Algoritma Cinta: Hatimu Berdebar Karena Kode?

Dipublikasikan pada: 22 Oct 2025 - 02:00:17 wib
Dibaca: 164 kali
Deburan ombak digital memenuhi telingaku setiap malam. Bukan ombak pantai, melainkan deru server dan bisikan kode yang tak henti-hentinya berputar. Aku, Anya, seorang programmer algoritma di perusahaan kencan daring "Soulmate.ai". Tugasku sederhana: menciptakan algoritma cinta yang akurat, yang mampu mempertemukan dua jiwa yang ditakdirkan bersama. Ironisnya, aku sendiri masih belum menemukan "takdir"ku sendiri.

Kantorku adalah surga bagi para geek. Meja-meja dipenuhi keyboard mekanik yang berisik, aroma kopi memenuhi udara, dan percakapan didominasi istilah-istilah teknis yang membuat orang awam mengerutkan dahi. Di antara semua itu, ada Leo. Leo adalah keajaiban. Dia senior programmer, otaknya secemerlang bintang kutub, dan senyumnya... senyumnya bisa membuat bug paling bandel pun menyerah.

Aku mengaguminya diam-diam. Setiap kali dia membantuku memecahkan masalah kode yang rumit, jantungku berdebar lebih kencang daripada saat aku mencoba me-load halaman web dengan koneksi dial-up. Aku tahu, ini konyol. Aku bekerja di perusahaan yang menciptakan cinta buatan, tapi aku sendiri justru jatuh cinta pada manusia sungguhan, pada seorang jenius yang mungkin sama sekali tidak menyadari keberadaanku.

Suatu sore, ketika aku sedang frustrasi menghadapi algoritma pencocokan yang terus-menerus memberikan hasil yang aneh, Leo mendekat. "Ada masalah, Anya?" tanyanya, suaranya lembut dan menenangkan.

"Algoritma ini," keluhku, menunjuk ke layar komputer. "Entah kenapa, dia terus menjodohkan orang-orang yang jelas-jelas tidak cocok. Rasanya seperti dia sengaja sabotase pekerjaan kita."

Leo tertawa. "Algoritma memang bisa aneh. Coba lihat dari sudut pandang yang berbeda. Mungkin ada variabel tersembunyi yang belum kita perhitungkan."

Dia duduk di sebelahku, jarinya dengan lincah menari di atas keyboard. Dia menjelaskan konsep-konsep yang rumit dengan bahasa yang sederhana, dan entah bagaimana, perlahan tapi pasti, aku mulai memahami inti permasalahannya. Bukan hanya itu, aku juga merasa nyaman dan tenang berada di dekatnya.

Setelah beberapa jam, akhirnya kami menemukan sumber masalahnya. Sebuah kesalahan kecil, namun dampaknya sangat besar. Kami tertawa lega, rasa lelah bercampur dengan kepuasan.

"Terima kasih, Leo," kataku, menatapnya. "Kamu penyelamatku."

"Sama-sama, Anya," jawabnya, senyumnya semakin lebar. "Senang bisa membantu."

Sejak saat itu, aku dan Leo semakin sering bekerja bersama. Kami berdiskusi tentang algoritma, tentang kehidupan, tentang segala hal. Aku mulai menyadari bahwa Leo bukan hanya seorang jenius, dia juga seorang yang perhatian, lucu, dan memiliki jiwa yang hangat. Aku semakin jatuh cinta padanya.

Suatu hari, perusahaan mengadakan pesta launching fitur terbaru Soulmate.ai, yaitu "Predictive Compatibility". Fitur ini diklaim mampu memprediksi tingkat kecocokan antara dua orang dengan akurasi 99%. Semua orang bersemangat, termasuk aku dan Leo.

Di tengah pesta yang ramai, Leo menarikku ke sudut ruangan yang lebih tenang. "Anya," katanya, suaranya sedikit gugup. "Ada sesuatu yang ingin aku katakan."

Jantungku berdebar kencang. Apakah ini saatnya? Apakah dia merasakan hal yang sama denganku?

"Aku tahu kita sudah lama bekerja bersama," lanjutnya. "Dan aku sangat menikmati setiap momennya. Kamu adalah orang yang cerdas, kreatif, dan selalu membuatku tertawa."

Aku menahan napas, menunggu kelanjutan kalimatnya.

"Aku... aku ingin tahu apakah kamu bersedia mencoba fitur 'Predictive Compatibility' ini denganku?"

Aku terdiam. Aku tidak menyangka dia akan mengatakannya. Bukannya aku tidak mau, tapi aku merasa ada sesuatu yang salah. Bukankah seharusnya perasaan kami muncul secara alami, tanpa campur tangan algoritma?

"Leo," kataku, berusaha untuk tenang. "Aku... aku menghargai tawaranmu. Tapi aku tidak yakin apakah ini ide yang bagus. Bukankah seharusnya cinta itu tumbuh secara organik, tanpa perlu diukur oleh angka-angka?"

Leo tampak sedikit kecewa. "Aku mengerti," katanya. "Mungkin aku terlalu terburu-buru. Maafkan aku."

Aku merasa bersalah. Aku tidak ingin menyakitinya, tapi aku juga tidak ingin mengkhianati perasaanku sendiri.

"Bukan begitu maksudku," jelasku. "Aku hanya... aku hanya ingin kita saling mengenal lebih baik, tanpa tekanan dari algoritma."

Leo menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Kemudian, dia tersenyum. "Baiklah," katanya. "Kalau begitu, mari kita lakukan itu."

Malam itu, kami tidak mencoba fitur "Predictive Compatibility". Kami hanya berbicara, tertawa, dan berbagi cerita. Aku menyadari bahwa algoritma, seakurat apapun, tidak akan pernah bisa menggantikan keajaiban koneksi manusia yang sesungguhnya.

Beberapa minggu kemudian, aku menemukan sebuah bug aneh dalam sistem Soulmate.ai. Ternyata, ada seseorang yang sengaja memanipulasi data untuk meningkatkan tingkat kecocokan dirinya dengan orang lain. Aku melaporkan temuan ini kepada Leo.

"Siapa orangnya?" tanya Leo, dengan nada serius.

Aku ragu sejenak. "Sebenarnya... ini kamu, Leo."

Leo terkejut. "Apa? Tidak mungkin. Aku tidak pernah melakukan hal seperti itu."

Aku menunjukkan bukti-buktinya. Leo terdiam, wajahnya pucat.

"Aku... aku tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi," katanya. "Mungkin ada orang lain yang menggunakan akunku."

Aku tidak tahu apa yang harus kupercaya. Aku mencintai Leo, tapi aku juga tidak bisa mengabaikan bukti yang ada.

"Aku percaya padamu, Leo," kataku. "Tapi kita harus mencari tahu siapa yang melakukan ini."

Kami bekerja sama untuk menyelidiki kasus ini. Akhirnya, kami menemukan pelakunya. Ternyata, dia adalah seorang hacker yang ingin merusak reputasi Soulmate.ai. Dia berhasil membobol sistem dan menggunakan akun Leo untuk melakukan manipulasi data.

Setelah kasus ini selesai, Leo menatapku dengan tatapan penuh penyesalan. "Maafkan aku, Anya," katanya. "Aku sudah membuatmu meragukanku."

"Tidak apa-apa, Leo," kataku, menggenggam tangannya. "Yang penting, kebenaran sudah terungkap."

Aku menyadari bahwa cinta itu seperti algoritma yang kompleks. Ada banyak variabel yang harus diperhitungkan, dan terkadang, ada bug yang tidak terduga. Tapi jika kita bersedia untuk bekerja sama, untuk saling percaya, dan untuk tidak menyerah, maka kita akan menemukan cinta yang sejati.

Beberapa bulan kemudian, aku dan Leo menghadiri pernikahan salah satu teman kerja kami. Di tengah pesta, Leo menarikku ke taman yang sepi.

"Anya," katanya, suaranya lembut. "Aku tahu ini mungkin terdengar klise, tapi... maukah kamu menjadi pacarku?"

Aku tersenyum. "Tentu saja, Leo," jawabku. "Hatiku sudah berdebar karena kode-mu sejak lama."

Kami berpelukan di bawah bintang-bintang, merasakan keajaiban cinta yang sesungguhnya. Algoritma memang bisa membantu kita menemukan seseorang, tapi pada akhirnya, hati kita sendiri yang akan menentukan siapa yang pantas untuk dicintai. Dan hatiku, tanpa ragu, memilih Leo.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI