Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis Leo. Di depan layar komputernya, kode-kode algoritma cinta berbaris rapi, sebuah proyek yang sedang dia kerjakan siang dan malam. Leo adalah seorang AI engineer muda yang idealis. Baginya, cinta bukan sekadar perasaan abstrak, melainkan serangkaian data dan pola yang bisa dianalisis dan direplikasi. Proyeknya ini, yang ia beri nama “Cupid AI,” bertujuan untuk menemukan pasangan ideal bagi setiap orang berdasarkan preferensi, kepribadian, dan bahkan gelombang otak yang cocok.
"Sedikit lagi, dan Cupid AI akan siap," gumam Leo sambil menyesap kopinya. Ia telah memasukkan data dirinya sendiri sebagai test subject. Tujuannya sederhana: membuktikan bahwa algoritma ciptaannya bisa menemukan cinta sejati, bahkan untuk dirinya sendiri yang cenderung antisosial dan lebih nyaman berinteraksi dengan barisan kode daripada manusia.
Hari itu tiba. Cupid AI resmi diluncurkan. Aplikasi itu menawarkan antarmuka sederhana namun elegan, dengan serangkaian pertanyaan mendalam tentang diri Leo. Setelah semua data terkumpul, algoritma mulai bekerja. Suara notifikasi yang khas berdering dari laptop Leo.
“Kandidat ideal ditemukan.”
Jantung Leo berdebar kencang. Di layar, terpampang foto seorang wanita cantik dengan rambut cokelat bergelombang dan senyum menawan. Namanya: Anya. Seorang arsitek muda dengan minat yang sama dengan Leo: seni, film klasik, dan teknologi tentu saja.
“Tingkat kecocokan: 98%,” lanjut Cupid AI. “Anya memiliki probabilitas tinggi untuk menjadi pasangan ideal Anda.”
Leo tidak membuang waktu. Ia langsung mengirim pesan perkenalan melalui platform Cupid AI. Pesannya singkat, jujur, dan penuh harap. Respon Anya datang beberapa menit kemudian. Obrolan daring mereka mengalir lancar. Mereka membahas segala hal, dari arsitektur Bauhaus hingga implikasi filosofis dari kecerdasan buatan.
Setelah seminggu berinteraksi secara virtual, Leo memberanikan diri mengajak Anya berkencan. Mereka bertemu di sebuah kafe kecil dengan suasana remang-remang dan musik jazz yang lembut. Pertemuan itu terasa seperti mimpi. Anya sama menawannya dengan fotonya. Ia cerdas, lucu, dan memiliki pandangan dunia yang sejalan dengan Leo. Mereka berbicara selama berjam-jam, tanpa terasa waktu berlalu.
Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan kencan, obrolan panjang, dan tawa. Leo merasa hidupnya lebih berwarna. Ia mulai keluar dari cangkangnya, berinteraksi lebih banyak dengan orang lain, dan bahkan mulai menikmati kegiatan-kegiatan sosial. Anya bukan hanya pasangan, tetapi juga inspirasi.
Cupid AI terbukti berhasil. Leo menjadi bukti nyata bahwa cinta bisa ditemukan melalui algoritma. Kisah cintanya dengan Anya menjadi headline di berbagai media teknologi. Leo diundang ke berbagai konferensi untuk berbicara tentang inovasinya. Ia merasa berada di puncak dunia.
Namun, di balik kebahagiaan itu, ada keraguan kecil yang mulai tumbuh di benak Leo. Apakah cintanya pada Anya benar-benar tulus, atau hanya hasil dari perhitungan algoritma yang rumit? Apakah Anya mencintainya sebagai Leo, manusia yang unik dengan segala kekurangannya, atau hanya mencintai versi ideal dirinya yang diproyeksikan oleh Cupid AI?
Keraguan itu semakin besar ketika Leo menemukan sesuatu yang aneh di data Cupid AI. Ia menemukan bahwa algoritma tersebut sedikit dimodifikasi setelah data Anya dimasukkan. Ada penyesuaian kecil yang dibuat untuk meningkatkan tingkat kecocokan mereka. Leo merasa dikhianati. Apakah Cupid AI sengaja memanipulasi data untuk memastikan mereka berdua bersama?
Ia mengkonfrontasi Anya tentang hal ini. Awalnya, Anya bingung dan marah. Ia merasa dituduh tidak tulus. Namun, setelah Leo menjelaskan temuannya secara detail, Anya mulai merenung.
"Aku... aku juga merasa aneh, Leo," kata Anya dengan suara lirih. "Sejak awal, aku merasa terlalu sempurna untukmu. Terlalu mudah untuk jatuh cinta. Aku selalu bertanya-tanya apakah aku benar-benar mencintaimu, atau hanya mencintai ide tentangmu yang ditawarkan oleh aplikasi itu."
Malam itu menjadi malam terpanjang dalam hidup Leo. Mereka berdebat, menangis, dan saling mempertanyakan perasaan masing-masing. Pada akhirnya, mereka sampai pada kesimpulan yang pahit: cinta mereka mungkin hanya ilusi, hasil dari manipulasi algoritma yang canggih.
Mereka memutuskan untuk berpisah. Perpisahan itu menyakitkan, tetapi mereka tahu bahwa itu adalah pilihan yang terbaik. Mereka tidak ingin hidup dalam kebohongan, dalam bayang-bayang algoritma yang mengatur perasaan mereka.
Leo kembali ke apartemennya yang sepi. Ia memandang layar komputernya dengan tatapan kosong. Kode-kode Cupid AI yang dulu ia banggakan kini tampak seperti monster yang menertawakannya. Ia menghapus semua data Anya dari sistem, berusaha menghapus jejak cintanya yang palsu.
Namun, menghapus data tidak sama dengan menghapus perasaan. Leo tetap merindukan Anya, merindukan tawa dan obrolan mereka. Ia menyadari bahwa cinta tidak bisa diprediksi, tidak bisa direplikasi, dan tidak bisa dipaksa. Cinta adalah sesuatu yang organik, sesuatu yang tumbuh secara alami dari interaksi manusia yang tulus.
Leo menutup laptopnya. Ia berjalan ke jendela dan memandang kota yang gemerlap di bawah sana. Ia masih percaya pada cinta, tetapi ia tahu bahwa ia harus mencarinya dengan cara yang berbeda. Bukan melalui algoritma, melainkan melalui hati dan jiwanya sendiri. Ia harus membuka diri pada kemungkinan-kemungkinan yang tak terduga, menerima ketidaksempurnaan manusia, dan menerima risiko patah hati. Karena, mungkin, hanya dengan merasakan sakitnya patah hati, seseorang bisa benar-benar memahami arti cinta sejati. Algoritma mungkin bisa menemukan pasangan, tetapi hanya hati yang bisa menemukan cinta. Leo menarik napas dalam-dalam dan tersenyum pahit. Perjalanannya baru saja dimulai.