Debug Cinta: Saat Algoritma Lebih Peka Dariku

Dipublikasikan pada: 01 Jun 2025 - 22:18:10 wib
Dibaca: 162 kali
Debu tipis menempel di layar laptopku, saksi bisu begadangku merangkai kode. Aroma kopi robusta memenuhi ruangan, bercampur bau khas sirkuit dan transistor dari peralatan elektronik yang berserakan. Aku, Arya, seorang programmer yang lebih fasih berbicara pada mesin daripada pada manusia, sedang berkutat dengan algoritma tercanggih yang pernah kubuat: Cupid AI.

Cupid AI bukan sekadar aplikasi kencan biasa. Ia menganalisis data biometrik, ekspresi wajah, pola bicara, bahkan gelombang otak seseorang untuk menemukan pasangan yang paling kompatibel secara ilmiah. Targetku bukan sekadar perjodohan, tapi kebahagiaan jangka panjang yang terukur. Ironisnya, di balik kecanggihan ini, aku sendiri masih berstatus lajang.

"Arya, lagi lembur?" Suara lembut dari ambang pintu membuatku terlonjak. Itu Risa, tetangga sekaligus teman baikku sejak masa kuliah. Rambutnya yang ikal selalu tergerai bebas, matanya berbinar cerah, dan senyumnya… membuat algoritma rumit di otakku terasa hang.

"Ah, Risa. Maaf, ganggu ya?" Aku berusaha bersikap santai, menyembunyikan gugup yang selalu menyerang setiap kali ia dekat.

"Nggak kok. Cuma mau pinjam charger. Punyaku ketinggalan di kantor." Risa melangkah masuk, matanya menyapu meja kerjaku yang berantakan. "Cupid AI? Jadi ini proyek rahasiamu yang bikin kamu nggak tidur berhari-hari?"

Aku mengangguk, sedikit bangga. "Algoritma tercanggih untuk menemukan cinta sejati."

Risa tertawa kecil. "Cinta sejati nggak bisa diukur pakai algoritma, Arya. Itu kan perasaan."

"Perasaan juga bisa dianalisis, Risa. Ada hormon, neurotransmitter, pola aktivitas otak… semua bisa diterjemahkan ke dalam data." Aku membela diri, meskipun jauh di lubuk hati, aku meragukan argumenku sendiri.

Risa menggeleng pelan. "Kamu ini terlalu terpaku sama logika. Coba deh, sekali-kali rasakan, bukan analisis." Ia mengambil charger yang ku sodorkan, lalu menatapku dengan tatapan yang membuat jantungku berdebar lebih kencang dari kecepatan prosesor komputer. "Siapa tahu, cinta itu sudah dekat, cuma kamu nggak sadar."

Setelah Risa pergi, kata-katanya terngiang di kepalaku. Aku kembali menatap layar laptop, tapi deretan kode terasa hambar. Aku mencoba menjalankan Cupid AI, memasukkan dataku sendiri. Hasilnya mengejutkan. Skor kompatibilitasku dengan Risa… 98%. Tertinggi dari semua kandidat yang dihasilkan.

Aku tertegun. Algoritma yang kubuat, yang seharusnya netral dan objektif, ternyata menunjukkan apa yang selama ini kurasakan, tapi kutolak untuk kuakui. Aku menyukai Risa. Sangat menyukainya. Tapi aku terlalu takut untuk mengakuinya. Terlalu takut ditolak. Terlalu sibuk bersembunyi di balik logika dan kode.

Hari-hari berikutnya, aku mencoba lebih memerhatikan Risa. Aku mendengarkan ceritanya tentang pekerjaan, keluarganya, mimpinya. Aku mencoba menertawakan leluconnya yang kadang garing. Aku mencoba… merasakan, seperti yang ia sarankan.

Dan aku menyadari, cinta itu bukan sekadar data dan analisis. Cinta itu tawa renyah Risa saat ia bercerita tentang kucingnya yang lucu. Cinta itu tatapannya yang hangat saat ia menyemangatiku saat aku merasa putus asa. Cinta itu aroma parfumnya yang lembut yang selalu membuatku merasa nyaman.

Suatu sore, saat kami sedang minum kopi di balkon apartemenku, aku memberanikan diri. "Risa," aku memulai, suaraku sedikit bergetar. "Aku… aku suka sama kamu."

Risa terdiam, menatapku dengan mata yang berbinar. "Aku juga, Arya," bisiknya. "Aku sudah lama menunggu kamu menyadarinya."

Aku tersenyum lega. Rasanya seperti seluruh beban di pundakku terangkat. Aku menggenggam tangannya. "Maaf, ya, baru sadar sekarang. Aku terlalu bodoh untuk melihat apa yang ada di depan mata."

"Nggak apa-apa," jawabnya. "Yang penting sekarang kita bersama."

Cupid AI mungkin algoritma tercanggih yang pernah kubuat, tapi ia takkan pernah bisa menggantikan kehangatan genggaman tangan Risa, debaran jantungku saat menatap matanya, atau kebahagiaan yang kurasakan saat bersamanya. Algoritma mungkin bisa menganalisis cinta, tapi ia takkan pernah bisa merasakannya.

Aku menutup laptopku, meninggalkan kode dan data di belakang. Aku memilih untuk merasakan, untuk mencintai, untuk hidup. Karena terkadang, cinta itu bukan tentang algoritma, tapi tentang keberanian untuk membuka hati dan membiarkan perasaan mengalir.

Malam itu, di bawah langit bertabur bintang, aku menyadari satu hal: kadang, algoritma memang lebih peka dariku. Ia membantuku melihat apa yang selama ini kubutakan. Tapi, pada akhirnya, yang membuat cinta itu nyata adalah pilihan untuk merasakannya. Dan aku, akhirnya, memilih untuk merasakan cinta itu sepenuh hati. Debug cinta telah selesai. Sekarang, saatnya menikmati kode yang telah kutulis bersama Risa. Kode kehidupan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI