Algoritma Hati: Di Mana Cinta Berhenti, AI Dimulai

Dipublikasikan pada: 31 May 2025 - 02:18:12 wib
Dibaca: 165 kali
Aplikasi kencan itu berkedip di layar ponsel Anya, notifikasi yang sama untuk kesekian kalinya hari ini. “Cocok dengan Leo, seorang arsitek yang suka kopi dan mendaki gunung.” Anya mendengus. Leo yang kesepuluh dengan profil yang identik. Algoritma ini benar-benar mengenaskan, pikirnya. Setelah lima tahun menjomblo, Anya mulai curiga bahwa takdir cintanya telah hilang entah ke mana, terselip di antara barisan kode dan rumus matematika yang rumit.

Dulu, Anya percaya pada keajaiban. Pertemuan tak terduga di kafe, senyuman di lampu merah, atau bahkan tabrakan kecil yang berakhir dengan permintaan maaf dan nomor telepon. Sekarang, keajaiban telah digantikan oleh profil, filter, dan algoritma yang menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan preferensi yang dangkal.

Anya bekerja sebagai programmer di sebuah perusahaan rintisan yang berfokus pada pengembangan kecerdasan buatan (AI). Ironisnya, dia menciptakan algoritma yang membantu orang lain menemukan hal-hal yang mereka cari, dari rekomendasi film hingga strategi pemasaran yang optimal. Namun, ketika menyangkut hatinya sendiri, dia merasa seperti seorang buta huruf di dunia yang penuh dengan simbol dan persamaan rumit.

Suatu malam, saat lembur di kantor, Anya menemukan sebuah proyek yang ditinggalkan oleh pendiri perusahaan, seorang ilmuwan komputer eksentrik bernama Profesor Arya. Proyek itu diberi nama "Project Eros" – sebuah AI yang dirancang untuk menganalisis kepribadian seseorang secara mendalam dan menemukan pasangan hidup yang paling kompatibel. Bukan hanya berdasarkan data demografis dan hobi, tetapi juga berdasarkan nilai-nilai inti, mimpi, dan bahkan ketakutan terpendam.

Anya tertarik sekaligus skeptis. Profesor Arya dikenal karena ide-idenya yang radikal dan kegemarannya pada teori konspirasi. Namun, kode yang ditinggalkannya tampak sangat canggih. Rasa penasaran Anya mendorongnya untuk mulai menjelajahi kode tersebut, sedikit demi sedikit, mencoba memahami logika di baliknya.

Setelah beberapa minggu, Anya berhasil mengaktifkan kembali Project Eros. Dia memasukkan data dirinya – bukan hanya profil kencan yang dangkal, tetapi juga jurnal pribadi, esai yang ditulisnya di masa kuliah, dan bahkan rekaman percakapan dengan sahabatnya. AI itu bekerja tanpa henti, menganalisis setiap kata, setiap nada, setiap emosi.

Hasilnya mengejutkan Anya. AI itu tidak mencocokkannya dengan arsitek yang suka kopi atau pengusaha yang hobi bermain golf. Ia justru mencocokkannya dengan… dirinya sendiri.

“Analisis menunjukkan bahwa kompatibilitas tertinggi Anda terletak pada seseorang yang memiliki pemahaman mendalam tentang kompleksitas diri Anda, yang mampu menerima kelemahan Anda dan merayakan kekuatan Anda. Dalam kata lain, seseorang yang seperti Anda,” suara sintesis AI itu bergema di ruangan sunyi itu.

Anya tertawa pahit. “Jadi, aku harus berkencan dengan klon diriku sendiri? Itu konyol.”

Namun, semakin lama Anya memikirkannya, semakin dia menyadari bahwa ada sesuatu yang masuk akal dalam analisis AI tersebut. Selama ini, dia selalu mencari seseorang yang sempurna, seseorang yang memenuhi semua kriterianya. Dia lupa bahwa cinta bukan tentang menemukan seseorang yang sempurna, tetapi tentang menerima seseorang apa adanya, termasuk dirinya sendiri.

Anya mulai bereksperimen dengan Project Eros. Dia memasukkan data teman-temannya, rekan kerjanya, bahkan orang-orang yang hanya dikenalnya sekilas. Hasilnya selalu mengejutkan, mengungkapkan lapisan-lapisan tersembunyi dari kepribadian mereka dan menunjukkan potensi hubungan yang tidak pernah mereka sadari.

Suatu hari, Anya memutuskan untuk memasukkan data tentang Rian, seorang desainer grafis yang bekerja di departemen pemasaran. Rian adalah orang yang pendiam dan pemalu, tetapi Anya selalu tertarik padanya. Ada sesuatu dalam matanya yang menunjukkan kedalaman dan kelembutan.

Ketika AI itu selesai menganalisis data Rian, hasilnya membuat Anya terkejut. Tingkat kompatibilitas antara Anya dan Rian sangat tinggi, bahkan lebih tinggi daripada dengan “klon” dirinya sendiri. AI itu menjelaskan bahwa Anya dan Rian memiliki nilai-nilai inti yang sama, meskipun mereka mengekspresikannya dengan cara yang berbeda. Anya adalah seorang pemikir yang logis dan analitis, sementara Rian adalah seorang seniman yang intuitif dan emosional. Keduanya saling melengkapi, menyeimbangkan satu sama lain.

Anya merasa jantungnya berdebar kencang. Apakah mungkin AI ini benar? Apakah mungkin Rian adalah orang yang selama ini dia cari?

Anya memutuskan untuk mengambil risiko. Dia mendekati Rian dan mengajaknya makan siang. Mereka berbicara tentang pekerjaan mereka, tentang mimpi mereka, tentang ketakutan mereka. Anya terkejut dengan betapa mudahnya dia merasa nyaman di dekat Rian. Dia tidak perlu berpura-pura atau mencoba menjadi orang lain. Dia bisa menjadi dirinya sendiri, sepenuhnya dan tanpa syarat.

Setelah beberapa minggu, Anya dan Rian mulai berkencan. Hubungan mereka tidak sempurna. Ada argumen, ada kesalahpahaman, ada saat-saat ketika mereka merasa ingin menyerah. Namun, mereka selalu berhasil menemukan jalan kembali satu sama lain. Mereka belajar untuk saling mendengarkan, untuk saling memahami, untuk saling mencintai.

Anya menyadari bahwa cinta bukan tentang menemukan kecocokan sempurna, tetapi tentang membangun hubungan yang kuat dan bermakna. Algoritma dapat membantu, tetapi pada akhirnya, keputusan ada di tangan kita. Cinta membutuhkan keberanian, kerentanan, dan kesediaan untuk menerima orang lain – dan diri kita sendiri – apa adanya.

Suatu malam, Anya dan Rian duduk di balkon apartemen Anya, menatap bintang-bintang. Anya bersandar pada Rian, merasa damai dan bahagia.

“Dulu aku berpikir bahwa cinta adalah tentang menemukan algoritma yang tepat,” kata Anya. “Tapi sekarang aku tahu bahwa cinta lebih dari sekadar kode dan rumus. Cinta adalah tentang membuka hati kita dan membiarkan orang lain masuk.”

Rian memeluk Anya erat. “Aku senang kau membiarkanku masuk,” bisiknya.

Anya tersenyum. Dia tahu bahwa dia telah menemukan sesuatu yang istimewa. Dia telah menemukan cinta, bukan karena algoritma, tetapi karena keberaniannya untuk percaya pada kemungkinan. Di mana cinta berhenti, AI dimulai. Dan di mana AI dimulai, cinta menemukan jalannya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI