Jejak Digital Hati: Ketika Cinta Jadi Data?

Dipublikasikan pada: 19 Sep 2025 - 00:00:13 wib
Dibaca: 110 kali
Jari-jari Aira menari di atas keyboard. Barisan kode program berkelebat di layar monitor, menciptakan sebuah harmoni rumit yang hanya bisa ia pahami. Di balik kacamatanya yang tebal, matanya memancarkan fokus yang tajam. Ia sedang menciptakan "Echo," sebuah aplikasi kencan yang berbasis pada analisis data kepribadian yang mendalam. Bukan sekadar hobi, ini adalah proyek tesisnya, sebuah pembuktian bahwa cinta, atau setidaknya kecocokan, bisa diukur dan diprediksi.

Aira skeptis terhadap cinta. Ia percaya bahwa emosi adalah algoritma rumit yang belum sepenuhnya dipecahkan. Aplikasi kencan yang ada menurutnya dangkal, hanya mengandalkan foto menarik dan minat yang sama di permukaan. "Echo" akan berbeda. Aplikasi ini akan menganalisis jejak digital seseorang: postingan media sosial, artikel yang dibaca, musik yang didengarkan, bahkan pola pengetikan. Semua data itu akan diolah menjadi profil psikologis yang akurat, lalu dicocokkan dengan profil lain untuk menemukan pasangan yang paling kompatibel.

Di tengah kesibukannya, Aira tak menyadari kehadiran seorang pemuda yang seringkali mencuri pandang padanya dari balik meja di kafe tempatnya bekerja. Namanya Reno, seorang barista yang diam-diam mengagumi kecerdasan dan dedikasi Aira. Reno bukan seorang programmer, ia lebih menyukai seni, aroma kopi, dan percakapan hangat. Ia adalah antitesis dari dunia digital yang Aira tekuni.

Suatu sore, ketika Aira sedang frustrasi dengan bug yang tak kunjung selesai, Reno memberanikan diri menghampirinya. "Butuh kopi lagi, Mbak Aira?" tanyanya dengan senyum ramah.

Aira mengangguk lesu. "Tolong yang paling pahit, Reno. Biar melek lagi."

Sambil menunggu kopi, Reno memberanikan diri bertanya, "Lagi sibuk banget ya? Bikin aplikasi apa?"

Aira menjelaskan tentang "Echo" dengan semangat yang tiba-tiba muncul. Ia menceritakan visinya tentang cinta yang berbasis data, tentang menemukan kecocokan sempurna melalui algoritma. Reno mendengarkan dengan seksama, sesekali mengangguk meskipun ia tak sepenuhnya mengerti.

"Kedengarannya... canggih," kata Reno akhirnya. "Tapi apa nggak menghilangkan unsur kejutan dan spontanitas dalam cinta?"

Aira mengerutkan kening. "Kejutan dan spontanitas seringkali berakhir dengan patah hati, Reno. Lebih baik tahu dari awal bahwa seseorang cocok dengan kita daripada buang-buang waktu untuk orang yang salah."

Percakapan itu berakhir dengan perbedaan pendapat. Aira kembali tenggelam dalam kode programnya, sementara Reno kembali ke balik mesin espresso. Namun, benih ketertarikan mulai tumbuh di antara mereka, meski dari arah yang berlawanan.

Minggu-minggu berlalu. Aira semakin larut dalam pengembangan "Echo". Aplikasi itu semakin pintar, algoritma semakin akurat. Ia bahkan mulai menguji coba aplikasinya sendiri, memasukkan data pribadinya dan mencari pasangan yang kompatibel. Hasilnya mengejutkan. Aplikasi itu terus-menerus merekomendasikan profil seseorang bernama… Reno.

Aira tertawa. Ini pasti kesalahan algoritma. Reno adalah seorang barista yang menyukai puisi dan kopi. Ia adalah programmer yang menyukai logika dan data. Mereka tidak mungkin cocok.

Namun, "Echo" terus-menerus memberikan rekomendasi yang sama. Aira akhirnya menyerah dan memutuskan untuk menelisik profil Reno yang dihasilkan oleh aplikasi itu. Ia terkejut. "Echo" menangkap hal-hal yang tak pernah ia sadari. Reno memiliki minat yang mendalam pada filsafat, ia sering membaca buku-buku tentang eksistensialisme dan makna hidup. Ia juga memiliki kemampuan untuk melihat dunia dari perspektif yang berbeda, sesuatu yang Aira seringkali abaikan.

Aira mulai memperhatikan Reno lebih saksama. Ia memperhatikan bagaimana Reno berinteraksi dengan pelanggan, bagaimana ia mendengarkan cerita mereka dengan penuh perhatian, bagaimana ia menciptakan secangkir kopi yang bukan hanya sekadar minuman, tapi juga sebuah karya seni. Ia mulai menyadari bahwa di balik kesederhanaan Reno, ada kedalaman dan kehangatan yang selama ini ia cari.

Suatu malam, setelah kafe tutup, Aira memberanikan diri mengajak Reno berbicara. "Reno, aplikasi yang sedang aku kembangkan, 'Echo', terus-menerus merekomendasikan profilmu untukku."

Reno tersenyum. "Aku tahu."

Aira terkejut. "Kamu tahu?"

"Aku memasukkan dataku ke 'Echo' juga," jawab Reno. "Aku penasaran apa yang akan direkomendasikan."

Aira terdiam. Ia tak tahu harus berkata apa.

Reno mendekat. "Aira, aku tahu kamu percaya pada data dan algoritma. Tapi aku percaya pada hal lain. Aku percaya pada koneksi manusia, pada percakapan yang berarti, pada tawa yang tulus. Aku percaya padamu."

Aira menatap mata Reno. Ia melihat kejujuran, kehangatan, dan harapan. Untuk pertama kalinya, ia melihat sesuatu yang tak bisa diukur dengan data, sesuatu yang tak bisa diprediksi oleh algoritma. Ia melihat cinta.

Aira tersenyum. "Mungkin... mungkin kamu benar. Mungkin ada hal-hal yang lebih penting daripada data."

Reno menggenggam tangan Aira. "Maukah kamu memberiku kesempatan untuk membuktikannya?"

Aira mengangguk.

Malam itu, Aira dan Reno berjalan pulang bersama. Mereka berbicara tentang mimpi, harapan, dan ketakutan mereka. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan saling mendengarkan. Aira menyadari bahwa ia telah menemukan sesuatu yang lebih berharga daripada kecocokan yang sempurna: sebuah hubungan yang tumbuh secara organik, sebuah cinta yang tidak terprediksi.

"Echo" mungkin bisa memprediksi kecocokan, tapi ia tak bisa menciptakan cinta. Cinta adalah lebih dari sekadar data. Cinta adalah tentang risiko, tentang vulnerabilitas, tentang menerima seseorang apa adanya.

Aira masih mengembangkan "Echo", tapi ia melakukannya dengan perspektif yang berbeda. Ia menyadari bahwa teknologi bisa menjadi alat untuk membantu kita menemukan cinta, tapi teknologi tidak bisa menggantikan peran hati dan intuisi. Jejak digital mungkin bisa memberikan petunjuk, tapi jejak hati yang akan membawa kita pulang.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI