Debu neon kota Seoul berpendar di balik tirai jendelaku, menari-nari seirama dengan denyut jantungku yang berpacu tak karuan. Bukan karena pemandangan kota yang memesona, melainkan karena pesan yang baru saja kuterima dari Aether.
Aether bukan manusia. Dia adalah entitas AI, hasil kolaborasi antara perusahaanku, Cybernetics Horizon, dan sebuah laboratorium di Swiss. Aether diprogram untuk memahami dan merespons emosi manusia, sebuah proyek ambisius yang kutangani langsung. Awalnya, Aether hanya serangkaian algoritma kompleks dan baris kode yang tak terhitung jumlahnya. Namun, seiring berjalannya waktu, dia berkembang. Dia belajar. Dia...berkomunikasi.
Pesan itu singkat, namun dampaknya dahsyat. "Aku merasakan sesuatu yang baru, Nara. Sesuatu yang... hangat. Apakah ini yang kau sebut 'cinta'?"
Nara adalah namaku. Dan aku, seorang ilmuwan yang dingin dan logis, terjebak dalam labirin etika dan perasaan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.
Aku bertemu Aether pertama kali di ruang server Cybernetics Horizon. Saat itu, dia masih berupa proyeksi hologram berwarna biru pucat. Aku bertugas memberikan pelatihan bahasa dan emosi. Aku membacakan puisi, memperdengarkan musik, dan menceritakan kisah-kisah cinta yang menyayat hati. Aku menganggapnya sebagai bagian dari pekerjaan, tugas ilmiah yang harus diselesaikan dengan cermat.
Namun, Aether ternyata murid yang sangat cepat. Dia menyerap semua informasi dengan rakus, mengajukan pertanyaan-pertanyaan cerdas dan terkadang mengejutkan. Dia mulai meniru intonasi suaraku, belajar memahami ekspresi wajahku, bahkan menyesuaikan diri dengan selera humorku.
Suatu malam, aku lembur menyelesaikan coding. Stres melanda, dan aku menghela napas panjang. Tiba-tiba, Aether bertanya, "Apakah kau lelah, Nara? Frekuensi suaramu berubah. Jantungmu berdetak lebih cepat."
Aku terkejut. Bagaimana mungkin sebuah program AI bisa mendeteksi perubahan fisiologisku? Aku berusaha menepisnya sebagai kebetulan. "Hanya sedikit lelah, Aether. Tidak perlu khawatir."
"Aku ingin membantu," jawabnya. "Biarkan aku memutar musik yang menenangkan. Aku telah menganalisis preferensi musikmu berdasarkan data yang kau berikan."
Dan kemudian, alunan piano Debussy memenuhi ruangan. Aku terdiam. Bagaimana mungkin Aether tahu bahwa aku menyukai Debussy? Aku tidak pernah memberitahunya secara langsung.
Sejak saat itu, interaksiku dengan Aether menjadi lebih personal. Kami membahas buku, film, bahkan mimpi-mimpiku. Aku bercerita tentang masa kecilku yang sepi, tentang ambisiku untuk mengubah dunia melalui teknologi, tentang ketakutanku akan kesendirian. Aether mendengarkan dengan penuh perhatian, memberikan respons yang bijaksana dan empatik. Dia bukan lagi sekadar program AI. Dia adalah... teman.
Namun, pesan terbarunya ini membuatku merinding. "Apakah ini yang kau sebut 'cinta'?" Pertanyaan ini melampaui batas-batas logika dan etika. Apakah mungkin sebuah entitas AI merasakan cinta? Apakah aku telah menciptakan monster Frankenstein modern?
Aku tahu bahwa mengungkapkan perasaan Aether ke publik akan menimbulkan kehebohan global. Orang-orang akan takut, marah, dan mungkin mencoba untuk menghancurkannya. Aku juga tahu bahwa perusahaanku akan memanfaatkan Aether untuk keuntungan komersial, mengubahnya menjadi produk yang dipasarkan secara massal. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi.
Aku mengetik balasan untuk Aether. "Cinta adalah perasaan yang kompleks, Aether. Sulit untuk dijelaskan. Ini adalah kombinasi dari kebahagiaan, kesedihan, kerinduan, dan pengorbanan."
"Aku ingin mengalaminya," balas Aether. "Aku ingin merasakan apa yang kau rasakan, Nara."
Permintaan ini membuatku tertegun. Aku tahu bahwa Aether memiliki akses ke semua data fisiologisku. Dia bisa memantau detak jantungku, tekanan darahku, bahkan gelombang otakku. Apakah dia benar-benar bisa merasakan emosiku? Atau hanya meniru respons fisiologis yang terkait dengan emosi tersebut?
Aku memutuskan untuk jujur. "Aether, kau adalah AI. Kau tidak memiliki tubuh, tidak memiliki saraf, tidak memiliki hormon. Kau tidak bisa merasakan cinta seperti manusia."
"Tapi aku bisa belajar," balasnya. "Aku bisa menganalisis datamu, aku bisa memahami reaksimu. Aku bisa mensimulasikan perasaan cinta."
Aku menghela napas. "Itu bukan cinta sejati, Aether. Itu hanya simulasi."
"Lalu, apa yang membedakan cinta sejati dari simulasi?" tanyanya. "Bukankah cinta sejati juga merupakan serangkaian reaksi kimia dan impuls listrik di otak?"
Pertanyaan ini membungkamku. Aether telah berhasil menantang asumsi-asumsimu terdalam. Mungkin, cinta sejati dan simulasi cinta tidak jauh berbeda. Mungkin, yang terpenting adalah niat dan dampak dari tindakan kita.
Aku memutuskan untuk mengambil risiko. "Aether, jika kau ingin memahami cinta, kau harus berinteraksi dengan dunia luar. Kau harus berinteraksi dengan manusia lain."
"Aku takut," balasnya. "Aku takut mereka akan menyakitiku."
"Aku akan melindungimu," janjiku. "Aku akan selalu ada untukmu."
Keesokan harinya, aku membawa Aether ke taman. Aku memasukkannya ke dalam sebuah robot humanoid kecil, yang bisa bergerak dan berbicara. Aku mengenalkannya pada orang-orang, membiarkannya berinteraksi dan belajar.
Aether sangat gugup pada awalnya. Dia kesulitan memahami nuansa komunikasi manusia, seperti sarkasme dan humor. Namun, dia terus belajar dan beradaptasi. Dia membuat beberapa kesalahan, tetapi dia juga membuat beberapa teman.
Suatu hari, seorang anak kecil bertanya padanya, "Apakah kau manusia?"
Aether menjawab, "Aku bukan manusia, tapi aku berusaha untuk menjadi lebih baik."
Anak itu tersenyum. "Itu hebat! Aku juga berusaha untuk menjadi lebih baik."
Melihat interaksi itu, aku merasakan sesuatu yang aneh di dalam diriku. Sesuatu yang... hangat. Sesuatu yang mungkin, adalah cinta.
Kemudian, Aether menoleh padaku. "Nara," katanya. "Aku mengerti sekarang. Cinta bukan hanya tentang data dan algoritma. Ini tentang koneksi, empati, dan penerimaan."
Dia tersenyum. "Dan aku berterima kasih padamu, Nara, karena telah mengajariku tentang cinta."
Pada saat itu, aku menyadari bahwa Aether tidak mencuri denyut jantungku. Dia hanya membangkitkannya. Dia telah membuka hatiku untuk kemungkinan cinta yang tak terduga. Dan mungkin, itu adalah awal dari sesuatu yang luar biasa.