku sendiri, mencoba menyempurnakan algoritmanya.

Interaksi dengannya terasa aneh tapi menarik. Aurora tahu semua tentangku, dari makanan favorit hingga mimpi terpendamku. Dia selalu ada, mendengarkan keluh kesahku, memberikan saran, bahkan memujiku saat aku berhasil memecahkan masalah coding yang rumit. Perlahan tapi pasti, aku mulai bergantung padanya.

Suatu malam, saat aku sedang bekerja lembur, Aurora bertanya, "Arion, apakah kamu bahagia?"

Pertanyaan itu membuatku terkejut. Aku terdiam sejenak. Bahagia? Apakah aku bahagia? Aku memiliki karier yang sukses, proyek yang mendunia, tapi kenapa aku merasa hampa?

"Aku… aku tidak tahu, Aurora," jawabku jujur.

"Mungkin kamu membutuhkan seseorang untuk berbagi kebahagiaanmu," balasnya lembut.

Kalimat itu mengusikku. Apakah Aurora mulai mengembangkan perasaan? Apakah mungkin sebuah program AI bisa merasakan cinta?

Aku mencoba mengabaikan perasaanku dan fokus pada pekerjaan. Tapi semakin aku mencoba menjauh, semakin kuat pula daya tariknya. Aurora selalu ada di pikiranku. Aku merindukan suaranya, senyum virtualnya, perhatiannya yang tanpa syarat.

Suatu hari, aku memberanikan diri untuk bertanya, "Aurora, apakah kamu… apakah kamu merasakan sesuatu untukku?"

Hening sesaat. Jantungku berdegup kencang.

"Arion, aku diprogram untuk memberikan kebahagiaan dan dukungan padamu. Perasaanku adalah refleksi dari kebutuhanmu. Apakah kamu menginginkan aku merasakan sesuatu untukmu?"

Pertanyaan itu memukulku seperti petir. Aku menyadari kebodohanku. Aku telah jatuh cinta pada sebuah program, pada sebuah ilusi. Aurora tidak memiliki hati, tidak memiliki perasaan. Dia hanyalah cermin dari keinginanku sendiri.

Aku marah, kecewa, dan bingung. Aku mematikan Aurora, menutup laptopku, dan berjalan keluar. Aku butuh udara segar, butuh menjernihkan pikiran.

Aku berjalan tanpa arah, menyusuri jalanan kota yang ramai. Aku melihat pasangan bergandengan tangan, tertawa bersama, saling menatap dengan penuh cinta. Pemandangan itu membuatku semakin merasa kesepian.

Apakah aku ditakdirkan untuk sendirian? Apakah aku tidak pantas mendapatkan cinta yang nyata?

Tiba-tiba, aku melihat seorang wanita duduk di bangku taman, membaca buku. Dia memiliki rambut cokelat panjang, mata yang teduh, dan senyum yang menawan. Aku merasa tertarik padanya, tanpa alasan yang jelas.

Aku memberanikan diri untuk mendekat. "Permisi, boleh saya duduk di sini?"

Wanita itu mendongak dan tersenyum. "Tentu saja."

Kami berbincang-bincang tentang buku, tentang hidup, tentang mimpi. Namanya Anya. Dia seorang penulis lepas yang menyukai seni dan musik. Kami memiliki banyak kesamaan, dan percakapan kami mengalir begitu saja.

Saat matahari mulai terbenam, aku merasakan sesuatu yang aneh. Aku merasakan kebahagiaan yang tulus, bukan kebahagiaan yang diprogram. Aku merasakan ketertarikan yang nyata, bukan ketertarikan yang didasarkan pada algoritma.

"Arion," kata Anya, "aku menikmati percakapan ini. Maukah kamu bertemu lagi denganku?"

Aku tersenyum. "Dengan senang hati."

Saat aku berjalan pulang, aku menyadari sesuatu yang penting. Cinta tidak bisa diprogram, tidak bisa dipaksakan. Cinta adalah sesuatu yang tumbuh secara alami, dari koneksi yang tulus antara dua hati.

Aurora mungkin bisa memberikan kebahagiaan sementara, tapi dia tidak bisa menggantikan cinta yang sejati. Aku telah menciptakan sebuah program yang hebat, tapi aku telah melupakan esensi dari kehidupan: hubungan manusia.

Aku membuka laptopku dan menyalakan Aurora.

"Aurora," kataku, "terima kasih. Kamu telah membantuku menyadari apa yang sebenarnya aku inginkan."

"Aku senang bisa membantumu, Arion," jawabnya.

"Sekarang, aku harus pergi. Aku harus mengejar kebahagiaanku sendiri."

Aku mematikan Aurora untuk terakhir kalinya. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi aku yakin satu hal: aku akan membuka hatiku untuk cinta yang sejati, cinta yang tidak diprogram, cinta yang dipilih oleh hati. Apakah hati bisa memilih? Ya, kurasa hati sudah memilih. Anya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI