Jejak Algoritma di Hatimu: Cinta atau Ilusi?

Dipublikasikan pada: 11 Sep 2025 - 02:40:12 wib
Dibaca: 121 kali
Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis Anya, berpadu dengan dengung pelan pendingin ruangan. Di layar laptopnya, kode-kode program berbaris rapi, sebuah algoritma pencarian jodoh yang ia dedikasikan berbulan-bulan untuk menyempurnakannya. Anya, seorang programmer muda berbakat, lelah dengan kencan-kencan buta dan aplikasi kencan yang terasa dangkal. Ia ingin menemukan cinta sejati, bukan hanya kecocokan algoritma semata. Ironis, ia menciptakan alat untuk mencari hal yang sulit ia temukan sendiri.

Algoritma buatannya tidak hanya melihat hobi dan preferensi. Ia menganalisis pola pikir, nilai-nilai, dan bahkan selera humor berdasarkan unggahan media sosial, artikel yang dibaca, dan interaksi online. Anya menamakannya "SoulMateFinder," sebuah nama yang terdengar cheesy, tapi mencerminkan harapan terbesarnya.

Setelah berbulan-bulan pengujian dan penyempurnaan, tibalah saatnya untuk menguji SoulMateFinder pada dirinya sendiri. Ia memasukkan seluruh datanya, membiarkan algoritma bekerja, memindai jutaan profil di dunia maya. Hasilnya mengejutkan.

"Nama: Revan Aditya," tertera di layar. Usia 28 tahun, arsitek, suka mendaki gunung, bermain gitar akustik, dan memiliki selera humor yang sarkastik. Profilnya dipenuhi foto-foto pemandangan alam yang menakjubkan dan sketsa-sketsa bangunan futuristik. Yang paling penting, SoulMateFinder menunjukkan tingkat kecocokan 98,7%. Anya tertegun. Angka itu terlalu tinggi untuk menjadi kenyataan.

Anya mulai stalking Revan secara online. Profil Instagramnya dipenuhi foto-foto pendakian di berbagai gunung di Indonesia. Ia menemukan blog pribadinya berisi tulisan-tulisan filosofis tentang alam, manusia, dan makna hidup. Semakin ia mencari tahu, semakin ia merasa terpukau. Revan tampak seperti pria ideal yang selama ini hanya ada dalam fantasinya.

Ia memutuskan untuk menghubungi Revan. Dengan jantung berdebar, Anya mengirimkan pesan singkat melalui Instagram. "Hai, Revan. Aku Anya. Aku menikmati tulisan-tulisanmu di blog. Salam kenal."

Revan membalas hampir seketika. Percakapan mereka mengalir deras, membahas arsitektur, pendakian, bahkan filosofi eksistensialisme. Anya merasa seperti menemukan belahan jiwanya. Setelah seminggu berkomunikasi online, mereka memutuskan untuk bertemu.

Kencan pertama mereka di sebuah kedai kopi kecil di kawasan Kemang. Revan tampak persis seperti di foto-fotonya: tinggi, dengan rambut ikal yang sedikit berantakan, dan mata cokelat yang hangat. Suaranya berat dan menenangkan. Anya merasa gugup, namun juga sangat bersemangat.

Malam itu, mereka berbicara selama berjam-jam, seolah sudah saling mengenal selama bertahun-tahun. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan bahkan berdebat tentang arsitektur minimalis. Anya merasa nyaman dan bahagia. Apakah ini cinta sejati yang selama ini ia cari? Atau hanya ilusi yang diciptakan oleh algoritma?

Beberapa minggu berlalu, hubungan Anya dan Revan semakin dekat. Mereka menghabiskan waktu bersama hampir setiap hari, mendaki gunung bersama, menonton film indie di bioskop kecil, dan memasak makan malam romantis di apartemen Anya. Ia merasa jatuh cinta, sangat dalam.

Namun, semakin dalam ia jatuh, semakin besar keraguan yang menghantuinya. Apakah Revan mencintainya karena dirinya sendiri, atau karena algoritma SoulMateFinder yang mengatakan bahwa mereka cocok? Apakah perasaan yang ia rasakan benar-benar tulus, atau hanya hasil dari ekspektasi yang diprogramkan oleh kode-kode yang ia ciptakan?

Suatu malam, setelah makan malam di apartemen Anya, ia memutuskan untuk bertanya. "Revan," ucapnya gugup, "apa yang membuatmu menyukaiku?"

Revan menatapnya dengan bingung. "Apa maksudmu, Anya? Aku menyukaimu karena kamu pintar, lucu, dan memiliki semangat yang sama denganku. Aku menyukai caramu berpikir, caramu tertawa, dan caramu memandang dunia."

"Tapi... bagaimana jika aku memberitahumu bahwa aku menemukanmu melalui sebuah algoritma? Algoritma yang kupakai untuk mencari pasangan yang cocok denganku?" tanya Anya dengan nada gemetar.

Revan terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. "Algoritma? Serius? Kamu programmer yang hebat, ya. Tapi jujur, Anya, aku tidak peduli bagaimana kamu menemukanku. Yang penting adalah kita sudah bertemu, dan aku bahagia bersamamu."

"Tapi... bagaimana jika algoritma itu salah? Bagaimana jika semua ini hanya ilusi?" Anya bersikeras.

Revan meraih tangannya dan menggenggamnya erat. "Dengar, Anya. Algoritma mungkin bisa menemukan orang yang cocok di atas kertas. Tapi ia tidak bisa menciptakan cinta. Cinta adalah sesuatu yang tumbuh secara alami, berdasarkan koneksi emosional dan pengalaman bersama. Aku mencintaimu bukan karena algoritma, tapi karena aku mencintaimu."

Anya menatap mata Revan, mencari kebenaran. Ia melihat ketulusan, cinta, dan kasih sayang yang terpancar dari matanya. Perlahan, keraguannya mulai menghilang. Ia menyadari bahwa ia terlalu fokus pada algoritma, hingga lupa merasakan apa yang sebenarnya ada di hatinya.

"Aku juga mencintaimu, Revan," bisiknya, air mata haru mengalir di pipinya.

Revan memeluknya erat. "Jangan biarkan algoritma menentukan kebahagiaanmu, Anya. Percayalah pada hatimu sendiri."

Malam itu, Anya menghapus SoulMateFinder dari laptopnya. Ia tidak lagi membutuhkan algoritma untuk mencari cinta. Ia sudah menemukannya. Ia menyadari bahwa cinta sejati tidak bisa diprediksi atau diprogram. Ia hadir secara tak terduga, seperti jejak-jejak bintang di langit malam, menuntunnya menuju kebahagiaan yang abadi. Cinta adalah lebih dari sekadar kecocokan algoritma. Ia adalah koneksi jiwa, pengalaman bersama, dan pilihan untuk saling mencintai, terlepas dari segala ketidaksempurnaan. Dan Anya memilih untuk mencintai Revan, dengan sepenuh hatinya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI