Cinta? Upgrade Diri, Atau Format Ulang Hati?

Dipublikasikan pada: 02 Jun 2025 - 04:54:11 wib
Dibaca: 164 kali
Lampu neon di kubikelnya berdengung rendah, senada dengan gumaman lelahnya. Aira menatap barisan kode di layar monitornya, tapi pikirannya melayang jauh dari algoritma rumit yang seharusnya ia pecahkan. Hari ini, tepat satu tahun sejak Riko, mantan pacarnya yang programmer juga, memutuskan hubungan mereka. Alasan klise: "Kita terlalu fokus pada karir masing-masing."

Aira mendengus. Bukankah itu alasan yang ironis? Mereka berdua bekerja di perusahaan teknologi yang sama, menghabiskan waktu bersama di kantor, bahkan seringkali menyelesaikan masalah bersama. Karir memang penting, tapi apakah cinta harus dikorbankan demi deretan angka dan baris kode?

Bayangan Riko muncul di benaknya. Senyumnya yang menenangkan, matanya yang berbinar saat menemukan solusi masalah rumit, dan caranya menggenggam tangannya saat mereka berjalan di taman kota setelah jam kerja. Semua itu terasa begitu jauh, begitu asing, seolah mimpi yang pernah ia alami.

Sejak putus, Aira memang berusaha fokus pada karirnya. Ia mengikuti berbagai pelatihan, meningkatkan skill coding-nya, bahkan berhasil meraih promosi. Ia membeli gadget terbaru, berlangganan layanan streaming film, dan mencoba berbagai hobi baru. Ia berusaha meng-upgrade dirinya, seperti yang sering dilakukan pada sistem operasi komputer.

Tapi, di balik kesibukannya, hatinya terasa hampa. Setiap malam, sebelum tidur, ia selalu memikirkan Riko. Ia bertanya-tanya apakah Riko juga merindukannya, apakah Riko menyesali keputusannya. Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya seperti looping program yang tak kunjung selesai.

Suatu sore, Aira sedang menikmati kopi di kafe dekat kantor. Matanya menangkap sosok yang familiar di meja seberang. Riko. Ia sedang tertawa sambil berbicara dengan seorang wanita yang tidak ia kenal. Wanita itu cantik, modis, dan terlihat sangat tertarik dengan cerita Riko.

Jantung Aira berdebar kencang. Perasaan sakit dan cemburu bercampur aduk. Ia ingin beranjak dari tempat duduknya, menghampiri Riko, dan menanyakan kabarnya. Tapi, ia juga takut. Takut melihat kebahagiaan Riko tanpa dirinya. Takut mendengar bahwa Riko sudah melupakannya.

Ia memutuskan untuk tetap duduk di tempatnya, mengamati Riko dari kejauhan. Ia memperhatikan setiap gerak-geriknya, setiap ekspresi wajahnya. Ia menyadari bahwa Riko terlihat bahagia. Lebih bahagia dari yang pernah ia lihat sebelumnya.

Saat itu, Aira merasa ada sesuatu yang patah di dalam dirinya. Bukan patah hati seperti yang ia rasakan setahun lalu, tapi patah harapan. Harapan bahwa Riko akan kembali padanya. Harapan bahwa cinta mereka masih bisa diperbaiki.

Malam itu, Aira tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan Riko dan wanita itu. Ia menyadari bahwa selama ini, ia telah salah. Ia terlalu fokus pada meng-upgrade dirinya, berusaha menjadi orang yang lebih baik agar Riko kembali tertarik padanya. Ia lupa bahwa cinta bukan tentang menjadi sempurna, tapi tentang menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing.

Ia juga menyadari bahwa ia tidak bisa terus menerus hidup dalam masa lalu. Ia harus melepaskan Riko, memaafkan dirinya sendiri, dan membuka hatinya untuk kemungkinan baru. Ia harus memformat ulang hatinya, menghapus semua kenangan tentang Riko, dan memulai dari awal.

Keesokan harinya, Aira datang ke kantor dengan semangat baru. Ia menyelesaikan pekerjaannya dengan fokus dan efisien. Ia bahkan berhasil menemukan solusi untuk masalah algoritma yang telah membuatnya pusing selama berhari-hari.

Saat jam makan siang, ia memberanikan diri untuk menghampiri Riko di kantin. Riko terlihat terkejut melihatnya.

"Hai, Riko," sapa Aira dengan senyum tulus.

"Aira? Hai," jawab Riko sedikit gugup.

"Aku cuma mau bilang, aku senang melihat kamu bahagia," kata Aira. "Dan, aku minta maaf kalau selama ini aku terlalu kekanak-kanakan."

Riko menatap Aira dengan tatapan penuh arti. "Aku juga minta maaf, Aira. Mungkin, dulu kita terlalu muda dan belum tahu apa yang kita inginkan."

Aira mengangguk. "Mungkin. Tapi, yang penting sekarang, kita berdua bahagia dengan jalan yang kita pilih."

"Benar," sahut Riko. "Dan, ngomong-ngomong, wanita yang kemarin kamu lihat di kafe itu, dia tunanganku."

Aira tersenyum. "Selamat, Riko. Aku benar-benar bahagia untukmu."

Setelah itu, Aira berpamitan dan kembali ke kubikelnya. Ia merasa lega. Beban berat yang selama ini membebani hatinya terasa hilang. Ia menyadari bahwa melepaskan Riko adalah keputusan yang tepat.

Beberapa bulan kemudian, Aira bertemu dengan seorang pria bernama Arya di sebuah konferensi teknologi. Arya adalah seorang arsitek software yang cerdas, humoris, dan memiliki visi yang sama dengan Aira. Mereka menghabiskan waktu bersama, bertukar pikiran tentang teknologi, dan berbagi cerita tentang kehidupan mereka.

Aira merasa nyaman dan bahagia bersama Arya. Ia tidak perlu berpura-pura menjadi orang lain untuk membuatnya terkesan. Arya mencintai Aira apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Suatu malam, saat mereka sedang berjalan di taman kota, Arya berhenti dan menatap Aira dengan tatapan penuh cinta.

"Aira," kata Arya. "Aku tahu ini mungkin terlalu cepat, tapi aku tidak bisa menahannya lagi. Aku jatuh cinta padamu."

Aira tersenyum. "Aku juga, Arya."

Arya menggenggam tangan Aira dan menciumnya dengan lembut. Saat itu, Aira merasa hatinya dipenuhi dengan kebahagiaan. Ia menyadari bahwa cinta sejati bukan tentang meng-upgrade diri atau memformat ulang hati, tapi tentang menemukan seseorang yang bisa menerima dan mencintai kita apa adanya. Cinta adalah tentang koneksi, tentang kejujuran, dan tentang menerima segala kekurangan dan kelebihan. Dan Aira, akhirnya, telah menemukan cintanya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI