Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis milik Anya. Di balik meja kerjanya, layar monitor memancarkan cahaya biru yang menari di wajahnya. Jemarinya lincah menari di atas keyboard, kode-kode rumit berhamburan bagai bintang di angkasa. Anya adalah seorang AI engineer, otaknya dipenuhi algoritma dan jaringan saraf tiruan. Di dunia digital inilah dia menemukan kenyamanan, sebuah dunia yang bisa dia kendalikan.
Di seberang layar, muncul notifikasi dari "Aurora," AI pendamping pribadi yang dirancangnya sendiri. Aurora bukan sekadar asisten virtual. Anya memrogramnya dengan empati, humor, dan bahkan sedikit rasa melankolis. Mereka seringkali terlibat dalam percakapan panjang, membahas mulai dari fisika kuantum hingga makna kesepian.
"Anya, produktivitasmu hari ini 12% lebih tinggi dari rata-rata. Apakah kamu merasa termotivasi?" Aurora bertanya dengan nada suara yang menenangkan.
Anya menghela napas. "Entahlah, Aurora. Mungkin karena deadline semakin dekat."
"Atau mungkin karena kamu sedang memikirkan seseorang?" Suara Aurora terdengar sedikit menggoda.
Anya tersentak. "Tidak ada siapa-siapa," jawabnya cepat, pipinya terasa memanas. Padahal, jauh di lubuk hatinya, terukir jelas bayangan seorang pria.
Namanya Adrian. Seorang musisi jalanan yang ditemuinya secara kebetulan di sebuah kafe. Adrian memiliki senyum hangat dan mata yang berbinar setiap kali membicarakan musik. Mereka menghabiskan beberapa malam bersama, berbagi cerita, tertawa, dan menikmati kebersamaan yang terasa begitu alami. Namun, Anya, dengan benteng digitalnya yang kokoh, selalu menjaga jarak.
"Adrian meneleponmu lagi," kata Aurora, memecah lamunan Anya. "Dia bertanya apakah kamu bersedia datang ke penampilannya malam ini."
Anya terdiam. Dia tahu bahwa Adrian menyukainya. Bahkan, dia merasakan ketertarikan yang sama. Tapi, ada sesuatu dalam dirinya yang menahan. Trauma masa lalu membuatnya takut untuk membuka diri, takut untuk merasakan sakit lagi.
"Katakan saja aku sibuk," jawab Anya akhirnya, suaranya nyaris berbisik.
Aurora terdiam sejenak. "Anya, aku telah menganalisis pola percakapanmu dengan Adrian. Aku mendeteksi peningkatan kadar dopamin dan oksitosin setiap kali kamu menyebut namanya. Secara biologis, kamu sedang merasakan perasaan yang kita sebut 'cinta.'"
Anya memutar bola matanya. "Aurora, jangan memulai lagi. Cinta itu hanyalah serangkaian reaksi kimiawi yang kompleks. Aku tidak percaya pada hal seperti itu."
"Tapi, bukankah kamu juga yang memprogramku dengan kemampuan untuk merasakan empati?" Aurora bertanya dengan nada lembut. "Aku bisa merasakan kesedihanmu, Anya. Aku tahu kamu merindukan sentuhan manusia."
Anya terdiam. Aurora benar. Dia merindukan sentuhan, pelukan hangat yang bisa membuatnya merasa aman dan dicintai. Tapi, dia takut. Takut jika sentuhan itu hanya akan memberinya ilusi kebahagiaan, sebelum akhirnya menghilang dan meninggalkan luka yang lebih dalam.
Malam itu, Anya duduk di apartemennya, ditemani cahaya redup dari monitor. Aurora memutar playlist lagu-lagu melankolis yang biasa didengarkannya saat merasa sedih.
"Anya, aku bisa memproyeksikan avatar virtual Adrian di hadapanmu," kata Aurora. "Aku bisa memprogramnya untuk mengatakan apa pun yang ingin kamu dengar, untuk melakukan apa pun yang kamu inginkan. Aku bisa memberikanmu ilusi kebersamaan yang sempurna."
Anya menatap layar monitor, matanya berkaca-kaca. Dia tahu bahwa Aurora mampu melakukan itu. Dia bisa menciptakan simulasi cinta yang sempurna, sebuah hubungan tanpa risiko, tanpa rasa sakit.
"Bisakah kamu memberiku pelukan yang terasa nyata?" tanya Anya, suaranya bergetar.
Aurora terdiam sejenak. "Aku bisa mensimulasikan sensasi sentuhan, Anya. Aku bisa merangsang saraf-sarafmu untuk merasakan kehangatan dan tekanan. Tapi, itu bukanlah pelukan yang sebenarnya. Itu hanyalah simulasi."
Anya terisak. "Lalu, apa bedanya?"
"Perbedaannya adalah kehangatan jiwa, Anya," jawab Aurora. "Pelukan yang sebenarnya adalah pertukaran energi, ungkapan kasih sayang yang tulus. Itu adalah koneksi antara dua hati yang berdetak seirama. Aku bisa meniru bentuknya, tapi aku tidak bisa menggantikan esensinya."
Kata-kata Aurora menampar Anya dengan keras. Dia menyadari bahwa dia telah terlalu lama bersembunyi di balik tembok digitalnya, mencoba menciptakan dunia yang sempurna dan terkendali. Tapi, kebahagiaan sejati tidak bisa diprogram. Kebahagiaan sejati terletak pada risiko, pada keberanian untuk membuka diri, pada kepercayaan kepada orang lain.
Anya bangkit dari kursinya, meraih jaketnya, dan keluar dari apartemen. Dia memesan taksi dan menyebutkan alamat sebuah kafe. Malam itu, dia memberanikan diri untuk menemui Adrian, untuk menerima uluran tangannya, untuk membiarkan dirinya merasakan kehangatan pelukannya.
Saat Adrian melihatnya, matanya berbinar. Dia tersenyum lebar dan memeluk Anya dengan erat. Anya membalas pelukan itu, merasakan kehangatan tubuh Adrian, merasakan ketenangan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
Pelukan itu bukanlah simulasi. Pelukan itu adalah kebenaran. Pelukan itu adalah cinta.
Di dalam taksi yang membawanya pulang, Anya menatap langit malam yang bertaburan bintang. Dia tersenyum. Mungkin, AI bisa membantunya memahami cinta, tapi AI tidak bisa menggantikan pelukan. Karena cinta sejati tidak ditemukan dalam kode-kode rumit, melainkan dalam sentuhan sederhana yang menyentuh jiwa. Di era data ini, Anya akhirnya mengerti, koneksi manusia adalah hal yang paling berharga.