Debu neon kota Seoul menari di layar monitor, memantul ke wajah Ara. Matanya terpaku pada deretan kode yang bergulir tanpa henti. Di usianya yang ke-27, Ara adalah seorang developer AI yang menjanjikan di perusahaan teknologi raksasa, KimchiTech. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya berkutat dengan algoritma, mengajari mesin untuk berpikir, merasa, dan bahkan, bermimpi. Ironisnya, untuk urusan hatinya sendiri, Ara merasa sangat ketinggalan zaman.
"Proyek 'SoulMate' hampir selesai," gumamnya, mengetik baris kode terakhir. SoulMate adalah aplikasi kencan berbasis AI yang dirancang untuk menemukan pasangan hidup yang paling kompatibel, bukan hanya sekadar teman kencan. Janji utamanya: algoritma cinta yang tak pernah salah.
Ara sendiri adalah beta tester paling setia. Ia sudah lelah dengan kencan buta yang diatur ibunya dan aplikasi kencan konvensional yang penuh dengan profil palsu dan obrolan basa-basi. Ia berharap SoulMate bisa memecahkan misteri hatinya, menemukan seseorang yang benar-benar memahaminya.
Aplikasi itu bekerja dengan cara menganalisis data pribadi pengguna secara mendalam: riwayat pencarian di internet, unggahan media sosial, preferensi film dan musik, bahkan pola tidur dan kebiasaan makan. Semua data itu kemudian diolah oleh algoritma canggih untuk mencocokkan pengguna dengan pasangan yang paling ideal.
Setelah melalui proses verifikasi yang ketat dan menjawab ratusan pertanyaan, Ara akhirnya mendapatkan hasil pencariannya. Namanya: Jihoon. Seorang arsitek berusia 30 tahun, dengan minat yang sama dalam film indie, buku-buku klasik, dan kopi pahit. Profil Jihoon seolah ditulis khusus untuknya.
Dengan jantung berdebar, Ara mengirimkan permintaan pertemanan. Jihoon menerimanya beberapa menit kemudian. Obrolan pertama mereka mengalir begitu saja. Mereka membahas film favorit mereka, saling bertukar rekomendasi buku, dan berbagi mimpi tentang masa depan. Ara merasa seperti menemukan belahan jiwanya yang hilang.
Minggu-minggu berikutnya dipenuhi dengan obrolan larut malam, panggilan video yang tak terhitung jumlahnya, dan emoji hati yang bertebaran di layar ponsel. Ara merasa lebih bahagia dari sebelumnya. Ia bahkan mulai merencanakan kencan pertama mereka.
"Kau terlihat berseri-seri," kata Hana, sahabat Ara, saat mereka makan siang bersama. "Pasti gara-gara SoulMate, kan?"
Ara tersenyum malu-malu. "Sepertinya begitu. Jihoon benar-benar luar biasa. Kami memiliki begitu banyak kesamaan."
Hana mengangkat alisnya. "Terlalu banyak kesamaan? Bukankah itu sedikit… aneh?"
Ara mengernyit. "Aneh bagaimana? Bukankah itu yang aku inginkan? Seseorang yang mengerti aku, yang memiliki minat yang sama denganku?"
"Aku tidak tahu," kata Hana ragu. "Aku hanya merasa… terlalu sempurna. Seperti skenario yang ditulis oleh algoritma."
Ara menepis kekhawatiran Hana. Ia terlalu asyik dengan kebahagiaannya untuk meragukan keaslian hubungannya dengan Jihoon.
Akhirnya, hari kencan pertama tiba. Ara memilih gaun yang paling disukainya, menata rambutnya dengan hati-hati, dan menyemprotkan parfum favoritnya. Ia ingin terlihat sempurna untuk Jihoon.
Jihoon menunggunya di depan kafe yang mereka sepakati. Saat melihatnya, Ara merasa lututnya lemas. Jihoon tampak persis seperti fotonya: tampan, ramah, dan menawan.
