Jari-jarinya menari di atas layar ponsel, menggeser foto demi foto. Senyum-senyum palsu, pose-pose sempurna, dan deskripsi diri yang terdengar terlalu bagus untuk menjadi kenyataan. Maya menghela napas. Sudah hampir satu jam ia menghabiskan waktu di "Soulmate Search," aplikasi kencan yang digadang-gadang mampu menemukan jodoh ideal berdasarkan algoritma kompleks yang konon memperhitungkan segalanya, mulai dari preferensi kopi hingga pandangan politik.
Dulu, Maya skeptis. Ia percaya pada pertemuan tak terduga, sentuhan mata yang menggetarkan, obrolan larut malam yang mengalir begitu saja. Tapi, setelah bertahun-tahun sibuk membangun karirnya sebagai desainer UI/UX untuk perusahaan teknologi raksasa, waktu untuk sosialisasi spontan semakin menipis. Teman-temannya, yang sebagian besar sudah berkeluarga, terus mendorongnya untuk mencoba aplikasi kencan. "Sudah 28 tahun, May! Jangan terlalu idealis. Dunia sudah berubah," kata Sarah, sahabatnya, suatu malam sambil menyodorkan segelas wine.
Akhirnya, Maya menyerah. Ia mengunduh Soulmate Search, mengisi profil dengan jujur, meskipun dengan sedikit keraguan. Algoritma itu kemudian menjanjikannya daftar "pasangan potensial" yang disaring berdasarkan data yang ia berikan. Hasilnya? Ratusan profil yang tampaknya identik: pria-pria berpendidikan, mapan, dan hobi traveling.
"Terlalu sempurna untuk menjadi nyata," gumam Maya, menggeser foto seorang pria bernama Adrian. Foto profil Adrian menampilkan dirinya sedang mendaki gunung, senyumnya lebar dan tulus. Deskripsinya singkat dan jenaka: "Pecinta kopi hitam, penikmat senja, dan (mencari) pendaki gunung sejati."
Sesuatu dalam diri Maya tertarik. Mungkin karena ia sendiri sudah lama ingin mendaki gunung lagi, hobi yang sempat terlupakan karena kesibukannya. Atau mungkin karena senyum Adrian tampak lebih jujur daripada yang lainnya. Dengan sedikit ragu, Maya menekan tombol "Like."
Keesokan harinya, ia menerima notifikasi: "Adrian menyukai Anda juga!" Jantung Maya berdegup lebih cepat. Ia membalas pesan Adrian, dan percakapan pun mengalir dengan lancar. Mereka membahas gunung favorit mereka, buku yang sedang mereka baca, dan bahkan pengalaman masa kecil yang memalukan. Adrian ternyata seorang arsitek yang juga bekerja di perusahaan teknologi, meskipun di divisi yang berbeda.
Setelah seminggu bertukar pesan, Adrian mengajak Maya untuk bertemu. Mereka sepakat untuk makan malam di sebuah restoran Italia kecil yang nyaman. Maya menghabiskan waktu berjam-jam memilih pakaian yang tepat, gugup seperti remaja yang akan pergi kencan pertama.
Ketika Adrian tiba, Maya terkejut. Ia tampak jauh lebih tampan daripada di foto. Senyumnya yang tulus membuatnya merasa nyaman seketika. Makan malam itu terasa seperti mimpi. Mereka tertawa, bercerita, dan menemukan banyak kesamaan yang tak terduga. Maya merasa seperti mengenal Adrian seumur hidupnya.
Setelah beberapa kencan yang sukses, Maya mulai bertanya-tanya apakah aplikasi kencan itu benar-benar berhasil. Apakah algoritma Soulmate Search benar-benar menemukan jodohnya? Atau apakah ini hanya kebetulan yang menyenangkan?
Namun, keraguan mulai muncul ketika Maya menyadari bahwa Adrian tampaknya terlalu sempurna. Ia selalu setuju dengan pendapat Maya, selalu tahu apa yang ingin Maya dengar, dan selalu bersikap manis dan penuh perhatian. Semuanya terasa terlalu terencana, terlalu dipikirkan.
Suatu malam, saat mereka sedang menonton film di apartemen Maya, Adrian tiba-tiba berkata, "Kamu tahu, May, aku sangat bersyukur kepada Soulmate Search. Tanpa aplikasi itu, kita mungkin tidak akan pernah bertemu."
Maya mengangguk, tapi ada sesuatu dalam nada bicara Adrian yang membuatnya tidak nyaman. Ia merasa seperti sedang mendengarkan skrip yang telah ditulis sebelumnya.
Keesokan harinya, Maya iseng membuka profil Adrian di Soulmate Search. Ia menemukan sesuatu yang mengejutkan. Deskripsi diri Adrian telah diubah, dan sekarang tertulis: "Mencari wanita yang ambisius, kreatif, dan memiliki minat yang sama dalam teknologi dan seni."
Hati Maya terasa sakit. Ia menyadari bahwa Adrian telah mengoptimalkan profilnya untuk menarik perhatiannya, dan mungkin wanita lain yang serupa. Algoritma itu mungkin telah mempertemukan mereka, tetapi Adrian telah memanfaatkannya untuk menciptakan persona yang sempurna.
Maya merasa dikhianati. Ia marah, bukan hanya pada Adrian, tetapi juga pada aplikasi kencan itu sendiri. Ia merasa seperti telah dipermainkan oleh algoritma yang menjanjikan cinta sejati, tetapi hanya memberikan ilusi belaka.
Ia menelepon Sarah, sahabatnya, dan menceritakan semuanya. Sarah mendengarkan dengan sabar, lalu berkata, "Mungkin algoritma itu tidak bisa menemukan jodoh sejati, May. Tapi, itu bisa menjadi alat untuk mempertemukan orang-orang yang mungkin tidak akan pernah bertemu di dunia nyata. Selanjutnya, terserah kamu dan Adrian untuk membangun hubungan yang tulus."
Kata-kata Sarah membuat Maya berpikir. Mungkin ia terlalu cepat menyalahkan aplikasi kencan itu. Mungkin kesalahan sebenarnya ada pada Adrian, yang telah menyalahgunakan algoritma untuk menutupi dirinya yang sebenarnya.
Maya memutuskan untuk menghadapi Adrian. Ia mengiriminya pesan dan meminta untuk bertemu. Ketika mereka bertemu, Maya langsung mengungkapkan perasaannya. Ia mengatakan bahwa ia merasa dikhianati karena Adrian telah menciptakan persona palsu di Soulmate Search.
Adrian terdiam sejenak, lalu berkata, "Aku tahu, May. Aku minta maaf. Aku terlalu takut untuk menunjukkan diriku yang sebenarnya. Aku pikir kamu tidak akan tertarik padaku jika aku jujur tentang kekuranganku."
Maya menatap Adrian dengan iba. Ia menyadari bahwa Adrian juga korban dari tekanan untuk menjadi sempurna di era digital ini. Algoritma itu telah mendorongnya untuk menciptakan persona yang ideal, bukan untuk menjadi dirinya sendiri.
Setelah percakapan yang panjang dan jujur, Maya dan Adrian sepakat untuk mencoba lagi. Mereka sepakat untuk melupakan Soulmate Search dan fokus untuk saling mengenal secara lebih mendalam, tanpa topeng atau persona palsu.
Maya menyadari bahwa aplikasi kencan hanyalah alat. Itu bisa menjadi cara untuk menemukan orang baru, tetapi itu tidak bisa menjamin cinta sejati. Cinta sejati membutuhkan kejujuran, kepercayaan, dan keberanian untuk menunjukkan diri apa adanya.
Maya akhirnya menghapus akunnya di Soulmate Search. Ia memutuskan untuk kembali percaya pada pertemuan tak terduga, sentuhan mata yang menggetarkan, dan obrolan larut malam yang mengalir begitu saja. Mungkin jodohnya ada di luar sana, menunggu untuk ditemukan, bukan melalui algoritma, tetapi melalui hati. Dan mungkin, jodoh itu adalah Adrian, yang kini berani menunjukkan dirinya yang sebenarnya, dengan segala kekurangan dan kelebihannya.