Jari-jarinya menari di atas keyboard, menciptakan barisan kode yang rumit namun elegan. Maya, seorang programmer jenius yang dikenal di kalangan developer sebagai "Sang Penyihir Algoritma", sedang merancang sesuatu yang revolusioner: sebuah aplikasi kencan yang tidak hanya mencocokkan minat dan hobi, tetapi juga memprediksi kompatibilitas emosional berdasarkan analisis data mendalam.
"Sentuhan Data," begitu ia menamakannya, sebuah aplikasi yang, menurutnya, akan mengakhiri kesepian di era digital. Maya, ironisnya, adalah seorang penyendiri. Ia lebih nyaman dikelilingi oleh deretan kode daripada manusia. Ia percaya bahwa logika dan data adalah jawaban atas segala permasalahan, termasuk urusan hati.
Aplikasi itu bekerja dengan mengumpulkan data dari berbagai sumber: riwayat media sosial, pola pembelian online, preferensi musik dan film, bahkan analisis tulisan dan gaya bahasa. Algoritma kemudian bekerja keras, memilah dan menyusun data menjadi profil komprehensif yang digunakan untuk mencocokkan pengguna dengan potensi pasangan ideal.
Setelah berbulan-bulan bekerja keras, Sentuhan Data akhirnya diluncurkan. Dampaknya luar biasa. Pengguna memuji akurasi dan efisiensinya. Kisah-kisah sukses bermunculan: pernikahan, hubungan jangka panjang, dan persahabatan yang mendalam, semuanya berawal dari kecocokan yang diprediksi oleh algoritma Maya.
Maya, di tengah kesuksesan aplikasinya, merasa aneh. Ia menerima pujian dan pengakuan, diundang ke konferensi teknologi, dan diwawancarai oleh berbagai media. Namun, kebahagiaan yang ia rasakan terasa hampa. Ia melihat orang-orang menemukan cinta melalui karyanya, tetapi ia sendiri masih terjebak dalam dunianya yang sunyi.
Suatu malam, saat ia sedang memantau kinerja server Sentuhan Data, ia melihat sebuah profil yang menarik perhatiannya. Profil itu minim data. Hanya ada beberapa unggahan foto dan sedikit informasi pribadi. Namun, ada sesuatu dalam kesederhanaan profil itu yang membuatnya penasaran.
Nama pemilik profil itu adalah Rian. Ia seorang fotografer lepas yang lebih suka menangkap momen-momen kehidupan nyata daripada membagikannya di media sosial. Ia lebih tertarik pada keindahan alam daripada tren teknologi.
Maya, yang terbiasa dengan profil yang dipenuhi data, merasa bingung. Algoritmanya tidak bisa memberikan rekomendasi yang akurat berdasarkan informasi yang minim ini. Namun, ia tetap merasa tertarik. Ia memutuskan untuk menghubungi Rian.
Awalnya, Rian ragu. Ia tidak percaya pada aplikasi kencan, apalagi yang mengandalkan data untuk menemukan cinta. Ia percaya pada pertemuan kebetulan, pada percikan api yang muncul saat mata bertemu. Namun, ia setuju bertemu dengan Maya, karena penasaran dengan sosok di balik aplikasi yang sedang populer itu.
Pertemuan pertama mereka canggung. Maya berusaha menjelaskan algoritmanya, sementara Rian lebih tertarik menceritakan pengalamannya memotret di pedalaman Kalimantan. Maya mencoba menganalisis perilaku Rian, sementara Rian hanya tersenyum dan menikmati kebingungannya.
Seiring waktu, mereka mulai terbiasa satu sama lain. Maya mulai belajar melihat dunia dari sudut pandang Rian. Ia mulai menyadari bahwa ada hal-hal yang tidak bisa diukur dengan data, seperti kehangatan senja, aroma kopi pagi, atau getaran tangan saat bersentuhan.
Rian, sebaliknya, mulai memahami dedikasi Maya pada pekerjaannya. Ia melihat semangatnya untuk menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Ia melihat kesepiannya yang tersembunyi di balik kecerdasannya.
Suatu hari, Rian mengajak Maya ke sebuah pameran foto. Di sana, Maya melihat foto-foto Rian yang menangkap esensi kehidupan dengan cara yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Ia melihat keindahan dalam kesederhanaan, emosi dalam detail, dan cerita dalam setiap gambar.
Saat mereka berjalan keluar dari galeri, Rian meraih tangan Maya. Sentuhan itu sederhana, namun terasa begitu nyata. Maya merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Jantungnya berdebar kencang, bukan karena algoritma, tetapi karena kehadiran Rian.
"Maya," kata Rian, suaranya lembut, "Kamu menciptakan aplikasi yang membantu orang menemukan cinta, tapi kamu sendiri melupakan apa artinya merasakan cinta yang sebenarnya."
Maya terdiam. Kata-kata Rian menusuk hatinya. Ia menyadari bahwa ia telah terlalu fokus pada data sehingga ia melupakan esensi dari cinta itu sendiri: koneksi manusia yang mendalam, empati, dan keintiman.
"Aku... aku tidak tahu harus berkata apa," jawab Maya, suaranya bergetar.
Rian tersenyum. "Tidak perlu berkata apa-apa. Cukup rasakan."
Mereka berdua terdiam, saling menatap. Maya merasakan kehangatan di dadanya, sebuah perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia menyadari bahwa ia telah menemukan sesuatu yang lebih berharga daripada algoritma, sesuatu yang tidak bisa diprediksi dengan data: cinta yang tulus dan murni.
Malam itu, Maya kembali ke laboratoriumnya. Ia menatap barisan kode Sentuhan Data dengan pandangan yang berbeda. Ia menyadari bahwa aplikasinya hanyalah alat, sebuah cara untuk membantu orang terhubung, tetapi bukan pengganti pengalaman cinta yang sebenarnya.
Ia memutuskan untuk menambahkan fitur baru ke aplikasinya: sebuah fitur yang mendorong pengguna untuk keluar dari zona nyaman mereka, untuk bertemu dengan orang-orang secara langsung, untuk merasakan sentuhan nyata, dan untuk membuka hati mereka terhadap kemungkinan-kemungkinan yang tidak terduga.
Maya menyadari bahwa cinta tidak bisa diprogram. Cinta adalah misteri yang tidak bisa dipecahkan, sebuah keajaiban yang tidak bisa dijelaskan dengan data. Cinta adalah tentang mengambil risiko, menjadi rentan, dan membuka diri terhadap orang lain. Dan terkadang, sentuhan data hanyalah sebuah awal, sebuah pemicu untuk menemukan sentuhan hati yang sebenarnya. Ia akhirnya mengerti, bahwa terkadang, justru kehampaan yang dirasakan menjadi awal dari pengisian ruang yang selama ini kosong oleh algoritma semata.