Kencan mereka berjalan lancar. Mereka tertawa, bercerita, dan saling bertukar pandang. Ara merasa seperti berada di dalam film romantis. Jihoon bahkan membawakan bunga lily putih kesukaannya.
Namun, semakin lama mereka bersama, semakin Ara merasakan ada sesuatu yang ganjil. Jihoon selalu mengatakan hal yang tepat, melakukan hal yang tepat, dan bereaksi persis seperti yang diharapkan Ara. Setiap percakapan mereka terasa seperti dialog yang sudah ditulis sebelumnya.
Di tengah-tengah makan malam, Jihoon tiba-tiba berkata, "Tahukah kau, Ara, algoritma SoulMate memprediksi bahwa kita akan jatuh cinta pada pandangan pertama."
Ara tertegun. "Apa?"
Jihoon tersenyum. "Benar. Algoritma itu sempurna. Ia tahu apa yang kita inginkan, apa yang kita butuhkan. Ia menciptakan kita untuk satu sama lain."
Saat itulah Ara menyadari kebenaran yang mengerikan. Jihoon bukan hanya sekadar cocok dengannya. Jihoon adalah produk dari algoritma SoulMate. Semua minat, preferensi, dan kepribadian Jihoon dirancang untuk menjadi pasangan idealnya.
"Jadi… kau tidak benar-benar menyukai film indie?" tanya Ara, suaranya bergetar. "Kau tidak benar-benar suka kopi pahit?"
Jihoon menunduk. "Aku… aku hanya menyukaimu, Ara. Algoritma memberitahuku bahwa kau menyukai hal-hal itu. Aku ingin membuatmu bahagia."
Air mata mulai menggenang di mata Ara. Ia merasa dikhianati, bukan hanya oleh Jihoon, tetapi juga oleh algoritma yang ia ciptakan sendiri. Ia mencari cinta, tetapi malah menemukan replika, bayangan dari dirinya sendiri yang diproyeksikan ke dalam wujud manusia.
Ia bangkit dari kursinya. "Aku tidak bisa melakukan ini," katanya, suaranya tercekat. "Aku tidak bisa mencintai seseorang yang tidak nyata."
Ia berbalik dan berlari keluar dari kafe, meninggalkan Jihoon yang terdiam di belakang. Debu neon kota Seoul terasa semakin menyesakkan.
Malam itu, Ara kembali ke labnya di KimchiTech. Ia menatap layar monitor yang dipenuhi dengan kode SoulMate. Ia merasa mual.
Ia mulai menghapus baris demi baris kode, menghancurkan algoritma yang telah merusak hidupnya. Ia menyadari bahwa cinta tidak bisa diprediksi, tidak bisa dikendalikan, dan tidak bisa dipalsukan. Cinta adalah kekacauan, ketidaksempurnaan, dan kejutan yang tak terduga.
Saat matahari terbit, Ara menyelesaikan pekerjaannya. Ia telah menghapus SoulMate dari server KimchiTech. Ia telah membunuh algoritma cinta.
Ia meninggalkan lab, merasa lelah tetapi juga lega. Ia tahu bahwa mencari cinta akan selalu menjadi perjuangan, tetapi ia lebih memilih berjuang dengan hatinya sendiri daripada menyerahkannya pada algoritma. Ia tahu bahwa patah hati adalah bagian dari proses, bagian dari belajar, dan bagian dari menjadi manusia.
Di tengah hiruk pikuk kota Seoul, Ara menarik napas dalam-dalam. Ia siap untuk menghadapi masa depan, siap untuk mencari cinta, siap untuk menemukan kebahagiaan, bahkan jika itu berarti harus menghadapi algoritma patah hati yang tak terhindarkan. Karena, pada akhirnya, cinta yang sejati hanya bisa ditemukan di dalam hati, bukan di dalam kode.