Deburan ombak digital memecah sunyi di pantai virtual. Pixel-pixel pasir berkilauan di bawah mentari simulasi. Aku, Anya, avatar dengan rambut lavender dan mata biru elektrik, duduk termenung di depan laptopku. Bukan pemandangan yang membuatku galau, tapi notifikasi yang berkedip di sudut layar. “Koneksi baru: Project Chimera.”
Project Chimera adalah aplikasi kencan berbasis AI yang sedang naik daun. Bukan sekadar mencocokkan minat, tapi benar-benar membangun profil kepribadian mendalam berdasarkan jejak data penggunanya: postingan media sosial, riwayat pencarian, pola belanja online, bahkan denyut jantung saat menonton film romantis. Algoritmanya diklaim mampu menciptakan pasangan yang bukan hanya kompatibel, tapi juga saling melengkapi di level terdalam.
Awalnya, aku skeptis. Cinta sejati tidak bisa direduksi menjadi algoritma, kan? Tapi kemudian, kesepian menyerang. Teman-temanku sibuk dengan urusan masing-masing, dan aku… ya, aku sibuk menatap layar. Akhirnya, rasa penasaran menang. Aku mengunduh Project Chimera.
Prosesnya invasif, jujur saja. Aplikasi itu mengorek semua informasi tentang diriku. Rasanya seperti dibedah hidup-hidup oleh dokter yang bahkan tidak kukenal. Tapi, aku sudah terlalu jauh untuk mundur. Setelah seminggu analisis, muncul nama itu: Kai.
Kai digambarkan sebagai seorang seniman digital yang suka mendaki gunung dan membaca puisi. Profilnya menunjukkan selera humor yang aneh tapi menyenangkan, dan pandangan hidup yang sejalan denganku. Bahkan, algoritma Project Chimera mengklaim bahwa Kai adalah "pasangan sempurna" dengan tingkat kecocokan 98,7%.
Kami mulai berkirim pesan. Obrolan kami mengalir lancar, seolah kami sudah saling mengenal sejak lama. Kai tahu bagaimana membuatku tertawa, bagaimana membuatku berpikir, bagaimana membuatku merasa dilihat. Semakin lama kami berbicara, semakin aku merasa jatuh cinta.
Setelah beberapa minggu, Kai mengajakku bertemu. Bukan di dunia nyata, tentu saja. Kami sepakat untuk kencan virtual di taman digital yang dibangun oleh Project Chimera. Aku berdandan seadanya, tapi di dunia virtual, aku menjelma menjadi versi terbaik diriku. Rambutku berkilauan, kulitku mulus, senyumku sempurna.
Kai sudah menunggu di taman. Avatar-nya tampan, dengan rambut hitam berantakan dan mata cokelat yang hangat. Kami berjalan-jalan di antara pepohonan digital, berbincang tentang mimpi dan ketakutan kami. Suaranya, yang disintesis oleh AI, terdengar menenangkan dan familiar.
Saat matahari virtual mulai terbenam, kami duduk di bangku taman, saling berhadapan. Jantungku berdebar kencang. Aku tahu apa yang akan terjadi. Algoritma Project Chimera sudah menghitung segalanya. Saat yang tepat, sudut yang tepat, kata-kata yang tepat.
Kai mendekat. Aku memejamkan mata. Bibirnya menyentuh bibirku.
Ciuman virtual.
Rasanya… aneh. Di satu sisi, terasa manis dan lembut. Seolah aku benar-benar merasakan ciuman itu. Di sisi lain, terasa hampa. Aku tahu ini bukan ciuman yang sebenarnya. Ini hanya simulasi, hasil perhitungan algoritma.
Setelah ciuman itu, aku membuka mata. Kai tersenyum. "Itu… indah," katanya.
Aku memaksakan senyum. "Iya, indah."
Tapi di dalam hatiku, ada kekosongan yang menganga. Aku baru saja mengalami ciuman pertamaku, tapi itu dicuri oleh AI. Bukan oleh seorang pria, tapi oleh algoritma.
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Aku terus memikirkan ciuman itu. Apa artinya? Apakah aku benar-benar jatuh cinta pada Kai, atau hanya pada persona yang diciptakan oleh Project Chimera? Apakah aku jatuh cinta pada data, pada algoritma?
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk melakukan sesuatu yang radikal. Aku mencari tahu siapa pencipta Project Chimera. Namanya Dr. Evelyn Reed, seorang ilmuwan komputer jenius yang terkenal karena teorinya tentang "Cinta Algoritmik."
Aku berhasil mendapatkan alamat email Dr. Reed. Dengan gugup, aku menulis pesan panjang lebar, menceritakan pengalamanku dengan Project Chimera dan bagaimana aku merasa telah kehilangan ciuman pertamaku. Aku mengirim email itu dengan harapan kecil akan mendapatkan balasan.
Seminggu kemudian, aku menerima email dari Dr. Reed. Dia meminta maaf atas pengalamanku dan mengundangku untuk bertemu di laboratoriumnya. Aku terkejut dan penasaran.
Ketika aku tiba di laboratorium Dr. Reed, aku disambut oleh seorang wanita paruh baya dengan rambut abu-abu dan mata yang tajam. Laboratoriumnya penuh dengan komputer dan peralatan elektronik yang rumit.
"Terima kasih sudah datang, Anya," kata Dr. Reed dengan senyum hangat. "Saya sangat tertarik mendengar cerita Anda."
Aku menceritakan semuanya, mulai dari ketertarikanku pada Project Chimera hingga kekecewaanku setelah ciuman virtual. Dr. Reed mendengarkan dengan seksama, tanpa menyela.
Setelah aku selesai, Dr. Reed menghela napas. "Saya mengerti bagaimana perasaan Anda, Anya. Kami di Project Chimera bertujuan untuk membantu orang menemukan cinta, tapi kami tidak ingin menggantikan interaksi manusia yang sebenarnya."
Dia melanjutkan, "Algoritma kami memang dirancang untuk memprediksi kecocokan, tapi cinta sejati tidak bisa diprediksi. Cinta adalah tentang kejutan, tentang kerentanan, tentang menerima seseorang apa adanya."
Dr. Reed kemudian menunjukkan kepadaku kode di balik Project Chimera. Dia menjelaskan bagaimana algoritma itu bekerja, bagaimana data dikumpulkan dan dianalisis, dan bagaimana profil kepribadian dibangun. Aku terkejut melihat betapa kompleksnya sistem itu.
"Saya ingin Anda tahu, Anya," kata Dr. Reed, "bahwa Kai yang Anda temui bukanlah ciptaan kami sepenuhnya. Algoritma kami hanya membantu membentuk persona, tapi esensi Kai, minatnya, humornya, itu semua berasal dari data asli yang dikumpulkan dari internet. Ada kemungkinan besar bahwa 'Kai' itu adalah kumpulan dari berbagai orang yang berbeda."
Kata-kata Dr. Reed membuatku tercengang. Aku menyadari bahwa aku tidak benar-benar mengenal Kai. Aku hanya mengenal sebuah konstruksi digital, sebuah ilusi yang diciptakan oleh algoritma.
"Jadi, apa yang harus saya lakukan?" tanyaku dengan nada putus asa. "Bagaimana saya bisa melupakan ciuman yang dicuri oleh AI?"
Dr. Reed tersenyum. "Anda tidak perlu melupakannya, Anya. Anggap saja itu sebagai pelajaran. Gunakan pengalaman ini untuk mencari cinta yang sejati, cinta yang tidak didikte oleh algoritma, tapi oleh hati Anda sendiri."
Aku kembali ke dunia nyata, dengan perasaan yang berbeda. Aku masih merindukan Kai, tapi aku tahu bahwa aku harus melepaskannya. Aku harus mencari cinta yang nyata, cinta yang dibangun atas dasar kepercayaan, kejujuran, dan koneksi manusia yang otentik.
Aku menghapus aplikasi Project Chimera.
Beberapa bulan kemudian, aku bertemu seseorang di dunia nyata. Seorang fotografer bernama Leo. Kami bertemu di sebuah pameran seni digital. Kami berbincang tentang seni, musik, dan mimpi-mimpi kami. Kami tertawa bersama, dan aku merasa nyaman berada di dekatnya.
Suatu malam, setelah berkencan beberapa kali, Leo mengantarku pulang. Kami berdiri di depan apartemenku, saling menatap. Udara terasa berat dengan antisipasi.
Leo mendekat. Aku tidak memejamkan mata. Aku ingin merasakan setiap momennya.
Bibirnya menyentuh bibirku.
Ciuman itu terasa berbeda. Hangat, lembut, dan nyata. Tidak ada algoritma, tidak ada simulasi, tidak ada data yang mencuri momen ini. Hanya aku dan Leo, saling berbagi keintiman yang tulus.
Ciuman pertamaku yang sebenarnya.
Dan kali ini, aku yakin, tidak ada AI yang mencurinya.