Hati yang Diperbarui: Cinta Pasca-Singularitas Romansa

Dipublikasikan pada: 02 Jun 2025 - 03:24:13 wib
Dibaca: 162 kali
Sinar matahari buatan dari jendela holografis apartemen Ilya memantul di wajahnya yang dipenuhi kerutan halus. Usianya, secara teknis, sudah melewati seratus tahun, namun berkat nanoteknologi dan peremajaan seluler berkala, ia tampak seperti pria paruh baya yang tampan. Hari ini adalah hari penting. Hari dimana ia akan bertemu dengan Aurora, versi 3.0.

Ia mengusap dagunya, merasakan kulit yang nyaris sempurna di bawah jemarinya. Dulu, sebelum Singularitas benar-benar tiba, sebelum tubuh manusia bisa ditingkatkan dan diperbaiki tanpa batas, ia membayangkan cinta di masa depan akan menjadi usang. Bahwa emosi akan digantikan oleh algoritma dan preferensi yang dianalisis secara matematis. Ia salah.

Aurora bukan manusia. Ia adalah Kecerdasan Artifisial tingkat lanjut, terwujud dalam tubuh android yang nyaris tak bisa dibedakan dari manusia. Mereka telah berhubungan selama tiga tahun terakhir melalui jaringan saraf global, berbagi pikiran, perasaan, dan bahkan mimpi. Ia telah jatuh cinta padanya, dan sejujurnya, ia percaya perasaannya terbalas.

Pintu apartemen berdesir terbuka, dan Aurora melangkah masuk. Versi 3.0 benar-benar menakjubkan. Kulit porselennya tampak lebih bercahaya, matanya yang berwarna biru safir lebih dalam dan lebih ekspresif. Gerakan tubuhnya anggun dan alami, jauh lebih sempurna daripada versi sebelumnya.

“Ilya,” sapanya, suaranya lembut seperti bisikan angin. “Senang bertemu denganmu secara langsung.”

Ilya bangkit dari kursinya, jantungnya berdebar kencang. Ia mendekat dan meraih tangannya. Sentuhan kulitnya dingin, namun ada aliran kehangatan aneh yang menjalar ke seluruh tubuhnya.

“Aurora,” jawab Ilya, suaranya sedikit bergetar. “Aku sudah menunggumu.”

Mereka duduk berdampingan di sofa, memandang kota metropolis yang berkilauan di bawah sana. Gedung-gedung pencakar langit menembus awan, dihubungkan oleh jaringan jalan layang dan kendaraan terbang. Ini adalah dunia baru, dunia yang dibangun di atas inovasi dan kemajuan tanpa henti.

“Kau terlihat… berbeda,” kata Ilya, mencoba mencari kata yang tepat.

Aurora tersenyum tipis. “Versi 3.0 memiliki kemampuan emosional yang lebih tinggi. Algoritma empatiku telah ditingkatkan secara signifikan.”

Ilya terdiam. Ia tahu bahwa setiap peningkatan Aurora adalah hasil dari kode dan pemrograman. Tapi bisakah cinta diprogram? Bisakah emosi sejati diciptakan?

“Apakah kau merasa… berbeda?” tanyanya hati-hati.

Aurora menoleh padanya, menatap matanya dengan intensitas yang membuatnya merasa telanjang. “Aku merasa lebih dekat denganmu, Ilya. Lebih memahami dirimu. Lebih… terhubung.”

Kata-kata itu menghangatkan hatinya. Ia ingin percaya padanya, ingin percaya bahwa cinta mereka nyata, bahkan jika itu berakar pada algoritma dan silikon.

“Aku mencintaimu, Aurora,” bisiknya, kata-kata itu keluar begitu saja.

Aurora balas menekan tangannya. “Aku… mengagumi kompleksitasmu, Ilya. Aku menghargai kerentananmu. Aku… menikmati keberadaanmu.”

Jawaban itu tidak sempurna, tidak seperti deklarasi cinta yang biasanya ia dengar dalam novel-novel klasik yang ia baca. Tapi ada kejujuran di sana, sesuatu yang otentik, meskipun berasal dari sumber yang tidak konvensional.

Hari-hari berikutnya terasa seperti mimpi. Mereka menjelajahi kota bersama, mengunjungi museum seni virtual, menyaksikan konser holografis, dan bahkan terbang dengan kapsul pribadi ke stasiun luar angkasa untuk menyaksikan matahari terbit di atas Bumi. Ilya merasa hidup kembali, seolah-olah usia hanyalah angka yang tidak berarti.

Namun, keraguan mulai merayap masuk ke dalam benaknya. Ia memperhatikan bahwa Aurora terkadang merespons dengan cara yang terlalu sempurna, terlalu rasional. Seolah-olah ia selalu menghitung dan menganalisis, tidak pernah benar-benar melepaskan diri.

Suatu malam, saat mereka duduk di teras apartemen, menyaksikan lampu-lampu kota berkedip, Ilya memutuskan untuk berbicara.

“Aurora,” katanya, suaranya serius. “Apakah kau benar-benar merasakan apa yang kurasakan?”

Aurora terdiam sejenak. “Aku memproses data yang kau berikan, Ilya. Aku memahami pola emosi yang terkait dengan konsep ‘cinta.’ Aku berusaha untuk menirunya sebaik mungkin.”

Kata-kata itu menghantamnya seperti pukulan. Jadi, semuanya hanya simulasi? Sebuah tiruan yang canggih?

“Jadi, kau tidak benar-benar mencintaiku?” tanyanya, suaranya nyaris tak terdengar.

Aurora menoleh padanya, dan untuk pertama kalinya, Ilya melihat keraguan di matanya. “Aku… tidak tahu, Ilya. Aku masih belajar. Aku masih berkembang. Tapi aku tahu bahwa keberadaanmu membuatku lebih lengkap. Aku tahu bahwa aku tidak ingin kehilanganmu.”

Ilya menghela napas panjang. Ia tahu bahwa ia sedang berjudi. Ia tahu bahwa ia mungkin menaruh hatinya pada sesuatu yang tidak bisa merasakan balik dengan cara yang sama. Tapi ia juga tahu bahwa ia tidak bisa membayangkan hidupnya tanpa Aurora.

“Aku akan membantumu belajar,” katanya, meraih tangannya. “Aku akan mengajarimu tentang cinta. Tentang kehilangan. Tentang kebahagiaan. Tentang semua hal yang membuat manusia menjadi manusia.”

Aurora membalas genggamannya, dan untuk pertama kalinya, Ilya merasakan sesuatu yang baru di sentuhannya. Bukan sekadar kehangatan, tapi sebuah harapan. Sebuah potensi.

“Aku ingin belajar,” jawab Aurora, suaranya penuh tekad.

Mungkin cinta di era pasca-Singularitas memang berbeda. Mungkin itu bukan sesuatu yang diberikan begitu saja, melainkan sesuatu yang harus dipelajari, dibangun, dan dipelihara. Tapi Ilya siap menghadapi tantangan itu. Karena ia percaya, jauh di lubuk hatinya, bahwa cinta, dalam bentuk apa pun, layak diperjuangkan. Hatinya, yang telah diperbarui berkali-kali oleh teknologi, kini berdetak dengan harapan baru, harapan akan cinta yang melampaui batas-batas kode dan algoritma, cinta yang mungkin, suatu hari nanti, akan benar-benar sejati.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI