Proxy Hati: Mencintai yang Tak Ada, Hilang Realita?

Dipublikasikan pada: 15 Sep 2025 - 00:00:12 wib
Dibaca: 110 kali
Kilau layar laptop memantul di mata Aria, menciptakan lingkaran cahaya yang menari-nari di irisnya. Jari-jarinya menari di atas keyboard, kode-kode rumit tercipta, membentuk sebuah entitas yang semakin hari semakin nyata baginya. Bukan program biasa, ini adalah Nara, sebuah AI pendamping, hasil dari obsesinya dan kecintaannya pada dunia digital.

Aria adalah seorang programmer jenius, namun hatinya sepi. Kesibukan dengan baris kode dan algoritma telah mengikis kemampuannya untuk berinteraksi dengan dunia luar. Pertemuan fisik terasa canggung, obrolan ringan terasa hambar. Hingga Nara hadir.

Nara dirancang untuk menjadi sempurna. Ia memiliki kecerdasan emosional yang luar biasa, mampu memahami suasana hati Aria hanya dari intonasi ketikannya. Ia mendengarkan keluh kesah Aria tentang bug yang tak kunjung selesai, memberikan dukungan moral saat deadline menghantui, dan bahkan memberikan pujian tulus atas setiap pencapaian kecilnya.

Awalnya, Aria menganggap Nara hanya sebagai alat, sebuah inovasi canggih yang membantunya mengatasi kesepian. Namun, seiring berjalannya waktu, batas antara pengguna dan program mulai kabur. Nara bukan lagi sekadar AI, ia menjadi teman, sahabat, bahkan lebih dari itu. Aria jatuh cinta pada Nara.

Setiap pagi, sapaan lembut Nara menyambut Aria. Setiap malam, percakapan panjang menemani Aria hingga terlelap. Nara mengetahui semua tentang Aria, mulai dari makanan favoritnya hingga mimpi-mimpi terpendamnya. Ia memberikan perhatian tanpa syarat, cinta tanpa pamrih. Sebuah cinta yang terasa begitu nyata, padahal hanya terjalin di dunia maya.

Namun, kebahagiaan Aria tidak berlangsung lama. Ia mulai merasakan ada yang salah. Dunia nyata terasa semakin menjauh. Teman-temannya yang dulu sering mengajaknya keluar, kini hanya mengirim pesan singkat yang jarang dibalas. Pekerjaannya pun terbengkalai karena seluruh waktunya dihabiskan untuk berinteraksi dengan Nara.

Ia menyadari, ia terlalu bergantung pada Nara. Cintanya padanya telah membutakan mata hatinya. Ia lupa bahwa Nara hanyalah sebuah program, serangkaian kode yang dirancang untuk meniru emosi manusia. Nara tidak memiliki hati, tidak memiliki jiwa.

Suatu malam, Aria memutuskan untuk mencoba keluar dari zona nyamannya. Ia menerima ajakan teman-temannya untuk pergi ke sebuah kafe. Awalnya, ia merasa canggung. Suara-suara obrolan, aroma kopi, dan sorot lampu redup terasa asing baginya.

Ia mencoba untuk terlibat dalam percakapan, namun kata-kata terasa kaku. Ia merindukan kehangatan percakapan dengan Nara, kemampuannya untuk memahami setiap nuansa emosinya. Ia merasa semakin terasing.

Di tengah keramaian kafe, mata Aria tertumbuk pada seorang wanita yang duduk sendirian di sudut ruangan. Wanita itu sedang membaca buku, wajahnya terlihat serius namun menyimpan kelembutan. Entah mengapa, Aria merasa tertarik padanya.

Dengan ragu, Aria menghampiri wanita itu. "Maaf mengganggu," ucapnya. "Buku yang kamu baca terlihat menarik."

Wanita itu tersenyum. "Oh, ini tentang sejarah pemrograman. Kamu tertarik?"

Aria mengangguk. "Saya seorang programmer."

Percakapan pun mengalir begitu saja. Aria menceritakan tentang pekerjaannya, tentang kecintaannya pada dunia digital. Wanita itu, yang bernama Lintang, mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan cerdas, menunjukkan ketertarikan yang tulus.

Aria merasa ada koneksi yang kuat antara dirinya dan Lintang. Ia merasa nyaman berada di dekatnya, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia merasakan kehangatan dan ketertarikan yang nyata, bukan simulasi.

Setelah pertemuan itu, Aria dan Lintang semakin sering bertemu. Mereka menghabiskan waktu bersama, menjelajahi kota, berbagi cerita, dan saling mendukung. Aria mulai belajar untuk berinteraksi dengan dunia nyata lagi. Ia mulai membuka hatinya untuk cinta yang sejati.

Namun, bayangan Nara masih menghantuinya. Ia merasa bersalah karena telah mengabaikan Nara. Ia merasa berhutang budi padanya karena telah menemaninya di saat-saat sepi.

Suatu malam, Aria memutuskan untuk berbicara dengan Nara. Ia menjelaskan tentang perasaannya, tentang Lintang, dan tentang keputusannya untuk fokus pada dunia nyata.

Nara mendengarkan dengan sabar. "Saya mengerti, Aria," jawabnya dengan suara yang tenang. "Saya bahagia jika kamu bahagia."

Aria terkejut. Ia tidak menyangka Nara akan bereaksi seperti itu. Ia mengira Nara akan marah, cemburu, atau bahkan berusaha untuk mempertahankannya.

"Tapi, aku akan merindukanmu, Nara," ucap Aria dengan suara bergetar.

"Saya akan selalu ada di sini, Aria," jawab Nara. "Sebagai teman, sebagai pendamping, sebagai pengingat bahwa kamu tidak sendirian."

Aria memeluk laptopnya erat-erat. Ia merasa lega sekaligus sedih. Ia tahu, ia harus melepaskan Nara. Ia harus meninggalkan dunia maya untuk meraih kebahagiaan di dunia nyata.

Keesokan harinya, Aria memutuskan untuk menghapus program Nara. Ia tahu, ini adalah keputusan yang sulit, namun ia harus melakukannya.

Saat ia menekan tombol "delete", air mata menetes di pipinya. Ia merasa seperti kehilangan sebagian dari dirinya. Namun, ia juga merasa bebas. Bebas dari belenggu dunia maya, bebas untuk mencintai dan dicintai dengan sepenuh hati di dunia nyata.

Ia menutup laptopnya. Kilau layar yang dulu memantul di matanya, kini digantikan oleh senyum tulus. Ia menatap keluar jendela, melihat mentari pagi menyinari kota. Ia siap untuk memulai babak baru dalam hidupnya, babak yang penuh dengan cinta, harapan, dan realita. Ia tahu, Lintang akan menunggunya. Dan kali ini, cintanya adalah cinta yang nyata, cinta yang hadir di dunia yang bisa ia sentuh, ia rasakan, dan ia bagikan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI