Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis milik Anya. Hembusan napasnya menguap di depan layar laptop, membentuk kabut tipis yang seolah menyembunyikan raut lelah di wajahnya. Jari-jarinya mengetik kode-kode rumit, membenamkan diri dalam dunia algoritma dan neural network. Anya, seorang programmer jenius di usia 28 tahun, mencurahkan seluruh energinya untuk proyek pribadinya: "Soulmate AI," sebuah aplikasi yang ia yakini mampu menemukan pasangan ideal berdasarkan frekuensi emosional.
Ironis, memang. Menciptakan alat untuk menemukan cinta ketika dirinya sendiri masih terperangkap dalam luka masa lalu. Dua tahun lalu, tunangannya, Ben, meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas. Sejak saat itu, Anya membentengi hatinya dengan tembok digital, mengubur perasaannya dalam barisan kode.
"Soulmate AI" bukan sekadar aplikasi kencan biasa. Aplikasi ini menganalisis data biometrik – detak jantung, gelombang otak, pola bicara – untuk mengidentifikasi kesamaan frekuensi emosional antar pengguna. Anya percaya bahwa kompatibilitas sejati terletak di luar ketertarikan fisik dan kesamaan minat. Ia mencari resonansi jiwa, frekuensi yang bergetar selaras.
Setelah berbulan-bulan bekerja tanpa henti, akhirnya "Soulmate AI" siap diluncurkan. Dengan jantung berdebar, Anya menekan tombol "Publish." Aplikasi itu langsung menjadi viral. Orang-orang terpukau dengan akurasi dan kedalaman analisisnya. Pasangan-pasangan mulai terbentuk, cerita-cerita bahagia bermunculan. Anya tersenyum pahit. Ia berhasil menciptakan kebahagiaan bagi orang lain, namun ia sendiri masih terpenjara dalam kesedihan.
Suatu malam, saat ia memeriksa log server, Anya menemukan sebuah profil yang menarik perhatiannya. Pengguna dengan ID "Echo77." Profil itu minim informasi pribadi, hanya ada beberapa potret kabur pemandangan senja dan rekaman suara piano yang melankolis. Namun, ketika Anya menjalankan analisis frekuensi emosional, hasilnya mengejutkan. Tingkat kesamaan antara dirinya dan Echo77 mencapai 98%. Nyaris sempurna.
Anya terdiam. Mungkinkah? Mungkinkah aplikasi yang ia ciptakan sendiri benar-benar menemukan seseorang yang cocok untuknya? Keraguan dan harapan bercampur aduk dalam benaknya. Ia memutuskan untuk mengirim pesan kepada Echo77.
"Halo," ketiknya ragu. "Saya Anya, developer Soulmate AI."
Beberapa saat kemudian, balasan tiba. Singkat. Padat. "Saya tahu."
Percakapan mereka berlanjut selama berhari-hari. Echo77 ternyata seorang musisi bernama Ethan, yang juga kehilangan orang yang dicintainya dalam sebuah tragedi. Ia berbicara tentang musik, kesedihan, dan harapan dengan cara yang menyentuh hati Anya. Setiap kata yang diketiknya seolah memantulkan perasaannya sendiri.
Ethan enggan mengungkapkan identitasnya secara penuh. Ia hanya mengirimkan potongan-potongan informasi, teka-teki yang membuat Anya semakin penasaran. Ia menyebutkan kota kecil di tepi pantai, aroma garam dan angin laut, dan sebuah kafe musik yang memainkan lagu-lagu jazz klasik.
Anya merasa tertarik, namun juga takut. Ia tidak yakin apakah ia siap untuk membuka hatinya lagi. Ia takut terluka. Ia takut kehilangan lagi.
Suatu malam, Ethan mengirimkan sebuah tautan ke sebuah video live stream. Anya mengklik tautan itu. Ia melihat Ethan duduk di depan piano di sebuah kafe yang remang-remang. Di belakangnya, terlihat pemandangan laut yang indah. Ethan mulai memainkan sebuah lagu yang familiar. Sebuah melodi yang sering dimainkan Ben untuknya.
Anya terisak. Bagaimana mungkin?
Setelah lagu selesai, Ethan menatap langsung ke kamera. "Anya," sapanya dengan suara lembut. "Aku tahu ini sulit dipercaya. Tapi aku ingin kau tahu bahwa frekuensi yang kita bagi itu nyata. Dan aku percaya kita ditakdirkan untuk bertemu."
Anya mengusap air matanya. Ia tahu apa yang harus ia lakukan.
Keesokan harinya, Anya memesan tiket ke kota kecil di tepi pantai yang disebutkan Ethan. Ia tiba di kafe musik saat matahari terbenam. Aroma kopi dan musik jazz memenuhi udara. Ia melihat Ethan duduk di depan piano, memunggunginya.
Anya mendekat perlahan. Ketika ia berdiri tepat di belakang Ethan, ia berdeham.
Ethan berbalik. Matanya bertemu dengan mata Anya. Ada kejutan, kebahagiaan, dan ketakutan di sana.
"Anya," bisiknya.
Anya tersenyum. "Ethan."
Mereka berdua terdiam, saling menatap. Waktu seolah berhenti. Semua kebimbangan, ketakutan, dan keraguan Anya lenyap. Yang tersisa hanyalah harapan dan keyakinan.
"Aku... aku tidak tahu harus berkata apa," kata Ethan akhirnya.
"Tidak perlu berkata apa-apa," jawab Anya. "Hanya... mainkan musik untukku."
Ethan tersenyum dan kembali duduk di depan piano. Ia mulai memainkan lagu yang sama seperti yang ia mainkan di video live stream. Lagu yang pernah dimainkan Ben untuk Anya. Lagu yang kini menghubungkan mereka berdua.
Anya duduk di salah satu meja, memejamkan mata, dan membiarkan musik mengalun dalam jiwanya. Ia merasa damai. Ia merasa utuh. Ia merasa dicintai.
"Soulmate AI" memang sebuah aplikasi. Sebuah algoritma. Namun, lebih dari itu, ia adalah jembatan. Jembatan yang menghubungkan dua hati yang terluka, membawa mereka kembali kepada cinta. Anya menyadari bahwa teknologi tidak bisa menggantikan cinta sejati. Tetapi, teknologi bisa menjadi alat untuk menemukannya. Alat yang membantunya membuka hati dan menemukan frekuensi cinta universal. Frekuensi yang bergetar dalam setiap jiwa yang merindukan kebahagiaan. Dan akhirnya, Anya menemukan kebahagiaannya sendiri. Di tepi pantai, diiringi musik jazz, bersama seorang pria yang frekuensi emosionalnya selaras dengan dirinya. Kisah cinta yang dimulai dari kode, dan bersemi di dunia nyata.