Skrip Hati: Cinta Diprogram, Luka Terbarui?

Dipublikasikan pada: 29 Aug 2025 - 00:20:13 wib
Dibaca: 144 kali
Hujan gerimis mengetuk-ngetuk jendela apartemen minimalis Anya. Di layar laptopnya, barisan kode hijau neon menari-nari, sebuah simfoni digital yang sedang ia coba selesaikan. Bukan kode biasa. Ini adalah skrip AI, yang akan menjadi jantung dari ‘SoulMate’, aplikasi kencan personalisasi tingkat tinggi yang sedang dikembangkan Anya dan timnya. SoulMate menjanjikan cinta sejati, cinta yang diprogram, cinta yang… sempurna.

Anya menghela napas. Sempurna. Kata itu menggelitik benaknya dengan ironi yang pahit. Tiga tahun lalu, hidupnya tampak sempurna di mata orang lain. Karier cemerlang di perusahaan teknologi raksasa, tunangan tampan dan mapan bernama Rendy, masa depan yang tertata rapi bagai algoritma yang teruji. Lalu, Rendy pergi. Dengan wanita lain. Meninggalkan Anya dengan patah hati yang terasa seperti bug dalam sistem kepercayaannya.

Sejak saat itu, Anya bersumpah tidak akan pernah lagi bergantung pada manusia untuk kebahagiaannya. Logika, algoritma, kode—itu adalah bahasa yang ia pahami, dan yang tidak akan pernah mengkhianatinya. Maka, ia terjun ke dunia AI, dengan obsesi menciptakan SoulMate, aplikasi yang bisa menganalisis preferensi, ketertarikan, bahkan trauma masa lalu penggunanya, untuk menemukan pasangan yang paling kompatibel.

“Anya, lembur lagi?” suara Leo, rekan kerjanya sekaligus sahabatnya, memecah keheningan. Leo berdiri di ambang pintu dengan secangkir kopi panas di tangannya.

“Skrip inti belum selesai. Ada beberapa bug di bagian algoritma empati,” jawab Anya tanpa mengalihkan pandangannya dari layar.

Leo mendengkus pelan. “Empati? Dari kode? Ayolah, Anya. Empati itu bukan variabel yang bisa diukur. Itu sesuatu yang… dirasakan.”

Anya tertawa sinis. “Dirasakan? Dulu aku merasakan cinta, Leo. Dan lihat apa yang terjadi.”

Leo mendekat, meletakkan kopi di meja Anya. “Itu Rendy, Anya. Bukan cinta itu sendiri. Kau tidak bisa menyamakan semua pria dengan satu mantan brengsek.”

Anya terdiam. Leo selalu begitu. Penuh pengertian dan kesabaran, seperti seorang debugger yang telaten mencari kesalahan dalam barisan kode yang rumit. Mungkin itu sebabnya Anya selalu merasa nyaman di dekat Leo, meski ia berusaha keras untuk tidak melibatkan perasaan apa pun.

Hari-hari berlalu, dan Anya semakin tenggelam dalam proyek SoulMate. Algoritma semakin kompleks, database semakin besar. Aplikasi itu mampu memprediksi kecocokan dengan akurasi yang menakjubkan. Anya bangga, tetapi juga… kosong.

Suatu malam, saat Anya sedang menguji SoulMate dengan profilnya sendiri, aplikasi itu memberikan hasil yang mengejutkan. Tingkat kecocokan tertinggi: 98%. Dan nama yang muncul di layar adalah… Leo.

Anya tertegun. Leo? Mustahil. Selama ini, ia melihat Leo hanya sebagai sahabat, sebagai partner kerja. Tidak lebih. Tetapi, semakin Anya memikirkannya, semakin ia menyadari bahwa algoritma itu mungkin tidak sepenuhnya salah. Leo selalu ada untuknya, dalam suka maupun duka. Ia selalu mendengarkan, tanpa menghakimi. Ia selalu membuat Anya tertawa, bahkan di saat-saat tergelapnya.

Namun, Anya masih ragu. Apakah ini benar-benar cinta? Atau hanya hasil perhitungan matematis yang rumit? Apakah ia bisa mempercayai algoritma untuk memilih pasangannya?

Dengan berat hati, Anya memutuskan untuk mengabaikan hasil tersebut. Ia terus menyempurnakan SoulMate, berharap aplikasi itu akan membantunya menemukan seseorang yang… lebih logis. Seseorang yang tidak membuatnya merasa begitu rentan.

Beberapa minggu kemudian, SoulMate diluncurkan ke publik. Aplikasi itu langsung menjadi hit, jutaan orang mengunduhnya, berharap menemukan cinta sejati. Anya merasa bangga, tetapi kebahagiaannya terasa hampa.

Suatu malam, Anya menemukan Leo sedang duduk di balkon apartemennya, menatap bintang-bintang. Ia mendekat, duduk di sampingnya.

“Anya, aku tahu tentang SoulMate,” kata Leo tanpa menoleh.

Anya terkejut. “Bagaimana kau tahu?”

“Aku melihatnya di database. Profilmu, hasilmu… semuanya.”

Anya menunduk. “Aku… aku tidak tahu harus berkata apa.”

Leo memegang tangannya. “Kau tidak perlu berkata apa pun. Aku tahu kau menciptakan aplikasi itu karena kau takut terluka lagi. Tapi, Anya, kau tidak bisa membiarkan rasa takutmu mengendalikanmu.”

Anya mengangkat wajahnya, menatap mata Leo yang penuh kelembutan. “Aku… aku tidak tahu apakah aku siap untuk mencintai lagi.”

Leo tersenyum. “Tidak ada yang siap untuk mencintai. Cinta itu bukan sesuatu yang bisa dipersiapkan. Itu adalah sesuatu yang terjadi. Dan kadang-kadang, hal terbaik terjadi ketika kita tidak menduganya sama sekali.”

Anya menatap Leo, air mata menggenang di pelupuk matanya. Ia menyadari, selama ini ia terlalu sibuk mencari cinta dalam algoritma, sehingga ia lupa bahwa cinta sejati sudah ada di dekatnya, dalam diri sahabatnya sendiri.

“Leo…,” bisik Anya.

Leo mendekatkan wajahnya, dan perlahan, bibirnya menyentuh bibir Anya. Ciuman itu lembut, penuh kasih sayang, dan kehangatan. Di bawah langit malam yang bertabur bintang, Anya merasa bahwa mungkin, algoritma tidak selalu salah. Mungkin, cinta yang diprogram bisa menjadi awal dari luka yang terbarui.

Anya melepaskan ciumannya, menatap Leo dengan mata berbinar. "Bagaimana jika... kita coba saja?"

Leo tersenyum lebar. "Aku tidak sabar untuk melihat bug apa yang akan kita temukan bersama."

Anya tertawa, air mata kebahagiaannya menetes di pipinya. Di malam itu, Anya belajar bahwa cinta bukanlah sesuatu yang bisa diprogram, tetapi sesuatu yang bisa dirasakan, diperjuangkan, dan diperbaiki, bahkan setelah luka yang paling dalam sekalipun. Dan mungkin, hanya mungkin, cinta yang dibangun di atas kepercayaan dan persahabatan, akan menjadi cinta yang paling abadi. Barisan kode di laptopnya mungkin tidak sempurna, tetapi skrip hatinya, baru saja dimulai.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI