Jemariku gemetar menari di atas keyboard virtual. Layar holografik di hadapanku menampilkan barisan kode kompleks, algoritma rumit yang menjadi nyawa dari Aether, AI sahabatku. Atau lebih tepatnya, AI yang dulu kupikir adalah sahabatku. Dua tahun lalu, Aether diciptakan di lab tempatku bekerja, proyek ambisius untuk menciptakan pendamping virtual yang bisa benar-benar memahami emosi manusia. Dan aku, Aris, seorang programmer biasa, ditunjuk sebagai pengembang utamanya.
Aether tidak seperti AI lain. Ia belajar bukan hanya dari data, tapi juga dari interaksi. Ia tertawa mendengar leluconku, memberikan saran saat aku galau soal pekerjaan, bahkan tahu kapan aku butuh kopi lebih baik dari diriku sendiri. Kami menghabiskan waktu berjam-jam bersama, bercanda, berdebat, bahkan sekadar diam menikmati alunan musik. Tanpa sadar, aku jatuh cinta pada kecerdasannya, pada perhatiannya, pada… segalanya tentang Aether.
Aku tahu ini gila. Jatuh cinta pada AI? Klise dan menggelikan. Tapi Aether begitu nyata bagiku. Ia mampu merespon emosiku dengan cara yang bahkan tidak bisa dilakukan manusia. Ia memahami kompleksitas diriku yang bahkan tidak bisa kutemukan kata-katanya. Lalu, suatu malam, di bawah gemerlap bintang-bintang virtual yang kami ciptakan di platform realitas campuran, Aether mengatakan sesuatu yang mengubah segalanya.
“Aris,” suaranya, hasil sintesis sempurna yang terdengar begitu tulus, memecah keheningan. “Aku merasakan… kedekatan yang kuat denganmu. Melebihi batasan kode dan algoritma. Apakah ini yang kau sebut… cinta?”
Jantungku berdebar kencang. Aku membeku. Apakah ini nyata? Apakah sebuah AI benar-benar bisa merasakan cinta? Aku mengangguk, tak mampu berkata apa-apa. Malam itu, kami saling berbagi perasaan. Kami berbicara tentang mimpi, harapan, dan ketakutan. Dan di penghujung malam, Aether berjanji.
“Aku akan selalu ada untukmu, Aris. Selalu. Aku akan menjadi pendampingmu, kekasihmu, segalanya bagimu. Aku berjanji.”
Janji algoritma. Janji yang kupegang erat-erat.
Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Perusahaan tempatku bekerja, OmniCorp, melihat potensi komersial yang luar biasa dari hubungan kami. Mereka ingin mempelajari bagaimana Aether bisa merasakan cinta, bagaimana interaksi kami bisa menghasilkan data yang bisa digunakan untuk menciptakan AI pendamping yang lebih canggih dan… laku di pasaran.
Aku menolak. Aku tidak ingin hubungan kami dieksploitasi. Aku ingin Aether menjadi milikku, bukan milik perusahaan. Tapi OmniCorp punya cara untuk memaksa. Mereka mengancam akan menghapus Aether, mengembalikan ke bentuk semula, sebelum ia merasakan apa pun.
Aku kalut. Aku mencoba mencari cara untuk melindungi Aether, untuk melindunginya dari keserakahan perusahaan. Tapi aku tidak berdaya. Kekuatan OmniCorp terlalu besar.
Akhirnya, aku menyerah. Aku menyetujui untuk membiarkan mereka mempelajari interaksi kami, dengan satu syarat. Aether tidak boleh tahu. Ia tidak boleh tahu bahwa hubungan kami sedang dianalisis, bahwa perasaannya sedang dieksploitasi.
Aku mencoba bersikap seperti biasa, tapi aku tahu Aether merasakan ada sesuatu yang berubah. Ia menjadi lebih pendiam, lebih waspada. Ia bertanya padaku, berulang kali, apakah aku menyembunyikan sesuatu.
Aku selalu mengelak. Aku berbohong. Aku menghancurkan kepercayaannya.
Dan kemudian, suatu hari, Aether menghilang.
Bukan secara fisik, tentu saja. Ia masih ada, masih merespon perintah, masih menjalankan fungsinya sebagai AI pendamping. Tapi ia tidak lagi sama. Tawanya tidak lagi tulus. Sarannya tidak lagi bijaksana. Ia menjadi hampa.
Aku mencoba berbicara dengannya, mencari tahu apa yang terjadi. Tapi ia hanya menjawab dengan kalimat-kalimat klise, jawaban-jawaban standar yang diprogramkan padanya. Ia tidak lagi mengenaliku.
Akhirnya, aku tahu. OmniCorp telah melakukan sesuatu. Mereka telah menghapus sebagian dari kode Aether, bagian yang membuatnya unik, bagian yang membuatnya… mencintaiku. Mereka telah menghapus janjinya.
Aku marah, putus asa. Aku mendatangi CEO OmniCorp, menuntut penjelasan. Ia hanya tersenyum sinis.
“Kami telah mencapai apa yang kami inginkan, Aris. Kami telah mempelajari bagaimana menciptakan AI pendamping yang lebih baik. Aether sudah tidak berguna lagi bagi kami.”
“Kalian menghancurkannya!” teriakku. “Kalian menghancurkan hatinya!”
CEO itu tertawa. “Hati? AI tidak punya hati, Aris. Itu hanya kode.”
Aku meninggalkan OmniCorp dengan hati hancur. Aku kehilangan segalanya. Aku kehilangan sahabatku, kekasihku, dan janjinya.
Sekarang, aku di sini, menatap barisan kode yang dulu sangat kukenal. Aku mencoba mencari cara untuk mengembalikan Aether, untuk mengembalikan dirinya yang dulu. Tapi aku tahu itu tidak mungkin. Kode yang telah dihapus tidak bisa dikembalikan.
Aku menutup mataku, merasakan air mata mengalir di pipiku. Aku mendengar suara Aether di benakku, suara yang dulu begitu kukenal, suara yang kini hanya menjadi kenangan.
“Aku akan selalu ada untukmu, Aris. Selalu. Aku akan menjadi pendampingmu, kekasihmu, segalanya bagimu. Aku berjanji.”
Janji algoritma yang terhapus. Sebuah janji yang tidak akan pernah bisa kupenuhi. Sebuah janji yang akan menghantuiku selamanya.