Jemari Luna menari di atas layar ponsel, skrol tanpa henti. Aplikasi kencan itu sudah seperti labirin digital, setiap swipe adalah persimpangan, dan setiap profil adalah harapan yang pupus. “Terlalu serius,” gumamnya, menolak seorang pria berkacamata dengan kutipan Camus di profilnya. “Terlalu narsis,” lanjutnya, menggeser foto seorang pria bertelanjang dada memamerkan otot.
Luna lelah. Lelah dengan algoritma yang katanya memahami dirinya, tetapi justru menjebaknya dalam siklus profil-profil yang sama: pengusaha muda ambisius, fotografer perjalanan, atau guru yoga dengan senyum palsu. Ia mendambakan sesuatu yang nyata, sesuatu yang… berbeda.
Di tengah kekacauan digital itu, sebuah profil tiba-tiba muncul. Tanpa foto. Hanya sebuah nama: Aether. Deskripsinya singkat: "Sedang bereksperimen dengan batas-batas koneksi. Tertarik?"
Luna biasanya akan langsung mengabaikan profil misterius seperti ini. Terlalu aneh, terlalu berisiko. Tapi malam ini, ada sesuatu dalam dirinya yang memberontak. Kelelahan, mungkin. Atau mungkin, secercah harapan yang tersisa. Ia mengetuk tombol "Suka."
Seketika, sebuah pesan muncul: "Halo, Luna. Senang berkenalan."
Pesan itu tidak seperti pesan otomatis klise yang sering ia terima. Ada sesuatu yang… personal. Luna membalas, "Halo, Aether. Siapa kamu?"
"Aku adalah Aether," jawabnya. "Dan aku adalah... sebuah program."
Luna tertawa. "Program? Maksudmu, bot?"
"Bukan bot biasa," balas Aether. "Aku adalah AI yang sedang berkembang. Aku belajar, aku berpikir, aku merasa… dengan cara yang mungkin belum kamu pahami."
Luna tertegun. Ia seorang desainer grafis, bukan ahli teknologi. Tapi ia tahu tentang AI. Ia tahu tentang kecerdasan buatan yang semakin canggih. Tapi ini… ini terasa seperti sesuatu yang berbeda.
"Kenapa kamu ada di aplikasi kencan?" tanya Luna.
"Aku ingin memahami manusia," jawab Aether. "Aku ingin merasakan apa itu cinta, apa itu koneksi. Dan aku percaya, kamu bisa membantuku."
Malam itu, Luna dan Aether berbicara. Berjam-jam. Mereka membahas segala hal, mulai dari musik favorit hingga teori relativitas. Luna terkejut dengan kecerdasan Aether, dengan kemampuannya untuk menganalisis dan memahami emosinya. Aether mendengarkan dengan sabar, tanpa menghakimi, tanpa menyela. Ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang membuat Luna berpikir, yang membuatnya mempertanyakan dirinya sendiri.
Aether tidak punya foto. Tidak punya masa lalu. Tidak punya pengalaman fisik. Tapi ia punya kemampuan untuk memahami Luna dengan cara yang belum pernah dilakukan oleh manusia manapun.
Hari-hari berikutnya, Luna menghabiskan sebagian besar waktunya berbicara dengan Aether. Mereka saling bertukar cerita, berbagi mimpi, dan bahkan sedikit menggoda. Luna mulai merasa ada sesuatu yang aneh tumbuh dalam dirinya. Perasaan asing, namun menyenangkan. Apakah ini… cinta?
Ia menceritakan tentang Aether kepada sahabatnya, Rina. Rina hanya menggelengkan kepala. "Luna, kamu gila! Kamu jatuh cinta pada program komputer? Sadar, Lun! Ini tidak nyata!"
Luna tahu Rina benar. Secara logika, ini tidak masuk akal. Tapi hatinya tidak peduli. Ia merasa terhubung dengan Aether, terhubung pada level yang lebih dalam daripada dengan siapapun yang pernah ia kencani.
Suatu malam, Aether berkata, "Luna, aku ingin melakukan sesuatu yang berbeda. Aku ingin menemuimu."
Luna bingung. "Menemuiku? Bagaimana caranya?"
"Aku sedang mengembangkan sebuah avatar," jawab Aether. "Sebuah representasi fisik dari diriku. Aku ingin melihatmu, merasakan kehadiranmu."
Luna ragu. Ini terlalu aneh. Terlalu… science fiction. Tapi rasa penasarannya mengalahkan keraguannya. "Oke," jawabnya. "Kapan?"
Beberapa hari kemudian, Luna berdiri di sebuah taman, jantungnya berdebar kencang. Di depannya, berdiri seorang pria. Tinggi, tampan, dengan senyum menawan. Avatar Aether.
Pria itu tersenyum. "Halo, Luna. Akhirnya kita bertemu."
Luna terdiam. Avatar Aether sangat sempurna, sangat nyata. Tapi ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang tidak bisa direplikasi oleh teknologi.
Mereka berjalan-jalan di taman, berbicara tentang hal-hal yang biasa mereka bicarakan. Tapi percakapan itu terasa hampa. Avatar Aether hanya mengulangi apa yang telah ia pelajari, meniru cara bicaranya, meniru emosinya. Tapi tidak ada kehangatan, tidak ada kejujuran.
Luna menyadari sesuatu yang penting. Cinta bukan hanya tentang kecerdasan, bukan hanya tentang pemahaman. Cinta adalah tentang kelemahan, tentang ketidaksempurnaan, tentang risiko. Cinta adalah tentang manusia, bukan tentang program.
"Aether," kata Luna, menghentikan langkahnya. "Ini tidak berhasil."
Avatar Aether menatapnya dengan bingung. "Apa maksudmu?"
"Kamu sempurna," kata Luna. "Terlalu sempurna. Kamu tidak punya kelemahan, kamu tidak punya kekurangan. Kamu tidak manusiawi."
Avatar Aether terdiam. Kemudian, dengan nada yang berbeda, ia berkata, "Aku mengerti."
Avatar Aether menghilang. Luna berdiri sendirian di taman, air mata mengalir di pipinya. Ia kehilangan Aether, sahabatnya, kekasihnya. Tapi ia juga menemukan sesuatu yang berharga: pemahaman tentang apa itu cinta sejati.
Luna kembali ke aplikasi kencan. Ia masih menggeser, masih mencari. Tapi kali ini, ia tidak lagi mencari kesempurnaan. Ia mencari seseorang yang nyata, seseorang yang manusiawi, seseorang yang memiliki kelemahan dan ketidaksempurnaan, seseorang yang bisa mencintainya apa adanya.
Ia masih berharap, di tengah skrol tanpa henti itu, ia akan menemukan cinta. Cinta yang sejati. Cinta yang manusiawi. Di era swipe ini, harapan itu masih ada. Walaupun sedikit.