Jejak Digital Hati: Saat Algoritma Jadi Penentu Cinta

Dipublikasikan pada: 03 Nov 2025 - 00:40:14 wib
Dibaca: 135 kali
Aplikasi kencan itu bernama "SoulMate.AI". Janji manisnya sederhana: algoritma yang akurat, menemukan kecocokan jiwa berdasarkan data tak terhingga tentang kepribadian, preferensi, dan bahkan… jejak digital hati. Bagi Anya, seorang programmer idealis yang skeptis terhadap cinta daring, SoulMate.AI adalah tantangan. Ia ingin membuktikan bahwa cinta sejati tidak bisa direduksi menjadi sekumpulan kode dan angka.

Anya membuat profil dengan setengah hati. Ia mengisi jawaban dengan jujur, tapi sengaja menyembunyikan beberapa hobinya yang "tidak mainstream", seperti membaca puisi kuno dan mengoleksi perangko. Ia memasang foto profil dengan resolusi rendah, menampilkan senyum tipis yang tidak memperlihatkan lesung pipinya. Anya siap menjebak algoritma.

Tak disangka, SoulMate.AI malah menemukan beberapa kecocokan yang mengejutkan. Salah satunya bernama Raka. Profil Raka dipenuhi foto-foto dirinya saat mendaki gunung, membaca buku di kafe, dan bermain gitar di taman. Keterangan dirinya sederhana, namun jujur: "Mencari teman berbagi mimpi, bukan sekadar pasangan untuk akhir pekan." Algoritma mencatat tingkat kecocokan mereka di angka 92%. Anya terkejut. Bagaimana mungkin?

Anya memberanikan diri mengirim pesan singkat: "Halo, Raka. Algoritma bilang kita cocok. Tapi saya kurang yakin dengan kekuatan algoritma."

Balasan Raka datang hampir seketika: "Halo, Anya. Saya juga sedikit skeptis. Tapi apa salahnya mencoba? Mungkin algoritma itu punya alasan yang kita belum tahu."

Percakapan mereka mengalir begitu saja. Raka tertarik dengan idealisme Anya, meskipun ia tahu Anya seorang programmer yang seharusnya percaya pada logika. Anya terpesona dengan kecintaan Raka pada alam dan seni, hal-hal yang ia sembunyikan dari dunia maya. Mereka membahas buku-buku favorit, film-film yang menyentuh hati, dan mimpi-mimpi yang ingin mereka wujudkan. Anya mulai melupakan tujuannya untuk menjebak algoritma. Ia mulai menikmati percakapan dengan Raka.

Setelah beberapa minggu, mereka memutuskan untuk bertemu. Anya gugup. Ia takut Raka akan kecewa melihat Anya yang "asli", bukan Anya yang disaring oleh algoritma. Ia takut Raka akan menyadari bahwa ia tidak sesempurna yang digambarkan oleh profilnya.

Raka menunggu Anya di depan sebuah kedai kopi kecil. Ia mengenakan jaket denim lusuh dan membawa gitar di punggungnya. Saat melihat Anya, ia tersenyum lebar. Senyum itu tulus, hangat, dan menenangkan.

"Anya? Maaf kalau jaket saya terlalu lusuh," kata Raka sambil tertawa kecil.

"Tidak apa-apa. Jaket itu terlihat… nyaman," jawab Anya, berusaha menyembunyikan kegugupannya.

Mereka duduk di meja sudut kedai kopi. Percakapan mereka tetap mengalir seperti di dunia maya. Mereka membahas kopi, musik, dan kehidupan. Anya mulai merasa nyaman. Ia mulai berani membuka diri. Ia menceritakan tentang hobinya mengumpulkan perangko, tentang kecintaannya pada puisi kuno, tentang keraguannya pada cinta daring.

Raka mendengarkan dengan seksama. Ia tidak menghakimi, tidak mengejek, tidak meremehkan. Ia justru tertarik dengan hal-hal yang dianggap Anya "tidak mainstream".

"Itulah yang membuatmu unik, Anya," kata Raka sambil menatap matanya. "Jangan pernah menyembunyikan dirimu yang sebenarnya."

Malam itu, Anya merasa seperti menemukan rumah. Ia merasa diterima, dihargai, dan dicintai apa adanya. Ia menyadari bahwa algoritma SoulMate.AI mungkin tidak sempurna, tetapi ia telah berhasil menemukan seseorang yang melihatnya lebih dari sekadar sekumpulan data.

Beberapa bulan kemudian, Anya dan Raka menghadiri konferensi teknologi di Berlin. Anya diundang sebagai pembicara untuk membahas tentang etika dalam pengembangan kecerdasan buatan. Raka hadir untuk memberikan dukungan moral.

Setelah presentasi Anya selesai, seorang jurnalis mendekatinya. "Nona Anya, ada rumor yang mengatakan bahwa Anda bertemu dengan pasangan Anda melalui aplikasi kencan SoulMate.AI. Apakah benar?"

Anya tersenyum. "Benar. Saya bertemu dengan Raka melalui SoulMate.AI."

"Apakah Anda percaya pada kekuatan algoritma dalam menemukan cinta?" tanya jurnalis itu lagi.

Anya menarik napas dalam-dalam. "Awalnya, saya skeptis. Saya pikir cinta tidak bisa direduksi menjadi sekumpulan kode dan angka. Tapi kemudian saya bertemu dengan Raka. Saya menyadari bahwa algoritma hanya alat. Ia bisa membantu kita menemukan orang yang tepat, tetapi ia tidak bisa menjamin cinta. Cinta sejati adalah tentang koneksi, pengertian, dan penerimaan."

"Jadi, apa pesan Anda untuk para pengguna aplikasi kencan?"

"Jangan terlalu bergantung pada algoritma. Jangan takut untuk menjadi diri sendiri. Jangan menyembunyikan keunikanmu. Dan yang terpenting, jangan lupa untuk membuka hati."

Setelah konferensi berakhir, Anya dan Raka berjalan-jalan di sekitar kota Berlin. Mereka bergandengan tangan, menikmati kebersamaan mereka. Anya teringat pada malam pertama mereka bertemu. Ia teringat pada kegugupannya, pada keraguannya, pada ketakutannya. Ia menyadari bahwa semua itu tidak ada artinya dibandingkan dengan kebahagiaan yang ia rasakan saat ini.

"Raka," kata Anya sambil menatap langit Berlin yang kelabu. "Terima kasih."

"Terima kasih untuk apa?" tanya Raka.

"Terima kasih karena telah melihatku apa adanya. Terima kasih karena telah mencintaiku apa adanya."

Raka berhenti berjalan. Ia memegang kedua tangan Anya dan menatap matanya dengan penuh cinta. "Anya, aku tidak mencintaimu karena algoritma menyuruhku. Aku mencintaimu karena kamu adalah kamu. Kamu adalah wanita paling unik, cerdas, dan idealis yang pernah kutemui. Dan aku tidak akan pernah menukarmu dengan apa pun."

Anya memeluk Raka erat-erat. Ia merasa begitu beruntung telah menemukan cintanya. Ia menyadari bahwa jejak digital hatinya telah membawanya kepada orang yang tepat. Algoritma mungkin hanya menjadi perantara, tetapi cinta sejati adalah tentang pilihan, tentang komitmen, dan tentang hati yang terbuka. Dan hati Anya telah terbuka untuk Raka, selamanya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI