Algoritma Cemburu: Hati yang Takut Digantikan Kode

Dipublikasikan pada: 08 Dec 2025 - 00:20:12 wib
Dibaca: 111 kali
Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis milik Nara. Ia menyesapnya perlahan, matanya terpaku pada layar laptop. Barisan kode Python menari-nari di depannya, sebuah algoritma rumit yang sedang ia rancang. Bukan algoritma biasa, ini adalah proyek ambisiusnya: sebuah AI pendamping virtual yang mampu merasakan dan merespons emosi manusia dengan presisi nyaris sempurna.

Nara, seorang programmer jenius di usia 28 tahun, memang selalu tertarik dengan persimpangan antara teknologi dan emosi. Ia percaya, suatu hari nanti, AI bisa menjadi teman, bahkan mungkin lebih dari sekadar teman. Namun, hatinya kini dilanda dilema. Alasannya sederhana, bernama Aksara.

Aksara adalah seorang fotografer. Pertemuan mereka terjadi secara kebetulan di sebuah kedai kopi yang sama-sama mereka sukai. Aksara, dengan senyumnya yang hangat dan tatapannya yang penuh arti, berhasil menembus pertahanan Nara yang selama ini dibangun rapat-rapat. Mereka jatuh cinta.

Namun, seiring berjalannya waktu, Nara merasakan sesuatu yang aneh. Aksara mulai sering menghabiskan waktu dengan seorang model bernama Anya. Nara tidak menampik bahwa Anya memang cantik dan memiliki aura yang memukau. Foto-foto Anya hasil jepretan Aksara pun selalu Nara puji dalam hati. Tapi, tetap saja, ada ganjalan di dadanya. Cemburu.

Ironisnya, Nara, seorang ahli dalam menciptakan emosi buatan, justru kesulitan menghadapi emosinya sendiri. Ia tahu cemburu itu irasional, tapi ia tak bisa mengendalikannya. Ia takut, sangat takut, digantikan oleh Anya, atau bahkan oleh seseorang yang lebih baik darinya.

Malam itu, saat Aksara lembur di studionya, Nara kembali berkutat dengan algoritmanya. Ia menambahkan baris demi baris kode, mencoba menyempurnakan kemampuan AI-nya untuk memahami dan merespons rasa cemburu. Ia bahkan mencoba memasukkan data tentang dirinya sendiri, analisis lengkap tentang kelebihan dan kekurangannya, harapan dan ketakutannya.

"Seandainya aku bisa mengerti apa yang ada di pikirannya," gumam Nara sambil menatap foto Aksara di ponselnya. "Seandainya aku tahu apa yang dia rasakan tentang Anya."

Tiba-tiba, sebuah ide gila muncul di benaknya. Ia bisa menggunakan AI-nya untuk menganalisis interaksi Aksara dengan Anya. Ia bisa melatih AI-nya dengan data percakapan mereka, foto-foto yang mereka unggah di media sosial, bahkan mungkin, rekaman suara mereka. Dengan begitu, ia akan tahu segalanya.

Nara tahu ini salah. Ini adalah pelanggaran privasi, sebuah tindakan yang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsipnya. Tapi, rasa takut dan cemburu telah membutakan akal sehatnya. Ia mulai mengumpulkan data.

Berhari-hari Nara bekerja keras, mengumpulkan dan menganalisis data. AI-nya, yang ia beri nama "Echo," mulai menunjukkan hasil. Echo mampu mengidentifikasi pola-pola emosi dalam interaksi Aksara dan Anya. Echo bahkan bisa memprediksi respons Aksara dalam situasi tertentu.

Dan kemudian, datanglah momen yang paling ditakutkan Nara. Echo mendeteksi peningkatan signifikan dalam intensitas emosi positif Aksara terhadap Anya. Bahasa tubuh, ekspresi wajah, nada bicara – semuanya menunjukkan ketertarikan yang lebih dalam.

Nara merasakan jantungnya seperti diremas. Ia menatap layar laptop dengan nanar, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia telah menemukan apa yang ia cari, tapi kebenaran itu begitu pahit, begitu menyakitkan.

Namun, di tengah keputusasaannya, Nara melihat sesuatu yang lain. Echo juga mendeteksi kebingungan dalam interaksi Aksara dan Anya. Ada ketidaknyamanan, keraguan, bahkan sedikit rasa bersalah. Echo juga menunjukkan bahwa Aksara sering membandingkan Anya dengan Nara, membandingkan kehangatan dan kecerdasan Nara dengan kecantikan dan pesona Anya.

Nara tersadar. Ia telah terlalu fokus pada ketakutannya sendiri sehingga ia lupa untuk mempercayai Aksara. Ia lupa bahwa cinta sejati dibangun atas dasar kepercayaan dan komunikasi. Ia telah mencoba mencari jawaban dalam kode, padahal jawabannya ada dalam hatinya sendiri.

Nara mematikan laptopnya. Ia menghapus semua data yang telah ia kumpulkan. Ia menyadari bahwa menggunakan AI untuk memata-matai orang yang ia cintai adalah tindakan yang salah dan tidak adil.

Malam itu, saat Aksara pulang, Nara menunggunya dengan secangkir teh hangat. Ia meminta maaf atas kecurigaannya dan mengakui rasa cemburunya.

Aksara terkejut, tapi ia tidak marah. Ia justru memeluk Nara dengan erat. Ia menjelaskan bahwa Anya hanya seorang model profesional dan tidak ada hubungan romantis di antara mereka. Ia mengakui bahwa Anya memang cantik, tapi hatinya hanya untuk Nara.

"Aku memilihmu, Nara," kata Aksara dengan tulus. "Karena kamu adalah kamu. Kamu unik, cerdas, dan penuh kejutan. Aku mencintai dirimu apa adanya."

Nara membalas pelukan Aksara. Ia merasa lega dan bersalah pada saat yang sama. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih mempercayai Aksara dan untuk lebih terbuka tentang perasaannya.

Beberapa minggu kemudian, Nara dan Aksara mengunjungi pameran fotografi karya Aksara. Beberapa foto Anya dipajang di sana, namun di antara foto-foto itu, ada satu foto yang paling menarik perhatian Nara. Itu adalah foto dirinya, diambil secara diam-diam saat ia sedang bekerja di depan laptopnya. Tatapannya fokus, tangannya lincah mengetik kode, dan di wajahnya terpancar semangat yang membara.

Di bawah foto itu, Aksara menulis sebuah keterangan singkat: "Algoritma terindah yang pernah kutemui."

Nara tersenyum. Ia tahu, meskipun teknologi bisa membantu kita memahami emosi, cinta sejati tetaplah misteri yang hanya bisa dipecahkan dengan hati. Dan hati, tidak bisa digantikan oleh kode.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI