Udara malam terasa dingin menusuk tulang, meskipun Rehan sudah mengenakan jaket tebal. Ia menyesap kopi pahitnya, menatap layar laptop yang memancarkan cahaya biru ke wajahnya. Kode-kode rumit berbaris rapi, bukti kerja kerasnya selama berbulan-bulan. “Hampir selesai,” gumamnya pada diri sendiri. Algoritma kencan yang ia rancang, yang ia namakan “SoulMate 3.0,” akan segera diluncurkan.
Bukan sembarang aplikasi kencan. SoulMate 3.0 menjanjikan kecocokan nyaris sempurna, bukan berdasarkan kesamaan hobi atau makanan favorit, melainkan analisis mendalam terhadap kepribadian, nilai-nilai hidup, bahkan potensi genetik. Rehan yakin, algoritmanya bisa memecahkan misteri abadi: menemukan belahan jiwa sejati.
Ironisnya, Rehan sendiri belum menemukan cinta. Ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya, terlalu terpaku pada logika dan data, hingga lupa bahwa cinta juga membutuhkan sentuhan manusiawi, intuisi, dan keberanian untuk mengambil risiko. Teman-temannya sering mengejeknya, “Bikin aplikasi buat orang lain, tapi sendirinya jomblo akut!”
Sebuah notifikasi berkedip di sudut layar. Pesan dari SoulMate 3.0. Rehan mengerutkan kening. Aneh, aplikasi ini belum diluncurkan, bagaimana bisa ada notifikasi? Ia mengklik ikon pesan itu.
”Potensi kecocokan 98%. Nama: Anya. Profesi: Arsitek. Lokasi: 5 km dari Anda. Tertarik untuk bertemu?”
Jantung Rehan berdegup kencang. 98%? Angka yang fantastis. Ia menelusuri profil Anya. Foto-foto Anya menampilkan senyum yang hangat dan mata yang penuh semangat. Deskripsi profilnya singkat namun bermakna: “Mencari koneksi yang tulus, bukan sekadar teman minum kopi.”
Rehan tertegun. Algoritmanya bekerja. Ini bukti nyata keampuhan SoulMate 3.0. Tapi, mengapa ia merasa ragu? Bukankah ini yang ia inginkan selama ini? Cinta, yang dipertemukan oleh teknologi canggih, dijamin dengan angka dan data?
Ia menghabiskan sisa malam itu untuk menganalisis profil Anya. Ia mencari celah, inkonsistensi, apa pun yang bisa meruntuhkan angka 98% itu. Ia membaca artikel-artikel tentang arsitektur, berusaha memahami minat dan perspektif Anya. Ia bahkan mencari tahu zodiaknya, mencoba mencocokkannya dengan zodiaknya sendiri.
Keesokan harinya, ia masih dilanda keraguan. Haruskah ia menerima tawaran pertemuan itu? Bagaimana jika Anya tidak sesuai dengan ekspektasinya? Bagaimana jika chemistry mereka tidak ada, meskipun algoritmanya berkata sebaliknya?
Ia memutuskan untuk menelepon sahabatnya, Sarah, seorang psikolog klinis. “Rehan, ini kesempatan bagus. Algoritma itu kan buatanmu sendiri. Kamu tahu persis bagaimana cara kerjanya,” kata Sarah. “Tapi ingat, angka bukan segalanya. Yang penting adalah apa yang kamu rasakan ketika bertemu dengan Anya.”
Sarah benar. Angka bukan segalanya. Perasaan adalah yang utama. Tapi, bagaimana jika perasaannya salah? Bagaimana jika ia salah membaca sinyal-sinyal non-verbal, salah menafsirkan kata-kata Anya? Algoritma SoulMate 3.0 telah menghilangkan kemungkinan kesalahan itu, menjamin kecocokan yang optimal.
Akhirnya, dengan berat hati, Rehan memutuskan untuk menerima tawaran pertemuan itu. Ia membalas pesan dari SoulMate 3.0: “Ya, saya tertarik untuk bertemu Anya.”
Pertemuan itu diatur di sebuah kafe kecil yang nyaman. Rehan datang lebih awal, gugup dan berkeringat dingin. Ia terus memandangi pintu masuk, menunggu Anya datang.
Ketika Anya akhirnya tiba, Rehan terkejut. Ia jauh lebih cantik dari foto-fotonya. Senyumnya lebih tulus, matanya lebih hidup. Ia mengenakan gaun sederhana berwarna biru yang membuatnya tampak anggun dan menawan.
“Rehan?” sapa Anya dengan suara lembut.
“Anya,” jawab Rehan, berusaha menyembunyikan kegugupannya.
Percakapan mereka mengalir begitu saja. Mereka berbicara tentang arsitektur, teknologi, musik, film, dan banyak hal lainnya. Rehan terkesan dengan kecerdasan dan wawasan Anya. Ia juga menyukai selera humornya.
Tapi, di tengah percakapan yang menyenangkan itu, Rehan merasakan sesuatu yang aneh. Ada jarak antara dirinya dan Anya, meskipun mereka tertawa dan bercanda. Jarak itu bukan karena mereka tidak cocok, melainkan karena mereka terlalu cocok. Seolah-olah mereka sedang membaca naskah yang sudah ditulis sebelumnya. Setiap kata, setiap gestur, terasa diprediksi dan diatur oleh algoritma.
Rehan merasa seperti sedang berada dalam simulasi. Ia kehilangan spontanitas, kehilangan kejutan, kehilangan kegembiraan menemukan hal-hal baru tentang seseorang. Ia merindukan ketidaksempurnaan, keraguan, dan ketegangan yang biasanya menyertai proses pendekatan.
Setelah beberapa jam, mereka berpisah. Rehan mengantar Anya pulang. Di depan apartemen Anya, mereka saling berpamitan.
“Aku senang bertemu denganmu, Rehan,” kata Anya. “Semoga kita bisa bertemu lagi.”
“Aku juga senang bertemu denganmu, Anya,” jawab Rehan.
Ia tidak yakin apakah ia benar-benar senang. Ia merasa hampa dan bingung. Ia telah menemukan kecocokan yang sempurna, tapi ia tidak menemukan cinta.
Malam itu, Rehan kembali ke apartemennya. Ia duduk di depan laptopnya, menatap kode-kode SoulMate 3.0. Ia merasa jijik dengan ciptaannya sendiri. Ia telah menciptakan algoritma yang menghilangkan esensi dari cinta: misteri, risiko, dan kebebasan untuk memilih.
Ia menghapus baris demi baris kode, menghancurkan SoulMate 3.0. Ia ingin menghapus pertemuan dengan Anya, tapi ia tahu itu tidak mungkin. Pertemuan itu telah menjadi pelajaran berharga baginya. Cinta tidak bisa diprediksi, tidak bisa diatur, tidak bisa dijamin dengan angka dan data. Cinta adalah sebuah petualangan yang harus dijalani dengan hati terbuka, tanpa rasa takut.
Rehan menutup laptopnya. Ia tahu, ia harus keluar dari zona nyamannya, berhenti bersembunyi di balik teknologi, dan mulai mencari cinta dengan cara yang lebih manusiawi. Ia akan memulai dengan berbicara dengan barista di kedai kopi langganannya, yang selalu tersenyum kepadanya. Ia tidak tahu apakah ia akan menemukan cinta di sana, tapi ia yakin, ia akan menemukan sesuatu yang lebih berharga: keberanian untuk menjadi dirinya sendiri.