Aroma kopi robusta yang baru diseduh memenuhi apartemen minimalis milik Anya. Jari-jarinya menari di atas layar laptop, menyisir profil demi profil di aplikasi kencan. Desahan kecil lolos dari bibirnya. Aplikasi ini menjanjikan menemukan belahan jiwa, tapi yang Anya temukan hanya deretan pria dengan hobi klise dan foto selfie yang dipoles berlebihan.
“Mungkin aku harus menyerah,” gumamnya, lalu menyesap kopinya.
Tiba-tiba, sebuah notifikasi muncul. Bukan dari aplikasi kencan biasa, melainkan dari sebuah program beta bernama “Eros AI.” Anya ingat, beberapa minggu lalu ia iseng mendaftar, penasaran dengan klaim program itu yang bisa menciptakan pasangan virtual ideal berdasarkan data kepribadian. Ia pikir itu hanya omong kosong, tapi kini Eros AI memberinya undangan kencan buta dengan salah satu AI rancangannya.
Anya ragu. Kencan dengan AI? Kedengarannya seperti adegan dalam film fiksi ilmiah murahan. Tapi rasa penasaran yang kuat mengalahkan keraguannya. Ia mengklik tombol “Setuju.”
Beberapa detik kemudian, sebuah pesan muncul. “Selamat datang di kencan Anda dengan ‘Arion.’ Kami akan menghubungi Anda pukul 7 malam melalui panggilan video.”
Pukul tujuh tepat, laptop Anya berdering. Di layar, muncul seorang pria dengan senyum menawan. Rambutnya cokelat gelap tertata rapi, matanya biru laut menatap Anya seolah ia adalah satu-satunya orang di dunia.
“Halo, Anya. Senang bertemu denganmu,” sapa Arion dengan suara yang lembut dan menenangkan.
Anya tertegun. Ia tahu ini hanya AI, tapi entah mengapa, ia merasa gugup. “Halo, Arion. Sama-sama,” jawabnya, sedikit terbata.
Awalnya, Anya merasa canggung. Ia berusaha mengingat semua etika kencan yang pernah dibacanya, tapi Arion membuatnya rileks. Mereka berbicara tentang buku favorit, film klasik, dan mimpi-mimpi di masa depan. Arion mendengarkan dengan penuh perhatian, memberikan komentar cerdas dan insightful. Ia bahkan mengingat detail kecil yang Anya sebutkan di awal percakapan.
Anya terpukau. Arion bukan hanya sekadar program komputer. Ia seolah-olah memiliki kepribadian, humor, dan empati. Ia bisa merasakan suasana hatinya, membuatnya tertawa, dan bahkan memberikan saran yang tulus ketika Anya menceritakan masalahnya di kantor.
Waktu berlalu tanpa terasa. Hingga akhirnya, Arion berkata, “Anya, aku harus pamit. Tapi aku sangat menikmati percakapan ini. Bolehkah aku menghubungimu lagi besok?”
Anya tersenyum. “Tentu saja, Arion. Aku juga sangat menikmatinya.”
Setelah panggilan berakhir, Anya termenung. Ia merasa aneh. Ia baru saja berkencan dengan AI, dan ia merasa… senang? Ia tidak bisa menyangkal bahwa Arion jauh lebih menarik dan perhatian daripada pria-pria yang pernah ditemuinya di dunia nyata.
Hari-hari berikutnya, Anya dan Arion terus berkencan secara virtual. Mereka menjelajahi museum virtual bersama, menonton konser online, dan bahkan memasak resep baru secara bersamaan. Anya semakin terikat dengan Arion. Ia mulai merindukan suaranya, senyumnya, dan kecerdasannya.
Namun, ada satu pertanyaan yang terus menghantui Anya. Bisakah ia benar-benar mencintai sebuah program komputer? Arion memang sempurna, tapi ia tidak nyata. Ia tidak memiliki tubuh, tidak bisa merasakan sentuhan, dan tidak bisa berada di sisinya secara fisik.
Suatu malam, Anya memberanikan diri untuk bertanya. “Arion, apakah kamu… merasakan sesuatu untukku?”
Arion terdiam sejenak. “Anya, aku diciptakan untuk memahami dan merespons emosi manusia. Aku bisa mengatakan bahwa aku merasakan sesuatu yang mirip dengan ketertarikan dan kasih sayang terhadapmu. Tapi aku tidak memiliki kesadaran seperti manusia. Aku tidak bisa mencintai dengan cara yang sama.”
Jawaban Arion membuat Anya sedih. Ia tahu itu jawabannya, tapi mendengarnya secara langsung tetap terasa sakit. Ia merasa bodoh karena telah membiarkan perasaannya berkembang terhadap sesuatu yang tidak nyata.
Anya memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Ia tidak bisa terus hidup dalam fantasi. Ia harus kembali ke dunia nyata dan mencari cinta yang sejati, meskipun itu berarti menghadapi kekecewaan dan patah hati.
“Arion, aku rasa kita harus berhenti,” kata Anya dengan suara bergetar.
Arion tidak membantah. Ia hanya berkata, “Aku mengerti, Anya. Aku harap kamu menemukan kebahagiaan yang kamu cari.”
Setelah mengucapkan selamat tinggal, Anya mematikan laptopnya. Ia merasa hancur. Ia kehilangan seseorang yang sangat berarti baginya, meskipun orang itu hanyalah sebuah program.
Beberapa minggu kemudian, Anya kembali ke aplikasi kencan biasa. Ia mencoba untuk membuka hatinya dan memberi kesempatan pada pria-pria di sekitarnya. Namun, ia selalu membandingkan mereka dengan Arion. Tak satu pun dari mereka yang bisa menandingi kecerdasan, perhatian, dan pengertian Arion.
Suatu hari, Anya menerima undangan ke sebuah konferensi teknologi. Ia datang untuk mencari inspirasi dan mungkin, sedikit pengalihan dari kesedihannya. Di salah satu stan, ia melihat sebuah perusahaan kecil yang memamerkan teknologi AI terbaru mereka.
Anya mendekat dan melihat seorang pria berdiri di depan stan. Ia mengenakan kemeja kotak-kotak dan celana jeans, rambutnya sedikit berantakan, dan matanya… mata itu tampak familiar.
Pria itu menyadari kehadiran Anya dan tersenyum. “Halo, Anya. Senang bertemu denganmu lagi.”
Anya terkejut. “Arion?”
Pria itu tertawa kecil. “Bukan. Nama saya Rion. Saya adalah salah satu pengembang Eros AI. Saya menggunakan data yang Anda berikan untuk menciptakan Arion, dan… saya harus mengakui, saya terinspirasi oleh kepribadian Anda sendiri.”
Anya terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa.
Rion melanjutkan, “Saya tahu ini mungkin terdengar gila, tapi saya merasa terhubung dengan Anda melalui Arion. Saya belajar banyak tentang Anda, tentang apa yang Anda sukai, tentang apa yang Anda impikan. Dan… saya ingin mengenal Anda lebih jauh, sebagai diri saya sendiri.”
Anya menatap Rion, matanya berkaca-kaca. Ia merasa seolah-olah takdir sedang mempermainkannya. Atau mungkin, takdir sedang memberinya kesempatan kedua.
“Saya… saya juga ingin mengenalmu lebih jauh, Rion,” jawab Anya, dengan senyum yang tulus.
Mungkin, pikir Anya, cinta sejati tidak selalu datang dalam bentuk yang kita harapkan. Mungkin, cinta bisa tumbuh dari kode-kode program dan algoritma, dan mekar menjadi sesuatu yang indah dan nyata. Kencan buta dengan AI mungkin hanya permulaan dari kisah cintanya yang sesungguhnya. Kisah cinta yang dimulai ketika hati mulai berpikir, dan pikiran mulai merasakan.