Algoritma Hati yang Patah: Butuh Cinta Versi Terbaru

Dipublikasikan pada: 30 May 2025 - 21:54:15 wib
Dibaca: 166 kali
Deretan kode hijau berjatuhan di layar monitor seperti air terjun digital. Maya mengetik cepat, jarinya menari di atas keyboard menciptakan algoritma baru. Bukan algoritma biasa, melainkan algoritma untuk mendeteksi, menganalisis, dan (kalau bisa) memperbaiki hati yang patah. Ironis, mengingat hatinya sendiri terasa seperti program usang yang penuh bug dan perlu di-uninstall.

“Deadline tinggal seminggu, May,” suara Kevin, rekan kerjanya, membuyarkan konsentrasinya. Kevin menyodorkan secangkir kopi yang asapnya mengepul. “Kabarnya, investor kita, Pak Bram, sudah tidak sabar melihat demonstrasi ‘Heart Healer’ ini.”

Maya menghela napas. “Aku tahu, Kev. Tapi ada satu variabel yang sulit aku kuasai: emosi manusia.”

“Emosi manusia memang kacau balau. Sama kacaunya dengan kode yang kau buat kalau kurang tidur,” Kevin terkekeh, mencoba mencairkan suasana.

Dulu, Maya tertawa mendengar lelucon Kevin. Sekarang, senyumnya terasa dipaksakan. Bayangan Ardi, mantan kekasihnya, kembali menghantuinya. Ardi, seorang arsitek yang sangat mencintai simetri dan keseimbangan. Kebalikan total dari Maya yang hidup dalam dunia angka dan logika. Mereka berpisah enam bulan lalu, dengan alasan klasik: perbedaan visi. Ardi ingin membangun keluarga tradisional, sedangkan Maya lebih memilih fokus pada kariernya. Alasan yang terdengar masuk akal, tapi menyembunyikan luka yang lebih dalam. Luka karena Maya tidak yakin bisa memberikan cinta yang "cukup" untuk Ardi.

“May? Hei? Bumi memanggil Maya!” Kevin melambaikan tangannya di depan wajah Maya.

“Maaf, Kev. Melamun.” Maya meneguk kopi panasnya. “Algoritma ini hampir selesai. Aku hanya perlu menyempurnakan modul ‘Pengenalan Pola Trauma’ dan ‘Optimasi Respon Empati’.”

Kevin mengernyit. “Kedengarannya seperti bahasa alien. Tapi aku percaya padamu, May. Kau selalu berhasil.”

Maya berharap Kevin benar. Dia berharap algoritma "Heart Healer" ini bisa membantu orang lain sembuh dari patah hati, meskipun dia sendiri masih berjuang untuk memproses perasaannya.



Hari demonstrasi tiba. Pak Bram, sang investor, duduk di barisan depan dengan tatapan penuh harap. Di sampingnya, duduk seorang wanita muda bernama Riana, yang akan menjadi relawan pertama untuk menguji algoritma "Heart Healer".

Maya gugup. Dia menjelaskan cara kerja program tersebut. "Heart Healer menganalisis data fisiologis seperti detak jantung, tekanan darah, dan aktivitas otak, serta data tekstual dari jurnal pribadi dan interaksi media sosial. Data ini kemudian diolah untuk mengidentifikasi pola trauma, kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi, dan potensi solusi untuk penyembuhan."

Riana mengenakan headset khusus yang terhubung ke komputer. Layar menampilkan grafik dan angka yang bergerak dinamis. Maya mulai mengajukan pertanyaan standar, lalu pertanyaan yang lebih personal tentang pengalaman Riana dengan patah hati.

"Heart Healer mendeteksi adanya pola penolakan dan kesepian yang mendalam," kata Maya, membaca hasil analisis. "Program ini merekomendasikan serangkaian aktivitas yang dirancang untuk meningkatkan harga diri, memperluas jaringan sosial, dan mempraktikkan penerimaan diri."

Riana mengikuti saran program tersebut. Dia mulai bergabung dengan komunitas seni, belajar memainkan alat musik, dan menulis surat untuk dirinya sendiri. Secara bertahap, dia mulai merasa lebih baik. Senyumnya kembali merekah, dan matanya tidak lagi memancarkan kesedihan yang mendalam.

Pak Bram sangat terkesan. "Luar biasa, Maya! Ini adalah terobosan yang sangat menjanjikan. Aku yakin ‘Heart Healer’ ini akan mengubah cara kita mengatasi patah hati di masa depan."

Maya tersenyum lega. Kesuksesan demonstrasi ini memberinya suntikan semangat. Namun, di balik senyumnya, dia merasa ada sesuatu yang kurang. "Heart Healer" memang bisa membantu orang lain, tapi bagaimana dengan dirinya sendiri?



Suatu malam, Maya mencoba "Heart Healer" pada dirinya sendiri. Dia memasukkan data pribadi dan menjawab pertanyaan dengan jujur. Hasilnya cukup mengejutkan.

"Heart Healer mendeteksi adanya pola penghindaran emosi, ketakutan akan komitmen, dan kebutuhan mendalam untuk dicintai dan diterima apa adanya."

Rekomendasi program tersebut lebih mengejutkan lagi. "Sarankan untuk menghubungi kembali Ardi. Analisis menunjukkan adanya kompatibilitas emosional yang kuat dan potensi untuk rekonsiliasi."

Maya tertegun. Menghubungi Ardi? Ide itu terdengar gila. Bukankah mereka sudah sepakat untuk berpisah? Bukankah dia yang memutuskan untuk fokus pada kariernya?

Namun, semakin lama Maya memikirkannya, semakin dia menyadari bahwa selama ini dia telah berbohong pada dirinya sendiri. Dia tidak benar-benar memilih karier daripada cinta. Dia hanya takut gagal dalam cinta. Dia takut tidak bisa memberikan cinta yang "cukup" untuk Ardi.

Dengan tangan gemetar, Maya mencari nomor telepon Ardi di ponselnya. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum menekan tombol panggil.

"Halo?" suara Ardi terdengar di seberang sana.

Jantung Maya berdegup kencang. "Ardi, ini Maya."

Hening sejenak. "Maya? Ada apa?"

"Aku… aku ingin minta maaf," kata Maya, suaranya bergetar. "Aku tahu aku membuat kesalahan. Aku takut. Aku bodoh."

Ardi terdiam lagi. Maya menunggu dalam ketegangan.

"Maya," akhirnya Ardi berbicara. "Aku juga merindukanmu. Aku juga membuat kesalahan. Aku terlalu terpaku pada idealku sendiri."

"Bisakah… bisakah kita bertemu?" tanya Maya, berharap.

"Tentu," jawab Ardi. "Kapan?"



Beberapa minggu kemudian, Maya dan Ardi duduk di sebuah kafe kecil. Matahari sore menyinari wajah mereka. Mereka berbicara panjang lebar, saling meminta maaf, dan saling memahami.

Maya menyadari bahwa algoritma "Heart Healer" memang canggih, tapi cinta sejati membutuhkan lebih dari sekadar analisis data dan rekomendasi program. Cinta membutuhkan keberanian untuk membuka diri, kerentanan untuk menerima kekurangan, dan kesediaan untuk berjuang bersama.

Dia juga menyadari bahwa cinta tidak harus sempurna. Cinta tidak harus simetris dan seimbang seperti bangunan impian Ardi. Cinta bisa menjadi algoritma yang kompleks dan tidak sempurna, penuh dengan bug dan kesalahan, tapi tetap berharga dan bermakna.

Saat Ardi menggenggam tangannya, Maya merasa ada sesuatu yang baru tumbuh di dalam hatinya. Bukan versi lama yang penuh dengan keraguan dan ketakutan, melainkan versi terbaru yang lebih kuat, lebih berani, dan lebih siap untuk mencintai. Versi yang tidak perlu disembuhkan oleh algoritma, tapi dipelihara oleh cinta itu sendiri. Mungkin, memang benar, dia hanya butuh cinta versi terbaru.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI