Cinta Terprogram: Saat Algoritma Jadi Mak Comblang Paling Canggih

Dipublikasikan pada: 31 May 2025 - 00:06:14 wib
Dibaca: 164 kali
Jemari Ardi menari di atas keyboard, mengetik baris demi baris kode. Cahaya biru dari layar laptop memantul di wajahnya yang serius. Di usianya yang ke-28, Ardi adalah seorang programmer jenius, tapi urusan cinta… ah, itu cerita lain. Ibunya seringkali berkeluh kesah tentang statusnya yang masih sendiri. Ardi sendiri bukannya tidak ingin, hanya saja baginya, menemukan pasangan terasa seperti memecahkan kode yang rumit dan membingungkan.

“Algoritma kencan online itu dangkal,” gumamnya sambil menyesap kopi pahit. “Hanya melihat foto dan bio singkat? Mana mungkin bisa menemukan kecocokan sejati?”

Kebosanan dan desakan ibunya akhirnya mendorongnya untuk melakukan sesuatu yang radikal. Ia memutuskan untuk menciptakan sendiri sebuah algoritma pencari jodoh. Bukan algoritma biasa, tentu saja. Algoritma ini akan menganalisis data dari berbagai sumber: riwayat media sosial, preferensi musik dan film, bahkan pola tidur dan kebiasaan makan. Tujuannya? Menemukan orang yang benar-benar cocok dengannya secara mendalam, bukan hanya berdasarkan kesamaan di permukaan.

Setelah berbulan-bulan begadang dan berjibaku dengan kode, lahirlah “Soulmate.AI”. Ardi memasukkan data dirinya secara lengkap dan jujur. Ia bahkan rela membeberkan kebiasaan buruknya yang kadang lupa membalas pesan teman. Soulmate.AI kemudian bekerja dengan kecepatan kilat, menyisir jutaan profil di internet, mengolah data, dan akhirnya…

Satu nama muncul di layar: Anya.

Anya adalah seorang arsitek lanskap berusia 27 tahun. Profilnya di Soulmate.AI menunjukkan kecintaan pada alam, minat yang sama dalam musik indie, dan – yang paling menarik bagi Ardi – kemampuan luar biasa dalam memecahkan teka-teki silang. Deskripsi algoritmanya menyebutkan bahwa Anya memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi dan selera humor yang sejalan dengan Ardi.

Ardi tertegun. Selama ini ia meragukan efektivitas kencan online, tapi Soulmate.AI memberikan harapan baru. Ia memberanikan diri mengirimkan pesan kepada Anya.

“Halo, Anya. Saya Ardi. Algoritma aneh yang saya buat sendiri mengatakan bahwa kita mungkin cocok. Maaf kalau ini terdengar konyol.”

Balasan datang tidak lama kemudian: “Konyol? Sedikit. Menarik? Sangat. Halo, Ardi. Saya Anya. Jadi, algoritma anehmu ini bisa menjamin kita berdua tidak akan bertengkar soal siapa yang lebih jago merawat tanaman kaktus?”

Percakapan mereka mengalir begitu saja. Mereka membahas banyak hal, dari filosofi desain lanskap hingga band indie favorit mereka. Ardi merasa nyaman berbicara dengan Anya, sesuatu yang jarang ia rasakan dengan orang lain. Mereka memutuskan untuk bertemu di sebuah kedai kopi yang tenang.

Saat Anya masuk ke kedai, jantung Ardi berdegup kencang. Ia lebih cantik dari fotonya. Matanya berbinar cerah dan senyumnya tulus. Mereka menghabiskan sore itu untuk berbicara, tertawa, dan saling mengenal lebih dalam. Ardi menyadari bahwa algoritma memang bisa menemukan kesamaan, tapi yang membuat hubungan istimewa adalah koneksi yang tumbuh secara organik.

“Algoritma itu hanya alat bantu,” kata Anya sambil menyesap kopi. “Yang penting adalah bagaimana kita berdua meresponsnya. Apakah kita mau membuka diri dan mencoba?”

Ardi mengangguk setuju. Ia menceritakan bagaimana ia menciptakan Soulmate.AI karena merasa kesulitan menemukan pasangan. Anya mendengarkan dengan penuh perhatian, tanpa menghakimi.

“Saya mengerti,” kata Anya. “Kadang kita butuh sedikit bantuan untuk keluar dari zona nyaman. Tapi ingat, cinta itu bukan sekadar data dan statistik. Cinta itu tentang perasaan, tentang keberanian untuk rentan, tentang menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing.”

Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan kencan, obrolan panjang, dan tawa. Ardi dan Anya menemukan banyak kesamaan, tapi juga perbedaan yang justru melengkapi mereka. Ardi belajar menghargai keindahan alam dari Anya, sementara Anya belajar mengagumi ketelitian dan logika Ardi. Mereka saling mendukung dalam mengejar mimpi dan saling menghibur saat menghadapi kesulitan.

Namun, sebuah masalah muncul. Teman-teman Ardi mulai mencibir hubungannya dengan Anya. Mereka menganggap bahwa cinta yang ditemukan oleh algoritma itu tidak otentik, palsu, dan tidak akan bertahan lama.

“Kamu yakin itu cinta sejati? Atau hanya hasil dari kalkulasi rumit?” tanya Bimo, sahabatnya.

Ardi merasa ragu. Apakah benar cintanya dengan Anya hanya hasil dari program komputer? Apakah ia hanya mencintai Anya karena algoritma menyuruhnya? Keraguan itu menghantuinya. Ia mulai menjauhi Anya, mencari alasan untuk tidak bertemu.

Anya merasakan perubahan sikap Ardi. Ia bertanya apa yang terjadi. Ardi dengan berat hati menceritakan keraguannya.

“Jadi, kamu meragukan cinta kita hanya karena orang lain meragukannya?” tanya Anya dengan nada kecewa.

Ardi terdiam. Ia tahu Anya benar. Ia terlalu mempedulikan pendapat orang lain dan melupakan apa yang ia rasakan.

“Maafkan aku, Anya,” kata Ardi. “Aku bodoh. Aku membiarkan keraguan orang lain menghancurkan apa yang kita miliki.”

Anya meraih tangan Ardi. “Dengarkan aku, Ardi. Aku tidak peduli bagaimana kita bertemu. Yang penting adalah apa yang kita rasakan sekarang. Aku mencintaimu, Ardi. Aku mencintai kecerdasanmu, kebaikanmu, dan bahkan keanehanmu. Dan aku tahu kamu juga mencintaiku.”

Ardi menatap mata Anya yang penuh cinta. Ia menyadari bahwa ia tidak bisa kehilangan Anya hanya karena keraguan yang tidak berdasar. Ia mencintai Anya, bukan karena algoritma, tapi karena Anya adalah Anya.

“Aku mencintaimu, Anya,” kata Ardi dengan tulus. “Aku mencintaimu lebih dari yang bisa dijelaskan oleh algoritma apa pun.”

Ardi dan Anya kembali bersama, lebih kuat dan lebih yakin dari sebelumnya. Mereka belajar untuk tidak mempedulikan pendapat orang lain dan fokus pada kebahagiaan mereka sendiri. Ardi bahkan mengubah Soulmate.AI, menambahkan fitur baru yang menekankan pentingnya intuisi dan perasaan dalam mencari cinta.

Beberapa tahun kemudian, Ardi dan Anya menikah. Mereka dikelilingi oleh keluarga dan teman-teman yang menyayangi mereka. Ardi menatap Anya yang berdiri di sampingnya, tersenyum bahagia. Ia menyadari bahwa algoritma memang bisa menjadi mak comblang yang canggih, tapi cinta sejati membutuhkan lebih dari sekadar kode dan data. Cinta sejati membutuhkan keberanian, kepercayaan, dan kemauan untuk membuka hati. Dan Ardi bersyukur bahwa ia telah menemukan cinta sejatinya bersama Anya, berkat bantuan sebuah algoritma aneh yang ia ciptakan sendiri. Cinta, ternyata, bisa diprogram, tapi kebahagiaan sejati datang dari melampaui program itu sendiri.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI