Swipe Right, Salah Server: Cinta di Era Algoritma?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 05:23:57 wib
Dibaca: 170 kali
Jari telunjuk Maya berputar-putar di udara, ragu. Di layar ponselnya, foto seorang pria tersenyum lebar, memperlihatkan deretan gigi putih yang nyaris sempurna. Profilnya cukup menjanjikan: Arsitek, penyuka kopi, dan pelari maraton. Tiga hal yang Maya sukai juga. Namun, ada sesuatu yang mengganjal. Sesuatu yang tidak bisa ia definisikan.

Sudah hampir setahun Maya menggunakan aplikasi kencan daring ini. Dulu, ia menganggapnya sebagai solusi modern untuk masalah klasik: kesepian. Teman-temannya sudah berpasangan, bahkan beberapa sudah memiliki anak. Sementara ia, masih berkutat dengan tumpukan proposal riset di lab dan mimpi-mimpi tentang penemuan revolusioner di bidang bioteknologi. Waktu untuk bersosialisasi nyaris tidak ada.

Maka, ia pun menyerah pada algoritma. Ia mengisi profilnya dengan jujur, mengunggah foto-foto terbaiknya – yang menurutnya menampilkan sisi cerdas dan sedikit nyentriknya – dan mulai melakukan swipe. Kiri untuk “tidak tertarik”, kanan untuk “mungkin”. Sederhana, efisien, dan konon katanya, efektif.

Namun, kenyataannya tidak sesederhana itu. Ia sudah beberapa kali berkencan. Ada yang membosankan, ada yang aneh, dan ada yang sekadar tidak nyambung. Semuanya terasa seperti transaksi. Bertemu, berbasa-basi, menilai, dan kemudian… menghilang. Tidak ada percikan. Tidak ada keajaiban. Hanya algoritma yang terus mencarikan kandidat baru, seolah cinta adalah persamaan matematika yang bisa dipecahkan.

Kembali ke foto si arsitek. Ia membaca ulang deskripsinya. “Mencari wanita cerdas, mandiri, dan berwawasan luas untuk berbagi secangkir kopi dan obrolan hangat.” Kedengarannya sempurna. Terlalu sempurna mungkin?

Dengan tarikan napas dalam, Maya menggeser ke kanan.

Beberapa jam kemudian, ia menerima notifikasi: “It’s a Match!”

Senyum tipis menghiasi bibirnya. Oke, mari kita lihat apa yang ditawarkan algoritma kali ini.

Pertukaran pesan dimulai dengan basa-basi standar. Nama si arsitek adalah Adam. Mereka membahas tentang arsitektur modern, jenis kopi favorit, dan rencana lari maraton mereka berikutnya. Maya terkejut mendapati dirinya menikmati percakapan ini. Adam ternyata orang yang humoris, cerdas, dan memiliki selera humor yang sama dengannya. Mereka sepakat untuk bertemu di sebuah kedai kopi di pusat kota.

Malam itu, Maya berdandan lebih dari biasanya. Ia memilih gaun sederhana berwarna biru yang membuatnya merasa percaya diri. Di depan cermin, ia menarik napas dalam. Semoga kali ini berbeda.

Ketika tiba di kedai kopi, ia langsung mengenali Adam. Ia memang setampan fotonya. Saat mereka berjabat tangan, Maya merasakan sentakan aneh. Bukan sentakan cinta pada pandangan pertama, melainkan sentakan kebingungan. Ada sesuatu yang janggal.

Adam mulai bercerita tentang proyek terbarunya, sebuah gedung pencakar langit ramah lingkungan. Maya mendengarkan dengan seksama, sesekali mengajukan pertanyaan. Namun, semakin lama mereka berbicara, semakin besar kebingungan Maya. Ada yang tidak sinkron antara Adam yang ia temui dengan Adam yang ia ajak bicara lewat aplikasi.

Adam menceritakan hal-hal yang tidak pernah ia sebutkan di profilnya atau dalam pesan mereka. Ia menyebutkan nama band yang Maya benci, mengkritik film dokumenter yang Maya kagumi, dan memesan kopi dengan rasa yang menurut Maya menjijikkan.

"Kamu tahu, aku tidak terlalu suka kopi yang asam," kata Adam sambil menyesap kopinya.

Maya mengerutkan kening. "Tapi, di profilmu kamu bilang kamu penyuka kopi."

Adam tertawa kecil. "Oh, itu cuma biar kelihatan menarik saja. Sebenarnya aku lebih suka teh."

Jantung Maya berdegup kencang. Ada sesuatu yang sangat salah di sini.

"Dan soal lari maraton," lanjut Adam. "Aku sebenarnya benci olahraga. Aku cuma bilang begitu biar kelihatan sehat."

Maya tidak bisa berkata apa-apa. Ia merasa seperti berada dalam mimpi buruk. Apakah ia baru saja dikelabui oleh algoritma yang rusak?

Kemudian, ponsel Adam berdering. Ia mengangkat telepon dan berbicara dengan suara yang lebih rendah. Maya hanya bisa menangkap beberapa patah kata. "… profil palsu… berhasil… Maya…"

Maya membeku. Profil palsu? Jadi, ini semua rekayasa?

Ketika Adam menutup telepon, Maya menatapnya dengan tatapan menuduh. "Siapa kamu sebenarnya?"

Adam menghela napas. "Oke, aku mengaku. Aku bukan Adam. Namaku Kevin. Aku… aku sedang melakukan eksperimen sosial."

Eksperimen sosial? Maya merasa seperti ingin berteriak.

Kevin menjelaskan bahwa ia adalah seorang mahasiswa sosiologi yang sedang meneliti tentang efektivitas aplikasi kencan daring. Ia menciptakan profil palsu dengan menggunakan data dari profil Maya dan beberapa wanita lain yang menurut algoritma cocok dengannya. Tujuannya adalah untuk melihat apakah ia bisa menarik perhatian Maya dan wanita lain dengan menggunakan profil yang ideal, meskipun ia sendiri tidak memiliki kualitas-kualitas tersebut.

"Aku tahu ini salah," kata Kevin dengan nada menyesal. "Tapi aku benar-benar penasaran. Dan maaf, aku tidak bermaksud menyakitimu."

Maya berdiri. "Kamu tidak hanya menyakitiku, kamu sudah merusak kepercayaanku pada sistem ini. Aku pikir aku sedang mencari cinta, tapi ternyata aku hanya menjadi bahan eksperimenmu."

Ia meninggalkan kedai kopi itu dengan perasaan hancur. Di tengah keramaian kota, ia merasa lebih kesepian dari sebelumnya. Algoritma telah gagal. Ia telah di-swipe right ke server yang salah.

Beberapa minggu kemudian, Maya kembali ke lab. Ia menenggelamkan diri dalam pekerjaannya, mencoba melupakan kejadian itu. Namun, setiap kali ia melihat ponselnya, ia teringat pada Adam – atau lebih tepatnya, Kevin – dan eksperimennya yang menyakitkan.

Suatu sore, saat ia sedang berkutat dengan mikroskop, seseorang mengetuk pintu labnya. Ia mendongak dan melihat seorang pria berdiri di ambang pintu. Ia tidak mengenalnya.

"Maaf mengganggu," kata pria itu dengan senyum malu-malu. "Saya melihat kamu bekerja di sini. Saya juga seorang peneliti di bidang bioteknologi. Nama saya Ben."

Maya mengerutkan kening. "Saya Maya."

"Saya tahu," kata Ben. "Saya… saya pernah melihat profilmu di aplikasi kencan daring. Tapi saya terlalu gugup untuk melakukan swipe."

Maya terdiam.

"Saya tahu ini aneh," lanjut Ben. "Tapi saya sering melihatmu di kafetaria kampus. Saya kagum dengan dedikasimu dan… dan kecerdasanmu. Saya ingin mengajakmu minum kopi, tapi tidak tahu bagaimana caranya."

Maya menatap Ben lekat-lekat. Ia melihat kejujuran dan ketulusan di matanya. Tidak ada algoritma, tidak ada profil palsu, hanya seorang pria yang berani mendekatinya secara langsung.

"Kopi terdengar menyenangkan," kata Maya sambil tersenyum.

Mungkin, pikir Maya, cinta sejati tidak ditemukan dalam algoritma. Mungkin, cinta ditemukan dalam keberanian untuk menjadi diri sendiri, dan keberanian untuk melihat orang lain apa adanya. Mungkin, ia tidak perlu aplikasi kencan daring untuk menemukan cintanya. Mungkin, cinta sudah ada di sekitarnya selama ini, hanya menunggu untuk ditemukan. Mungkin, kali ini ia menemukan server yang tepat.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI