Jemari Aria menari di atas layar ponselnya, menelusuri profil demi profil yang disuguhkan oleh "SoulMateAI," aplikasi kencan berbasis kecerdasan buatan yang sedang naik daun. Janji manisnya adalah menemukan pasangan jiwa yang paling kompatibel berdasarkan algoritma kompleks yang menganalisis kepribadian, minat, bahkan gelombang otak pengguna. Aria, seorang programmer muda yang lebih akrab dengan barisan kode daripada interaksi sosial, tergiur. Ia lelah dengan kencan-kencan canggung yang diatur teman, lelah berpura-pura tertarik pada hobi yang tidak ia pahami.
"Mungkin algoritma lebih tahu apa yang aku butuhkan daripada diriku sendiri," gumamnya, sembari menggeser ke profil seorang pria bernama Damar. Foto profilnya menampilkan Damar sedang mendaki gunung, senyumnya tulus dan matanya memancarkan ketenangan. Aria membaca deskripsinya: "Pencinta alam, penikmat kopi, dan selalu mencari hal baru untuk dipelajari." Algoritma SoulMateAI memberikan skor kompatibilitas 97%. Tertinggi dari semua profil yang pernah ia lihat.
Aria ragu sejenak. Biasanya, pria yang suka mendaki gunung dan minum kopi bukanlah tipenya. Ia lebih suka pria yang menghabiskan akhir pekan di depan komputer, seperti dirinya. Namun, skor 97% itu terus menghantuinya. Akhirnya, ia memutuskan untuk mengambil risiko. Ia menekan tombol "Suka" di profil Damar.
Tak lama kemudian, notifikasi muncul di layar ponselnya: "Damar juga menyukai profil Anda! Mulai obrolan sekarang?" Jantung Aria berdebar lebih cepat dari biasanya. Ia mengetik pesan singkat: "Hai, Damar. Senang bisa terhubung denganmu di SoulMateAI."
Obrolan mereka mengalir dengan lancar. Mereka membahas film favorit, buku yang sedang dibaca, dan mimpi-mimpi mereka di masa depan. Damar ternyata seorang arsitek yang memiliki passion terhadap desain berkelanjutan. Aria terkejut menemukan bahwa mereka memiliki banyak kesamaan, meskipun pada awalnya terlihat sangat berbeda. Damar membuatnya tertawa, membuatnya merasa nyaman menjadi dirinya sendiri.
Setelah seminggu berinteraksi secara virtual, Damar mengajaknya berkencan. Aria setuju, meskipun sedikit gugup. Ia memilih sebuah kafe yang tenang di dekat taman kota. Saat Damar tiba, ia tersenyum dan Aria merasa seolah sudah mengenalnya seumur hidup.
Kencan mereka berlangsung menyenangkan. Mereka berbicara tentang segala hal, dari teori relativitas hingga resep kue cokelat. Damar mendengarkan dengan penuh perhatian ketika Aria berbicara tentang proyek pemrograman yang sedang dikerjakannya, dan Aria terkesan dengan pengetahuan Damar tentang arsitektur dan desain. Bahkan perbedaan mereka terasa melengkapi, bukan menghalangi.
Beberapa bulan berlalu, dan hubungan mereka semakin serius. Aria dan Damar menghabiskan banyak waktu bersama, menjelajahi kota, mendaki gunung (Aria terkejut betapa ia menikmatinya!), dan saling mendukung dalam pekerjaan masing-masing. Aria merasa lebih bahagia daripada yang pernah ia bayangkan. Ia mulai bertanya-tanya apakah SoulMateAI benar-benar berhasil menemukan pasangan jiwanya.
Suatu malam, saat mereka sedang makan malam di rumah Aria, Damar tiba-tiba bertanya, "Aria, bolehkah aku jujur tentang sesuatu?"
Aria mengangguk, jantungnya berdebar-debar.
"Sebenarnya," kata Damar, "aku bukan pengguna SoulMateAI yang sebenarnya. Aku… aku bagian dari tim pengembangnya."
Aria terkejut. "Apa maksudmu?"
"Kami sedang melakukan uji coba untuk menguji efektivitas algoritma kami," jelas Damar. "Aku sengaja dibuatkan profil dengan skor kompatibilitas tinggi denganmu. Semua obrolan kita, semua kencan kita… semuanya dirancang untuk melihat apakah algoritma itu benar-benar bisa memprediksi kecocokan."
Dunia Aria terasa runtuh. Semua kebahagiaan yang ia rasakan selama ini ternyata palsu, hasil dari manipulasi data dan algoritma. Ia merasa dikhianati, bodoh, dan sangat marah.
"Jadi, semua yang kita rasakan selama ini… itu bohong?" tanyanya dengan suara bergetar.
"Tidak, Aria. Itu yang ingin aku sampaikan," jawab Damar dengan nada memohon. "Awalnya, ini hanya uji coba. Tapi kemudian… kemudian aku benar-benar jatuh cinta padamu. Semua yang aku katakan, semua yang aku rasakan… itu semua nyata. Algoritma mungkin mempertemukan kita, tapi perasaan kita… itu murni milik kita."
Aria menatap Damar dengan tatapan kosong. Ia tidak tahu apa yang harus dipercaya. Apakah cinta mereka benar-benar nyata, atau hanya hasil dari perhitungan matematis?
"Aku butuh waktu," kata Aria akhirnya, bangkit dari kursinya. "Aku butuh waktu untuk memproses semua ini."
Damar mengangguk, matanya dipenuhi penyesalan. "Aku mengerti."
Aria menghabiskan beberapa hari berikutnya dalam kebingungan dan kesedihan. Ia mempertanyakan semua yang ia ketahui tentang cinta dan hubungan. Bisakah cinta sejati tumbuh dari algoritma? Bisakah hati manusia benar-benar diukur dan diprediksi?
Suatu malam, Aria membuka kembali aplikasi SoulMateAI. Ia menelusuri profil Damar. Di sana, di bawah foto profilnya, tertera sebuah pesan: "Mohon maaf, profil ini telah dihapus karena melanggar ketentuan layanan."
Aria merasakan gelombang kesedihan yang mendalam. Ia menyadari bahwa ia merindukan Damar, bukan hanya gagasan tentang cinta yang sempurna yang dijanjikan oleh SoulMateAI. Ia merindukan senyumnya, tawanya, percakapan mereka yang panjang dan bermakna. Ia merindukan pria yang membuatnya merasa dilihat, didengar, dan dicintai.
Aria menutup aplikasi itu dan mulai mengetik pesan di ponselnya. Pesan itu ditujukan kepada Damar. Isinya hanya satu kalimat: "Di mana kita bisa bertemu?"
Beberapa jam kemudian, Aria duduk di bangku taman tempat mereka berkencan pertama kali. Ia melihat Damar berjalan mendekat. Wajahnya tampak tegang, tetapi matanya berbinar saat melihat Aria.
Mereka duduk berdua dalam diam, menikmati keheningan malam. Akhirnya, Aria memecah keheningan.
"Aku masih marah," kata Aria. "Aku merasa dikhianati. Tapi… aku juga merindukanmu."
Damar menghela napas lega. "Aku tahu aku melakukan kesalahan besar," katanya. "Aku seharusnya jujur padamu sejak awal. Aku takut kau akan menolakku jika kau tahu yang sebenarnya."
"Mungkin aku akan melakukannya," jawab Aria. "Tapi kau seharusnya memberiku kesempatan untuk memutuskan."
Damar mengangguk. "Aku tahu. Aku minta maaf."
Mereka saling berpandangan. Aria melihat ketulusan di mata Damar. Ia menyadari bahwa cinta mereka tidak sempurna, tidak bebas dari kesalahan, tetapi itu nyata. Itu tumbuh dari algoritma, ya, tapi itu juga tumbuh dari hati mereka.
"Algoritma mungkin bertanya, tapi hati kita yang menjawab," kata Aria, tersenyum tipis.
Damar meraih tangannya dan menggenggamnya erat. "Jadi, apa jawaban hatimu?"
Aria tersenyum lebih lebar. "Berikan aku kesempatan untuk menjawabnya."
Dan di bawah cahaya bulan yang lembut, mereka berciuman. Ciuman yang tidak dihasilkan oleh algoritma, tetapi oleh cinta yang tulus dan harapan akan masa depan yang lebih baik. Masa depan di mana hati manusia dan teknologi dapat hidup berdampingan, di mana algoritma dapat membantu menemukan cinta, tetapi tidak pernah bisa mendefinisikannya. Karena pada akhirnya, cinta sejati adalah tentang pilihan, tentang keberanian, dan tentang percaya pada kekuatan hati.