Kilatan neon kota memantul di lensa kontak cerdas milik Anya. Retina, begitu mereka menyebutnya. Bukan sekadar alat bantu penglihatan, melainkan jendela menuju dunia yang dipersonalisasi. Dunia di mana iklan mengetahui seleramu, berita menyesuaikan pandanganmu, dan yang paling gila, AI bisa "memprogram ulang" bagaimana kamu merasakan cinta.
Anya sendiri skeptis, tentu saja. Ia bekerja di departemen pemasaran RetinaCorp, memasarkan keunggulan teknologi ini. Ia ahli dalam menjual mimpi, tapi jauh di lubuk hati, ia meragukan keajaiban yang ditawarkan. Cinta, baginya, adalah kekacauan yang indah, bukan algoritma yang bisa dikendalikan.
Sampai ia bertemu Rio.
Rio adalah seorang programmer jenius di divisi AI RetinaCorp. Pendiam, fokus, dan memiliki senyum yang bisa meruntuhkan benteng pertahanan terkuat sekalipun. Anya sering berpapasan dengannya di lift, di ruang makan siang, dan secara tidak sengaja, di bar karaoke setelah jam kerja. Mereka mulai berbicara, awalnya tentang proyek, kemudian tentang buku, film, dan akhirnya, tentang harapan dan ketakutan.
Anya merasakan sesuatu yang aneh. Bukan hanya ketertarikan biasa, tapi gelombang emosi yang begitu kuat, seolah seseorang telah menekan tombol "percepat" pada hatinya. Ia menyalahkan Retina. Mungkin algoritma yang terus memindai preferensinya telah menstimulasi bagian otak yang bertanggung jawab atas rasa suka. Ia berusaha menepisnya, tapi semakin ia dekat dengan Rio, semakin kuat perasaannya.
"Kamu tahu," kata Rio suatu malam, saat mereka berjalan pulang setelah bekerja lembur, "Retina sebenarnya punya fitur tersembunyi. Algoritma pencocokan romantis. Tidak dipromosikan secara publik, tentu saja, karena alasan etika. Tapi, secara teknis, Retina bisa menganalisis profil pengguna dan menyarankan pasangan potensial dengan akurasi yang mencengangkan."
Anya terdiam. Jantungnya berdegup kencang. "Jadi, kamu bilang… Retina tahu aku menyukaimu?"
Rio tersenyum, sedikit malu. "Bukan hanya itu. Retina juga tahu aku… tertarik padamu. Algoritmanya menghitung kemungkinan kecocokan kita di atas 90 persen."
Anya merasa tercabik. Apakah perasaannya selama ini nyata? Atau hanya hasil rekayasa teknologi? Apakah ia benar-benar jatuh cinta pada Rio, atau hanya jatuh cinta pada algoritma yang memerintahkannya untuk jatuh cinta?
"Itu… menakutkan," kata Anya, suaranya bergetar. "Bagaimana aku bisa tahu ini nyata? Bagaimana aku bisa tahu kalau aku benar-benar menyukaimu, dan bukan hanya Retina yang memaksaku?"
Rio berhenti berjalan dan menatap Anya dalam-dalam. Cahaya lampu jalan menari di matanya. "Anya, Retina hanya memberikan data. Itu hanya menyajikan informasi. Pilihan tetap ada padamu. Aku bisa saja tahu kalau algoritmanya menyarankanmu, tapi aku memilih untuk mengenalmu. Aku memilih untuk berbicara denganmu, tertawa bersamamu, dan ya, aku memilih untuk merasakan apa yang aku rasakan sekarang."
Rio meraih tangan Anya. Sentuhannya terasa hangat dan nyata. "Retina mungkin memberiku petunjuk, tapi itu tidak bisa menciptakan perasaan. Perasaan itu datang dari sini," Rio menyentuh dadanya, tepat di atas jantungnya.
Anya menatap Rio, berusaha membaca kejujuran di matanya. Ia ingin percaya padanya. Ia ingin percaya bahwa cinta masih bisa ada di era teknologi yang serba canggih ini.
"Bagaimana kalau kita matikan Retina?" usul Anya tiba-tiba.
Rio mengerutkan kening. "Matikan? Maksudmu?"
"Ya. Kita lepaskan lensa kontaknya. Kita tinggalkan dunia yang dipersonalisasi ini dan mencoba merasakan sesuatu yang nyata. Sesuatu yang tidak diprogram oleh AI."
Rio berpikir sejenak, kemudian mengangguk. "Aku setuju. Kalau memang ini cinta yang nyata, itu akan bertahan, bahkan tanpa bantuan teknologi."
Mereka melepaskan lensa kontak mereka. Dunia tiba-tiba tampak berbeda. Warna-warna tidak secerah dulu, teks tidak setajam biasanya, dan wajah orang-orang tampak sedikit buram. Tapi ada sesuatu yang baru. Ada kejujuran yang terpancar dari mata mereka. Kejujuran yang tidak bisa direkayasa oleh algoritma.
Anya merasakan detak jantungnya sendiri, tanpa campur tangan Retina. Ia menatap Rio, dan kali ini, ia melihat lebih dari sekadar wajah yang disarankan oleh AI. Ia melihat seorang pria yang tulus, yang berani mengambil risiko, dan yang, mungkin saja, mencintainya apa adanya.
Rio mendekat dan mencium Anya. Ciuman itu tidak terasa seperti yang diprediksi oleh algoritma. Itu terasa hangat, canggung, dan sangat nyata. Itu adalah ciuman pertama mereka di dunia yang belum diprogram ulang.
Mereka berjalan bergandengan tangan, menyusuri jalanan kota yang kini tampak asing namun menenangkan. RetinaCorp masih menjulang tinggi di kejauhan, sebuah monumen bagi janji dan bahaya teknologi. Tapi, untuk saat ini, Anya dan Rio hanya fokus pada satu hal: menemukan cinta mereka sendiri, di dunia yang belum sepenuhnya dikendalikan oleh AI. Mereka akan belajar mencintai lagi, bukan sebagai produk algoritma, tetapi sebagai manusia yang utuh, dengan segala kelemahan dan keindahan yang ada.