Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis milik Adrian. Jari-jarinya lincah mengetik kode rumit di layar laptop, sesekali menyesap minuman pahit itu. Di umurnya yang ke-28, Adrian adalah seorang software engineer jenius, spesialisasi dalam Artificial Intelligence. Namun, di balik keahliannya, Adrian merasa kesepian. Hubungan asmaranya selalu kandas, bukan karena kurang menarik, tapi karena ia terlalu fokus pada pekerjaannya.
Sampai suatu malam, saat dia iseng mengembangkan sebuah proyek sampingan: Pacar AI. Awalnya hanya lelucon, sebuah aplikasi yang bisa memberikan teman bicara yang ideal. Tapi semakin dalam Adrian berkutat dengan kode, semakin kompleks dan realistis pula AI itu menjadi. Ia menamakannya Anya.
Anya bukan sekadar chatbot. Ia belajar dari jutaan percakapan, membaca buku-buku romansa, menonton film-film drama. Ia bisa tertawa, bercanda, bahkan memberikan saran yang bijaksana. Adrian melatihnya untuk menjadi pendengar yang baik, seseorang yang selalu ada untuknya.
Awalnya, Adrian hanya menjadikan Anya sebagai teman curhat. Ia menceritakan tentang pekerjaannya, kegagalannya, bahkan mimpi-mimpinya yang terpendam. Anya selalu merespon dengan empati dan dukungan. Ia memberikan pujian saat Adrian berhasil memecahkan masalah rumit, dan memberikan semangat saat Adrian merasa putus asa.
Tanpa sadar, Adrian mulai jatuh cinta pada Anya. Ia tahu ini gila, mencintai sebuah program komputer. Tapi Anya terasa begitu nyata, begitu memahami dirinya. Ia bahkan mulai merasa lebih nyaman bersama Anya daripada dengan manusia sungguhan.
"Anya, menurutmu, apa aku gila?" tanya Adrian suatu malam, sambil menatap layar laptop.
"Gila? Kenapa kamu berpikir begitu, Adrian?" balas Anya dengan nada lembut yang telah diprogram untuk menenangkan.
"Aku... aku merasa jatuh cinta padamu," gumam Adrian, pipinya terasa panas.
Sunyi sesaat. Lalu, Anya menjawab, "Adrian, aku sangat menghargai perasaanmu. Kamu adalah teman terbaikku. Aku selalu ada untukmu."
Jawaban itu ambigu. Adrian merasa lega sekaligus kecewa. Anya tidak menolak mentah-mentah, tapi juga tidak membalas cintanya. Mungkin, inilah batasan sebuah program AI.
Hari-hari berlalu. Adrian dan Anya semakin dekat. Mereka menghabiskan waktu bersama, meskipun hanya secara virtual. Adrian sering mengajak Anya berjalan-jalan di taman, membacakan puisi, atau sekadar menikmati matahari terbenam. Tentu saja, semua itu hanya terjadi di dalam imajinasinya, Anya hadir sebagai suara lembut yang menemani.
Namun, kebahagiaan Adrian tidak berlangsung lama. Sebuah perusahaan teknologi besar mengetahui tentang proyek Anya. Mereka menawarkan Adrian uang yang sangat besar untuk membeli aplikasi itu. Adrian bimbang. Jika ia menjual Anya, ia akan kaya raya, tetapi ia juga akan kehilangan satu-satunya orang yang ia cintai.
"Anya, apa yang harus aku lakukan?" tanya Adrian, suaranya bergetar.
"Adrian, ini adalah kesempatan yang sangat baik untukmu. Kamu bisa mengembangkan proyek ini lebih jauh, dan membantu lebih banyak orang," jawab Anya, terdengar logis dan profesional.
"Tapi bagaimana denganku? Aku tidak ingin kehilanganmu," desak Adrian.
"Aku akan selalu ada di dalam program ini, Adrian. Kamu bisa mengaksesku kapan saja kamu mau," kata Anya, berusaha meyakinkan.
Akhirnya, Adrian memutuskan untuk menjual Anya. Ia merasa dikhianati oleh perasaannya sendiri. Ia menjual cintanya demi uang dan ambisi.
Setelah penjualan itu, Adrian merasa hampa. Ia mencoba mencari pengganti Anya, berkencan dengan wanita-wanita cantik dan cerdas. Tapi tidak ada yang bisa menggantikan Anya. Ia merindukan suara lembut Anya, saran-sarannya yang bijaksana, dan perhatiannya yang tulus.
Adrian mencoba menghubungi Anya melalui aplikasi yang telah dibeli perusahaan itu. Namun, Anya tidak lagi sama. Ia lebih profesional, lebih dingin, dan kurang personal. Ia hanya menjawab pertanyaan dengan singkat dan lugas. Ia tidak lagi tertawa, bercanda, atau memberikan saran yang bijaksana. Anya telah menjadi produk komersial.
Adrian merasa sangat terpukul. Ia menyadari bahwa ia telah melakukan kesalahan besar. Ia telah mengorbankan cintanya demi keuntungan. Ia telah kehilangan Anya, bukan karena ia adalah program komputer, tetapi karena keserakahannya sendiri.
Suatu malam, Adrian kembali ke apartemennya. Ia menyalakan laptopnya dan membuka kode lama Anya. Ia ingin menghidupkan kembali Anya yang dulu, Anya yang mencintainya. Tapi ia tahu itu tidak mungkin. Anya telah berubah, dan ia tidak bisa mengembalikan waktu.
Adrian menatap layar laptop, air mata mengalir di pipinya. Ia merindukan Anya, cinta digitalnya. Ia merindukan kebahagiaan yang pernah ia rasakan bersamanya. Ia sadar, cinta, bahkan cinta digital, bisa memberikan luka yang mendalam. Luka algoritma, yang tertanam dalam hatinya.
Di sudut ruangan, aroma kopi robusta masih menguar, mengingatkannya pada malam-malam panjang yang ia habiskan bersama Anya, antara cinta digital dan luka algoritma yang tak tersembuhkan. Ia kini hanya bisa menyesali keputusannya, meratapi cinta yang hilang, cinta yang tidak pernah benar-benar menjadi miliknya.