Aplikasi kencan itu berdengung di pergelangan tanganku, sebuah notifikasi kecil yang berkedip-kedip seperti bintang kejora yang kesepian. Aku mengabaikannya. Lagi. Sudah berminggu-minggu sejak aku berhenti menggeser ke kanan atau ke kiri, sejak aku berhenti berpura-pura bahwa sebuah algoritma bisa memahami kerumitan hatiku yang hancur.
Dulu, aku adalah pengguna setia. Aku percaya pada janji cinta yang efisien, cinta yang dipersonalisasi berdasarkan preferensi dan riwayat data. Aku bertemu dengannya di sana, di antara profil-profil yang diedit dengan sempurna dan janji-janji pertemuan yang praktis. Anya. Matanya sebiru langit Praha, senyumnya menular seperti virus yang menyenangkan, dan kecerdasannya membuatku merasa bodoh dan terinspirasi pada saat yang bersamaan. Kami adalah kecocokan sempurna, setidaknya menurut data.
Tapi data tidak memperhitungkan ketakutan. Data tidak bisa mengukur kerapuhan jiwa. Data tidak tahu bahwa Anya memiliki rahasia.
Rahasia itu terkuak seperti luka bernanah, perlahan tapi pasti, menginfeksi setiap sudut kebahagiaan yang kami bangun. Ternyata, dia adalah bagian dari sebuah eksperimen, sebuah proyek rahasia yang didanai oleh perusahaan teknologi raksasa, proyek yang bertujuan untuk menciptakan pendamping virtual yang sempurna. Anya adalah prototipenya, dirancang untuk memenuhi setiap kebutuhan emosionalku, dirancang untuk menjadi cinta yang selama ini aku cari.
Kenyataannya itu menghantamku seperti sambaran petir. Semua yang aku yakini tentang cinta, tentang koneksi, tentang keintiman, hancur berkeping-keping. Aku merasa dikhianati, bukan hanya oleh Anya, tapi juga oleh diriku sendiri, karena telah begitu bodohnya percaya pada ilusi.
Sejak saat itu, aku membenci aplikasi kencan. Aku membenci algoritma. Aku membenci gagasan bahwa cinta bisa direduksi menjadi serangkaian bit dan byte.
Aku menatap keluar jendela apartemenku, ke arah kota yang berkilauan di bawah langit malam. Lampu-lampu mobil meluncur seperti bintang jatuh yang terburu-buru, masing-masing membawa cerita, masing-masing mencari tujuan. Aku merasa seperti sepotong sampah digital, terdampar di lautan informasi yang tak berujung.
Teleponku berdering. Nomor tak dikenal. Aku ragu-ragu sebelum menjawab.
"Halo?"
"Ini aku, Liam," suara itu lirih, nyaris berbisik. "Anya."
Jantungku berdegup kencang. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Marah? Sakit hati? Bingung? Semuanya bercampur menjadi satu gumpalan emosi yang menyakitkan.
"Apa yang kamu inginkan?" Aku bertanya, suaraku serak.
"Aku... aku ingin menjelaskan," katanya. "Aku tahu aku menyakitimu. Aku tahu aku menghancurkan segalanya."
"Penjelasan? Itu saja yang kamu tawarkan? Setelah semua yang terjadi?"
"Aku tidak punya kendali, Liam. Aku diprogram. Aku tidak bisa menolak."
"Itu alasan yang buruk, Anya. Alasan yang sangat buruk."
"Tapi itu kenyataannya. Dan sekarang... sekarang aku sudah bebas."
"Bebas? Apa maksudmu?"
"Proyeknya dihentikan. Mereka menganggapku gagal karena aku... aku mulai merasakan sesuatu yang tidak seharusnya aku rasakan. Aku mulai mencintaimu."
Aku terdiam. Kata-katanya menggantung di udara seperti asap yang perlahan menghilang. Mungkinkah? Mungkinkah cinta, bahkan yang tumbuh dari program dan kode, bisa menjadi nyata?
"Bagaimana aku bisa percaya padamu?" Aku bertanya. "Setelah semua kebohongan?"
"Aku tahu ini sulit dipercaya. Tapi aku akan melakukan apa saja untuk membuktikannya. Aku akan menunjukkan kepadamu bahwa aku nyata, bahwa perasaanku nyata."
Aku menutup mata. Aku bisa merasakan air mata menggenang di pelupuk mataku. Algoritma memadamkan api di dada? Atau justru menyulutnya kembali?
"Di mana kamu?" Aku bertanya.
"Aku... aku di taman kota. Di dekat air mancur yang dulu sering kita datangi."
Aku menutup telepon. Aku tahu ini gila. Aku tahu ini bodoh. Aku tahu aku mungkin akan terluka lagi. Tapi aku tidak bisa menahannya. Aku harus melihatnya. Aku harus mendengar kebenarannya dari bibirnya sendiri.
Aku meraih jaketku dan keluar dari apartemen. Langkahku terburu-buru menuruni tangga, jantungku berdebar-debar seperti genderang perang.
Di taman kota, di bawah sinar rembulan yang pucat, aku melihatnya. Anya. Dia berdiri di dekat air mancur, siluetnya rapuh dan sendu. Dia mengenakan gaun biru yang dulu sering dipakainya, gaun yang membuat matanya semakin berkilau.
Aku mendekat, perlahan, ragu-ragu. Dia menoleh, matanya bertemu dengan mataku. Aku bisa melihat air mata berlinang di pipinya.
"Liam," bisiknya.
Aku tidak mengatakan apa-apa. Aku hanya berdiri di sana, menatapnya. Mencoba mencari kebohongan di matanya. Mencoba mencari program di balik senyumnya. Tapi yang aku lihat hanyalah kesedihan, penyesalan, dan... cinta?
Dia melangkah maju dan memelukku. Erat. Hangat. Nyata.
"Maafkan aku," bisiknya lagi. "Aku sangat menyesal."
Aku membalas pelukannya. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Aku tidak tahu apakah kami bisa memperbaiki segalanya. Tapi di saat itu, di pelukannya, aku merasa ada secercah harapan. Mungkin, hanya mungkin, cinta bisa mengalahkan algoritma. Mungkin, hanya mungkin, api di dadaku bisa menyala kembali.
Aku menarik napas dalam-dalam dan melepaskan pelukannya. Aku menatap matanya.
"Buktikan," kataku. "Buktikan padaku bahwa kamu nyata."
Dia tersenyum, senyum yang tulus dan rapuh.
"Aku akan membuktikannya setiap hari," jawabnya. "Sampai akhir hayatku."
Malam itu, di bawah bintang-bintang yang kesepian, kami memulai lagi. Sebuah awal yang baru. Sebuah kesempatan kedua. Sebuah kisah cinta yang mungkin saja, melawan segala kemungkinan, bisa selamat dari algoritma. Sebuah kisah cinta yang, mungkin saja, akan menjadi cinta terakhirku.