Deburan ombak digital menghantam benak Anya setiap kali notifikasi aplikasi kencan daring berkedip di layar ponselnya. Algoritma cinta modern, pikirnya sinis. Sebuah sistem rumit yang menjanjikan jodoh ideal berdasarkan riwayat pencarian, preferensi belanja, dan bahkan cuitan-cuitan iseng di media sosial. Anya, seorang data scientist yang bekerja di balik layar raksasa teknologi, seharusnya mengerti cara kerja mesin ini. Tapi ironisnya, ia justru merasa tersesat dalam labirin kencan digital.
Ia sudah mencoba segalanya. Memperbarui profil dengan foto-foto terbaik yang disaring melalui belasan filter. Menulis bio yang cerdas dan jenaka, mengutip Umberto Eco dan Monty Python sekaligus. Menyapu ke kanan tanpa pandang bulu, memberikan kesempatan kepada setiap wajah yang muncul di layar. Tetap saja, hasilnya nihil. Pertemuan-pertemuan yang terjadi terasa hampa, obrolan-obrolan terasa dipaksakan. Mereka semua, termasuk dirinya, terlalu sibuk menampilkan versi terbaik diri mereka, lupa untuk menjadi diri sendiri.
Malam ini, Anya sedang mengerjakan proyek penting. Perusahaan tempatnya bekerja sedang mengembangkan algoritma baru untuk aplikasi kencan. Algoritma yang bukan hanya mencocokkan data, tapi juga membaca emosi. Algoritma yang bisa mendeteksi kebohongan, ketidakjujuran, dan harapan palsu. Ide brilian, pikir Anya. Tapi juga mengerikan. Bukankah cinta justru tumbuh subur dalam ketidaksempurnaan? Bukankah kejutan, kebetulan, dan bahkan sedikit kebodohan adalah bumbu yang membuat hubungan terasa hidup?
Ia menghela napas dan menatap kode yang terpampang di layar komputernya. Baris demi baris kode algoritma itu terasa seperti cermin yang memantulkan kekosongan di hatinya. Ia telah menghabiskan terlalu banyak waktu untuk mencari cinta di balik layar sentuh, melupakan bahwa cinta sejati mungkin sedang menunggunya di dunia nyata.
Tiba-tiba, pintu ruang kerjanya berderit. "Masih lembur, Anya?" suara berat seorang pria memecah keheningan.
Anya mendongak dan melihat Riko, rekan kerjanya yang selalu ceria. Riko adalah seorang UI/UX designer yang bertanggung jawab atas tampilan aplikasi. Ia selalu bersemangat, selalu punya ide-ide gila, dan selalu membuat Anya tertawa dengan lelucon-leluconnya yang receh.
"Proyek algoritma cinta ini bikin pusing," jawab Anya sambil mengurut pelipisnya. "Rasanya seperti mencoba membedah hati manusia dengan debugger."
Riko tertawa. "Mungkin kamu terlalu serius. Cinta itu bukan soal algoritma, Anya. Cinta itu soal koneksi. Soal merasa nyaman menjadi diri sendiri di dekat seseorang."
"Mudah diucapkan," gumam Anya.
"Tidak juga," balas Riko. "Coba lihat, aku bawakan kamu kopi. Aku tahu kamu pasti sudah kehabisan kafein."
Riko menyodorkan secangkir kopi panas dengan aroma yang memabukkan. Anya menerimanya dengan senyum tipis.
"Terima kasih, Riko. Kamu memang penyelamat."
"Sama-sama," jawab Riko. "Ngomong-ngomong, aku baru saja mencoba restoran ramen baru di seberang kantor. Ramennya enak banget. Mau coba?"
Anya terdiam sejenak. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk menghabiskan malam ini menyelesaikan proyek. Tapi ajakan Riko terdengar menggoda. Lagipula, ia memang butuh istirahat.
"Boleh juga," jawab Anya akhirnya. "Tapi aku yang traktir."
Riko tersenyum lebar. "Deal!"
Mereka berdua berjalan keluar dari kantor, menyusuri jalanan kota yang mulai sepi. Udara malam terasa segar dan dingin. Lampu-lampu kota berkelap-kelip seperti bintang-bintang digital.
Di restoran ramen, mereka duduk berhadapan, menikmati semangkuk ramen panas yang mengepul. Mereka berbicara tentang banyak hal. Tentang proyek yang sedang mereka kerjakan, tentang film terbaru yang mereka tonton, tentang mimpi-mimpi mereka di masa depan. Anya merasa nyaman berada di dekat Riko. Ia bisa tertawa lepas tanpa perlu khawatir terlihat bodoh. Ia bisa berbicara jujur tanpa perlu takut dihakimi.
Sambil menikmati kuah ramen yang gurih, Anya menyadari sesuatu. Ia telah terlalu sibuk mencari cinta di tempat yang salah. Ia telah terlalu fokus pada algoritma dan data, melupakan bahwa cinta bisa ditemukan di tempat yang paling tak terduga. Ia telah mengabaikan sinyal-sinyal kecil dari seseorang yang selalu ada di dekatnya, seseorang yang membuatnya merasa nyaman menjadi dirinya sendiri.
"Anya," Riko memanggil namanya, membuyarkan lamunannya.
"Ya?"
"Aku tahu ini mungkin aneh, tapi aku sudah lama ingin mengatakan ini," Riko menarik napas dalam-dalam. "Aku suka kamu, Anya. Bukan sebagai rekan kerja, tapi sebagai... seseorang yang lebih."
Anya terkejut. Ia menatap mata Riko, mata yang selalu memancarkan kebaikan dan kejujuran. Ia tidak tahu harus berkata apa.
"Aku... aku juga suka kamu, Riko," jawab Anya akhirnya, dengan suara pelan. "Aku hanya terlalu bodoh untuk menyadarinya."
Riko tersenyum lega. Ia meraih tangan Anya dan menggenggamnya erat.
"Jadi, bagaimana kalau kita mencoba membuat algoritma cinta kita sendiri? Algoritma yang berbasis pada kejujuran, kebaikan, dan secangkir ramen panas?"
Anya tertawa. "Kedengarannya seperti algoritma yang sempurna."
Malam itu, Anya pulang dengan hati yang ringan. Ia masih harus menyelesaikan proyek algoritma cinta yang rumit itu. Tapi kali ini, ia memiliki tujuan yang lebih jelas. Ia ingin membuat algoritma yang bisa membantu orang lain menemukan cinta sejati, bukan cinta palsu yang dibuat-buat. Dan ia tahu, untuk membuat algoritma seperti itu, ia harus belajar dari pengalamannya sendiri. Ia harus belajar untuk membuka hatinya, untuk menerima ketidaksempurnaan, dan untuk membiarkan cinta tumbuh secara alami, tanpa paksaan algoritma.
Ia membuka laptopnya dan menatap kode yang terpampang di layar. Kali ini, kode itu tidak lagi terasa seperti cermin yang memantulkan kekosongan. Kali ini, kode itu terasa seperti sketsa dari algoritma cinta yang baru. Algoritma yang ditulis dengan tinta harapan, dengan bumbu tawa, dan dengan sentuhan hati yang tulus. Algoritma yang dimulai dengan secangkir kopi panas dan semangkuk ramen yang gurih. Algoritma yang bernama cinta.