Cinta, Algoritma, dan Kenangan yang Terfragmentasi: Milik Siapa?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 04:22:44 wib
Dibaca: 170 kali
Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis milik Anya. Di layar laptopnya, baris kode Python berputar, mencoba memecahkan teka-teki rumit: merekonstruksi kenangan. Bukan kenangan biasa, melainkan milik Leo, mantan kekasihnya, yang otaknya dilanda amnesia selektif pasca kecelakaan tragis setahun lalu. Anya, seorang programmer jenius spesialis AI, bertekad mengembalikan Leo yang dulu, atau setidaknya, sebagian dari dirinya.

“Semua data EEG dan fMRI sudah terhubung,” gumam Anya pada dirinya sendiri, jemarinya lincah mengetik. “Algoritma pengenalan pola wajah berfungsi dengan baik. Sekarang tinggal mencari korelasi emosional dengan memori yang tersimpan.”

Leo kini hanyalah bayangan dari Leo yang dulu. Pria cerdas, humoris, dan penuh semangat yang dikenalnya kini berubah menjadi sosok pendiam, tatapannya kosong, seolah melihat dunia melalui kabut tebal. Dokter mengatakan, beberapa bagian otaknya mengalami kerusakan permanen, memori jangka panjangnya terfragmentasi, berserakan seperti pecahan kaca yang sulit disatukan.

Anya menolak menyerah. Cinta yang pernah mereka bagi terlalu berharga untuk dilupakan. Di hari-hari awal setelah kecelakaan, ia menghabiskan waktu berjam-jam di sisi ranjang Leo, membacakan puisi favorit mereka, memutar lagu-lagu yang dulu sering mereka dengarkan, berharap ada setitik memori yang kembali menyala. Usahanya sia-sia.

Kemudian, Anya menemukan artikel tentang kemungkinan menggunakan AI untuk merekonstruksi ingatan berdasarkan aktivitas otak. Ide gila ini langsung menghantuinya. Ia tahu ini proyek nekat, melanggar batas etika dan sains, tapi rasa cintanya lebih besar dari segalanya.

Anya menarik napas dalam-dalam. Algoritmanya mulai memproses data. Di layar, muncul visualisasi jaringan saraf Leo, berpendar dengan warna-warna berbeda, menunjukkan aktivitas otak saat ia terpapar berbagai stimulus: foto, suara, aroma. Anya fokus pada data yang berkaitan dengan dirinya.

Tiba-tiba, sebuah pola muncul. Sebuah blip kecil, berkedip singkat di area otak yang terkait dengan emosi positif. Anya memperbesar area tersebut, membersihkan noise, dan menemukan pola yang berulang saat Leo melihat fotonya. Bukan foto terbaru, melainkan foto lama, diambil saat mereka berlibur di pantai setahun sebelum kecelakaan.

Air mata mengalir di pipi Anya. Ada secercah harapan. Algoritmanya bekerja.

Ia mulai membangun model tiga dimensi dari memori yang terfragmentasi itu. Visualisasi pantai, suara ombak, aroma garam, dan siluet dirinya dan Leo tertawa di kejauhan. Anya tahu, ini hanyalah representasi digital dari ingatan Leo, bukan ingatan itu sendiri. Tapi, ini adalah langkah awal.

Keesokan harinya, Anya membawa Leo ke apartemennya. Ia telah menyiapkan semuanya. Laptop terhubung ke alat pemancar gelombang otak yang dirancangnya sendiri. Alat itu akan memproyeksikan model memori yang telah direkonstruksi ke dalam otak Leo.

“Leo, aku tahu ini mungkin tidak berhasil,” kata Anya, suaranya bergetar. “Tapi aku mohon, percayalah padaku.”

Leo menatapnya dengan tatapan kosong seperti biasa. Ia tidak mengerti apa yang sedang terjadi.

Anya memasangkan alat itu di kepala Leo dan menjalankan programnya. Di layar, visualisasi pantai itu memenuhi seluruh ruangan. Leo tampak bingung, lalu sedikit terkejut. Ia memegang kepalanya, mengerutkan kening.

“Apa… ini?” bisiknya.

Anya menahan napas. “Ini pantai, Leo. Ingatkah kamu? Kita pernah ke sana.”

Leo terus menatap layar, wajahnya perlahan menunjukkan ekspresi yang berbeda. Kebingungan mulai digantikan oleh sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih dalam. Ia menyentuh layar dengan tangannya, seolah ingin meraih sesuatu yang tidak bisa dicapai.

“Anya…” gumamnya. “Aku… aku ingat… sedikit.”

Anya menangis terharu. Algoritmanya berhasil. Ia telah berhasil membangkitkan sebagian dari ingatan Leo.

Namun, kebahagiaan Anya tidak berlangsung lama. Saat Leo terus terpapar visualisasi itu, ia mulai menunjukkan tanda-tanda kebingungan yang semakin besar. Ia memegangi kepalanya dengan erat, meringis kesakitan.

“Berhenti!” teriaknya. “Sakit… terlalu sakit!”

Anya segera mematikan programnya. Leo ambruk ke lantai, terengah-engah.

“Leo! Kamu tidak apa-apa?” tanya Anya panik.

Leo perlahan membuka matanya. Tatapannya tidak lagi kosong, melainkan dipenuhi kebingungan dan ketakutan.

“Siapa kamu?” tanyanya. “Dan mengapa aku melihat semua ini?”

Jantung Anya serasa berhenti berdetak. Leo tidak hanya melupakan ingatan tentang pantai itu, ia juga melupakannya. Ia bahkan tidak mengenalinya lagi.

Anya tersadar akan kesalahannya. Ia terlalu fokus pada teknologinya, terlalu dibutakan oleh cintanya, sehingga melupakan batas kemampuan sains dan dampak emosional yang mungkin terjadi. Ia telah mencoba memaksa otaknya Leo untuk mengingat sesuatu yang mungkin tidak ingin diingatnya, sesuatu yang terlalu menyakitkan untuk di hadapi.

Anya memeluk Leo erat-erat, air matanya membasahi rambutnya. Ia tahu, ia harus melepaskannya. Ia harus menerima kenyataan bahwa Leo yang dulu mungkin tidak akan pernah kembali.

Cinta, algoritma, dan kenangan yang terfragmentasi. Semuanya menjadi pertanyaan tanpa jawaban. Milik siapa ingatan itu sebenarnya? Milik Leo, atau milik Anya yang berusaha mati-matian untuk menggenggam masa lalu? Anya tahu, jawabannya mungkin tidak akan pernah ia temukan. Yang tersisa hanyalah rasa sakit dan penyesalan, bercampur dengan harapan kecil bahwa suatu hari nanti, Leo akan menemukan kedamaian dan kebahagiaannya sendiri, meskipun tanpa dirinya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI