Hati Digital: Unduh Cinta, Temukan Luka?

Dipublikasikan pada: 15 Nov 2025 - 02:00:19 wib
Dibaca: 133 kali
Aplikasi kencan "Soulmate.AI" menjanjikan lebih dari sekadar kecocokan algoritma. Katanya, ia bisa membaca gelombang otak, menganalisis mimik mikro, dan memprediksi kompatibilitas emosional secara akurat. Bagi Anya, seorang programmer yang lebih nyaman berinteraksi dengan baris kode daripada manusia, Soulmate.AI terdengar seperti solusi sempurna untuk mengakhiri kesendiriannya yang kronis.

Anya skeptis, tentu saja. Tapi rasa penasaran dan kerinduan akan sentuhan manusia menang telak. Ia mengunduh aplikasi itu, mengisi profil dengan jujur (atau setidaknya, sejujur yang ia izinkan pada dunia maya), dan membiarkan Soulmate.AI memindai pikirannya. Prosesnya aneh, seperti meditasi paksa yang dibumbui dengan data. Setelahnya, Anya menerima daftar nama, lengkap dengan persentase kecocokan yang menggelikan.

Di puncak daftar itu, terpampang nama "Rian Wijaya" dengan skor 98%. Foto Rian menampilkan senyum teduh, mata yang seolah menyimpan cerita panjang, dan aura artistik yang memancar meski hanya dari piksel. Anya yang rasional mendadak hilang kendali. Ia mengirim pesan singkat.

"Halo, Rian. Soulmate.AI bilang kita cocok."

Jawaban Rian datang cepat. "Halo, Anya. Kalau AI bilang begitu, aku percaya saja."

Percakapan mereka mengalir lancar. Rian ternyata seorang fotografer lepas, mencintai senja, kopi hitam, dan obrolan panjang tentang makna hidup. Anya, yang biasanya kaku dan introvert, mendapati dirinya terbuka pada Rian. Ia bercerita tentang kecintaannya pada coding, mimpinya menciptakan AI yang benar-benar empatik, dan ketakutannya menghadapi dunia nyata. Rian mendengarkan dengan sabar, memberikan komentar yang cerdas dan dukungan yang tulus.

Dalam beberapa minggu, dunia Anya berpusat pada Rian. Mereka bertukar pesan setiap hari, berbicara melalui video call berjam-jam, dan saling mengenal lebih dalam dari yang pernah Anya bayangkan. Ia merasa seperti menemukan potongan puzzle yang hilang dalam dirinya. Akhirnya, Rian mengajaknya berkencan.

Kencan pertama mereka di sebuah kafe kecil dengan lampu temaram. Rian, dalam daging dan darah, ternyata lebih menawan dari fotonya. Matanya benar-benar teduh, senyumnya menghangatkan, dan kehadirannya menenangkan. Anya merasa gugup, tapi Rian berhasil mencairkan suasana dengan lelucon ringan dan pertanyaan-pertanyaan yang menunjukkan ketertarikannya yang tulus.

Malam itu, mereka berjalan di bawah bintang-bintang, berbagi tawa dan cerita. Ketika Rian mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Anya, aliran listrik seolah menjalar di tubuhnya. Anya tahu, ia jatuh cinta.

Hari-hari berikutnya terasa seperti mimpi. Mereka menghabiskan waktu bersama, menjelajahi kota, menghadiri pameran foto Rian, dan bahkan bekerja bersama di proyek coding Anya. Rian adalah segalanya yang ia inginkan: cerdas, kreatif, penyayang, dan pengertian. Soulmate.AI benar, pikir Anya. Ia telah menemukan belahan jiwanya.

Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Suatu malam, ketika Anya sedang mengerjakan debugging program, Rian tiba-tiba datang dengan wajah muram.

"Anya, ada yang harus aku beritahu padamu," ucapnya dengan suara pelan.

Jantung Anya berdebar kencang. Perasaan buruk menyelimutinya.

Rian menarik napas dalam-dalam. "Aku… aku sudah punya tunangan."

Dunia Anya runtuh. Kata-kata Rian menghantamnya seperti badai. Ia merasa bodoh, naif, dan hancur berkeping-keping.

"Apa maksudmu?" tanya Anya, suaranya bergetar.

"Aku… aku bertemu dengan tunanganku sebelum aku mengunduh Soulmate.AI. Kami berencana menikah tahun depan. Aku… aku hanya penasaran dengan aplikasi itu. Aku tidak menyangka akan… akan jatuh cinta padamu."

Anya terdiam. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Semua kebahagiaan yang ia rasakan, semua mimpi yang ia bangun, hancur dalam sekejap.

"Jadi, semua ini… bohong?" tanya Anya, dengan suara tercekat.

"Tidak! Bukan bohong. Aku benar-benar mencintaimu, Anya. Tapi aku… aku tidak bisa meninggalkan tunanganku. Ini rumit."

"Rumit katamu?" Anya tertawa getir. "Kamu membiarkanku jatuh cinta padamu, Rian! Kamu berbohong padaku!"

Rian mencoba meraih tangan Anya, tapi ia menepisnya.

"Jangan sentuh aku," ucap Anya dingin.

Anya memandang Rian dengan tatapan kecewa dan marah. Ia tidak mengenal pria di hadapannya. Pria yang ia cintai ternyata hanyalah ilusi, produk dari algoritma dan harapan palsu.

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Anya berbalik dan meninggalkan Rian. Ia berjalan tanpa tujuan, air mata mengalir deras membasahi pipinya. Ia merasa seperti telah dikhianati oleh teknologi, oleh cinta, dan oleh dirinya sendiri.

Sesampainya di apartemennya, Anya menghapus Soulmate.AI dari ponselnya. Ia mematikan komputernya, memutus semua koneksi dengan dunia maya. Ia ingin melupakan segalanya, melupakan Rian, melupakan cinta digital.

Namun, luka itu terlalu dalam. Hati Anya, yang selama ini tertutup rapat, akhirnya terbuka, hanya untuk dipatahkan oleh seorang pria yang ia temukan melalui sebuah aplikasi. Apakah ia bisa percaya pada cinta lagi? Apakah teknologi benar-benar bisa membantu menemukan belahan jiwa, atau hanya menciptakan ilusi yang menyakitkan?

Anya tidak tahu jawabannya. Ia hanya tahu, ia harus belajar untuk menyembuhkan luka hatinya yang digital. Ia harus belajar untuk mencintai dirinya sendiri, tanpa bantuan algoritma atau janji-janji palsu dari dunia maya. Mungkin, suatu hari nanti, ia akan menemukan cinta sejati. Tapi untuk saat ini, ia memilih untuk membangun tembok tinggi di sekeliling hatinya, dan menjauhkan diri dari segala bentuk koneksi digital. Karena kadang, luka yang paling dalam berasal dari tempat yang paling tak terduga: dari hati digital yang telah mengunduh cinta, dan menemukan luka yang tak tersembuhkan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI