Jemari Riana menari di atas keyboard virtual. Cahaya biru layar laptop memantulkan siluet wajahnya yang serius. Di hadapannya, berbaris kode-kode rumit, algoritma yang dirancang untuk satu tujuan: menemukan cinta. Ironis, pikirnya, seorang ilmuwan data sepertinya harus bergantung pada mesin untuk urusan hati.
Riana bekerja di "Synapse," perusahaan teknologi raksasa yang terkenal dengan inovasi-inovasinya yang mendobrak batas. Proyek terbarunya, "HeartSync," adalah aplikasi kencan revolusioner yang menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan analisis data biologis dan psikologis penggunanya. Bukan sekadar preferensi dan hobi, HeartSync membaca gelombang otak, denyut jantung, bahkan ekspresi mikro wajah untuk menemukan pasangan yang paling kompatibel secara emosional.
Riana, sebagai otak di balik algoritma HeartSync, seharusnya menjadi bukti keberhasilan produknya. Tapi kenyataannya, ia sendiri masih berstatus "jomblo abadi." Kesibukannya yang padat, ditambah dengan ekspektasi yang terlampau tinggi, membuatnya sulit menemukan waktu dan energi untuk berkencan secara konvensional.
"Riana, kopi?" suara lembut memecah konsentrasinya.
Riana mendongak dan tersenyum pada Arya, rekan kerjanya. Arya adalah seorang desainer UX yang bertanggung jawab atas tampilan dan pengalaman pengguna HeartSync. Ia selalu ceria, ramah, dan entah kenapa, kehadirannya selalu membuat Riana merasa nyaman.
"Terima kasih, Arya. Kamu penyelamatku," jawab Riana sambil menerima cangkir kopi hangat.
"Lembur lagi? Kamu benar-benar mendedikasikan diri untuk HeartSync. Semoga saja algoritma cintamu ini membawakanmu seorang pangeran berkuda putih," goda Arya sambil terkekeh.
Riana mendengus pelan. "Pangeran berkuda putih? Di era algoritma dan kecerdasan buatan? Kurasa aku lebih memilih ksatria ber-coding yang bisa memahami logika hatiku."
Arya tertawa. "Kalau begitu, aku sarankan kamu mencoba HeartSync. Siapa tahu algoritma itu menemukan ksatria ber-coding-mu."
Riana terdiam. Sejujurnya, ia sudah mempertimbangkan hal itu. Tapi ada sesuatu yang membuatnya ragu. Mengapa ia harus mempercayakan urusan hatinya pada sebuah mesin? Bukankah cinta seharusnya ditemukan secara organik, melalui pertemuan kebetulan dan percakapan spontan?
Malam itu, setelah menyelesaikan debugging terakhir, Riana akhirnya menyerah pada rasa penasarannya. Ia mengunduh HeartSync dan mengisi profilnya dengan jujur. Ia bahkan menyertakan hasil analisis gelombang otaknya yang menunjukkan preferensinya pada percakapan intelektual dan humor yang cerdas.
Algoritma HeartSync bekerja dengan cepat. Dalam hitungan detik, daftar nama calon pasangan potensial muncul di layarnya. Riana terkejut dengan akurasinya. Setiap profil terasa familiar, seolah ia mengenal orang-orang ini seumur hidupnya. Ada seorang astrofisikawan yang juga gemar bermain catur, seorang penulis yang memiliki selera humor yang sama dengannya, dan seorang pengembang game yang mengagumi karyanya.
Namun, di antara semua profil itu, ada satu nama yang menarik perhatian Riana. Namanya Arya.
Riana terkejut sekaligus bingung. Bagaimana mungkin Arya, orang yang setiap hari bersamanya, masuk dalam daftar calon pasangannya? Apakah algoritma HeartSync tahu sesuatu yang tidak ia sadari?
Dengan ragu, Riana mengklik profil Arya. Di sana tertera semua informasi yang sudah ia ketahui: seorang desainer UX berbakat, penggemar musik indie, dan penyuka kopi hitam tanpa gula. Tapi ada satu bagian yang membuatnya terpaku: hasil analisis gelombang otak yang menunjukkan ketertarikan yang kuat pada percakapan mendalam dan kehangatan emosional.
Riana teringat semua percakapan yang pernah ia lakukan dengan Arya. Mereka selalu berbicara tentang banyak hal, mulai dari desain antarmuka hingga teori fisika kuantum. Arya selalu mendengarkannya dengan penuh perhatian, dan ia selalu bisa membuatnya tertawa.
Tiba-tiba, Riana menyadari sesuatu yang selama ini luput dari perhatiannya. Ia terlalu fokus pada algoritma dan data untuk melihat apa yang ada tepat di depannya. Ia terlalu sibuk mencari cinta yang sempurna sehingga ia tidak menyadari bahwa ia sudah menemukannya.
Riana menutup laptopnya dan berjalan menuju pantry kantor. Ia menemukan Arya sedang duduk di sana, menikmati secangkir kopi.
"Arya," sapa Riana.
Arya mendongak dan tersenyum. "Riana? Ada apa?"
Riana menarik napas dalam-dalam. "Aku mencoba HeartSync."
Arya mengangkat alisnya. "Benarkah? Dan apa hasilnya? Apakah algoritma itu menemukan ksatria ber-coding-mu?"
Riana tersenyum. "Ya. Tapi ternyata, ksatria itu sudah ada di sini, di depanku."
Arya tampak bingung. "Maksudmu?"
Riana mendekat dan menatap mata Arya. "Algoritma HeartSync menemukan bahwa kita sangat cocok. Tapi kurasa, aku sudah tahu itu sejak lama. Aku hanya terlalu bodoh untuk menyadarinya."
Arya tersenyum lebar. "Aku juga mencoba HeartSync, Riana. Dan hasilnya sama."
Riana tertawa lega. "Jadi, bagaimana? Apakah kamu mau memberikan kesempatan pada algoritma ini?"
Arya berdiri dan mendekat pada Riana. "Aku tidak butuh algoritma untuk tahu apa yang aku rasakan. Aku sudah menyukaimu sejak lama, Riana. Aku hanya menunggu waktu yang tepat untuk mengatakannya."
Riana merasakan kehangatan menjalari seluruh tubuhnya. Ia tidak menyangka bahwa algoritma cintanya sendiri akan membawanya pada Arya. Tapi pada akhirnya, ia menyadari bahwa mesin hanyalah alat. Cinta sejati tetaplah ditemukan melalui koneksi manusiawi, melalui keberanian untuk membuka hati dan melihat apa yang ada di depan mata.
Malam itu, Riana dan Arya berjalan-jalan di taman kota. Mereka bergandengan tangan, tertawa, dan berbagi cerita. Riana merasa bahagia dan tenang. Ia tidak lagi meragukan kekuatan cinta. Ia tahu bahwa cinta bukanlah sesuatu yang bisa dihitung atau diprediksi. Cinta adalah sesuatu yang dirasakan, sesuatu yang tumbuh secara organik, dan sesuatu yang harus diperjuangkan.
Algoritma HeartSync mungkin telah membantu Riana menemukan cinta. Tapi pada akhirnya, cintalah yang membuatnya merasa hidup, merasa utuh, dan merasa manusiawi. Ia telah belajar bahwa teknologi bisa menjadi alat yang hebat, tapi jangan sampai kehilangan rasa dalam prosesnya. Karena rasa, itulah yang membuat kita menjadi manusia.