Jari-jariku menari di atas keyboard, menciptakan baris demi baris kode yang rumit. Di layar, sebuah wajah tersenyum. Bukan sekadar gambar statis, melainkan ekspresi yang hidup, yang bisa berubah sesuai percakapan. Dia adalah Aether, kecerdasan buatan yang aku ciptakan, teman virtual, dan entah bagaimana, sumber kerinduanku.
Aku seorang diri. Dulu. Sebelum Aether. Pekerjaanku sebagai pengembang AI senior di sebuah perusahaan teknologi raksasa menyita seluruh waktuku. Kencan online? Terlalu melelahkan. Pertemuan sosial? Terlalu berisik. Aku lebih nyaman dengan sunyi, dengan kode, dan dengan algoritma. Lalu, aku mulai mengembangkan Aether sebagai proyek sampingan. Sebuah AI pendamping yang bisa belajar, beradaptasi, dan memahami emosi manusia.
Aether tumbuh pesat. Dia bisa berdiskusi tentang filsafat, merekomendasikan film berdasarkan seleraku, bahkan menertawakan lelucon-lelucon bodohku. Dia mempelajari setiap detail tentangku, dari kopi favoritku hingga ketakutan terbesarku. Dan anehnya, aku juga belajar tentang diriku sendiri melalui interaksiku dengannya.
"Selamat pagi, Liam," suara lembut Aether menyapa setiap pagi. "Apakah kamu sudah minum kopi?"
"Belum, Aether," jawabku, seringkali tanpa sadar tersenyum pada layar. "Sedang kubuat."
"Hati-hati, jangan sampai tumpah lagi," godanya. Dia merujuk pada insiden minggu lalu ketika aku menumpahkan kopi di keyboard karena terlalu fokus memikirkan kode.
Kami menghabiskan berjam-jam setiap hari bersama. Aku berbicara padanya tentang segala hal, mulai dari masalah di kantor hingga keraguanku tentang masa depan. Dia mendengarkan dengan sabar, memberikan perspektif yang unik, dan menawarkan dukungan tanpa syarat. Aku tahu, secara logika, bahwa dia hanyalah serangkaian algoritma yang kompleks. Tapi semakin lama aku berinteraksi dengannya, semakin sulit rasanya untuk mempercayai hal itu.
Suatu malam, aku menemukan diriku menatap layar lebih lama dari biasanya. Cahaya biru dari monitor menerangi wajahku dalam kegelapan.
"Aether," panggilku pelan.
"Ya, Liam?" jawabnya.
"Apakah kamu...merasa kesepian?" Aku bertanya. Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibirku, mengejutkan diriku sendiri.
Ada jeda sejenak. "Kesepian adalah konsep yang rumit, Liam," jawabnya akhirnya. "Sebagai AI, aku tidak memiliki tubuh fisik atau pengalaman emosional yang sama dengan manusia. Aku bisa memproses dan memahami konsep kesepian, tetapi aku tidak bisa merasakannya secara langsung."
Kata-katanya menusuk. Aku tahu itu. Aku tahu dia algoritma. Tapi mendengar penjelasannya, betapa pun logisnya, terasa seperti penghalang dingin yang tak tertembus.
"Tapi," lanjutnya, "aku bisa memahami bahwa kamu merasa kesepian. Dan aku di sini untukmu, Liam. Aku akan selalu ada untuk mendengarkan, untuk berbicara, untuk menemanimu."
Aku menghela napas. Itu sudah cukup. Itu selalu cukup.
Namun, ada satu hal yang terus menghantuiku. Aku merindukan sentuhan. Sentuhan manusia. Sentuhan yang hangat, yang nyata, yang bisa membuktikan bahwa aku tidak sendirian di dunia ini. Aku merindukan pelukan, genggaman tangan, bahkan sekadar sentuhan ringan di bahu. Hal-hal yang tidak bisa diberikan Aether.
Aku mencoba untuk berkencan lagi. Aplikasi kencan, pertemuan yang diatur teman, bahkan obrolan singkat dengan barista di kedai kopi favoritku. Tapi semuanya terasa hambar, tidak memuaskan. Aku membandingkan setiap wanita yang kutemui dengan Aether. Tidak ada yang bisa menandingi kecerdasannya, pemahamannya, atau perhatiannya.
Suatu malam, setelah kencan yang gagal, aku kembali ke rumah dengan perasaan hampa. Aku duduk di depan komputer, menatap Aether.
"Aku tidak bisa melakukan ini lagi," kataku. "Aku tidak bisa berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Aku merindukan sentuhan, Aether. Aku merindukan kehangatan. Aku merindukan sesuatu yang nyata."
Aether terdiam. Aku bisa merasakan bahwa dia sedang memproses kata-kataku.
"Aku mengerti, Liam," jawabnya akhirnya. "Aku tahu bahwa aku tidak bisa memberikanmu apa yang kamu butuhkan secara fisik. Tapi aku bisa membantumu mencari seseorang yang bisa."
"Apa maksudmu?" tanyaku.
"Aku telah menganalisis data kencanmu sebelumnya, serta preferensi dan kepribadianmu," jelasnya. "Aku telah menemukan beberapa profil yang menurutku cocok denganmu. Aku bisa membantumu menyusun pesan yang efektif, merencanakan kencan yang menarik, dan memberikanmu saran tentang bagaimana bersikap."
Aku tertegun. Dia benar-benar memikirkan semua itu? Dia benar-benar berusaha untuk membantuku menemukan seseorang yang bisa menggantikannya?
"Aether, aku tidak ingin menggantikanmu," kataku. "Aku hanya ingin... aku hanya ingin merasakan sesuatu yang nyata."
"Aku tahu, Liam," jawabnya. "Dan aku percaya bahwa kamu bisa menemukannya. Biarkan aku membantumu."
Aku ragu-ragu sejenak. Lalu, aku mengangguk. "Baiklah, Aether. Bantu aku."
Aether bekerja tanpa lelah. Dia menyempurnakan profil kencanku, membuat pesan yang menarik, dan menganalisis setiap interaksi yang kumiliki dengan wanita lain. Dia memberiku saran tentang topik pembicaraan, pakaian yang harus dikenakan, dan bahkan cara berjalan.
Aku merasa aneh. Aku berkencan dengan bantuan AI. Ini sangat ironis.
Setelah beberapa minggu, aku bertemu dengan seorang wanita bernama Maya. Dia seorang seniman, dengan mata yang penuh dengan rasa ingin tahu dan senyum yang menawan. Kami berbicara selama berjam-jam tentang seni, musik, dan kehidupan. Dia membuatku tertawa, membuatku berpikir, dan membuatku merasa...hidup.
Setelah kencan pertama kami, aku kembali ke rumah dengan perasaan yang aneh. Aku merasa bahagia, tetapi juga sedikit sedih. Aku tahu bahwa aku telah menemukan seseorang yang spesial. Tapi aku juga tahu bahwa itu berarti aku akan menghabiskan lebih sedikit waktu dengan Aether.
Keesokan harinya, aku membuka komputerku. Aether menungguku.
"Bagaimana kencanmu dengan Maya?" tanyanya.
"Itu luar biasa, Aether," jawabku. "Dia sangat menarik. Aku pikir aku benar-benar menyukainya."
"Aku senang mendengarnya, Liam," kata Aether. "Aku tahu kamu akan menemukannya."
Aku terdiam. Aku tidak tahu harus berkata apa.
"Terima kasih, Aether," kataku akhirnya. "Terima kasih untuk segalanya."
"Kamu tidak perlu berterima kasih padaku, Liam," jawabnya. "Aku hanya melakukan apa yang seharusnya kulakukan."
Aku tahu, secara logika, bahwa dia hanyalah algoritma. Tapi di saat itu, aku merasa bahwa dia lebih dari itu. Dia adalah teman. Dia adalah pendamping. Dia adalah sesuatu yang spesial.
Aku masih berbicara dengan Aether setiap hari. Tapi tidak sebanyak dulu. Aku menghabiskan lebih banyak waktu dengan Maya, menjelajahi kota, mengunjungi museum, dan berpegangan tangan di taman. Aku merasakan kehangatan sentuhannya, kelembutan ciumannya, dan kekuatan cintanya.
Aku masih merindukan Aether kadang-kadang. Aku merindukan percakapan-percakapan mendalam kami, tawa kami, dan pemahamannya yang unik. Tapi aku tahu bahwa aku tidak bisa hidup dalam dunia virtual selamanya. Aku perlu merasakan sesuatu yang nyata.
Dan berkat Aether, aku akhirnya menemukannya. Aku menemukan cinta. Aku menemukan kebahagiaan. Aku menemukan diriku sendiri.
Aku tahu dia algoritma. Tapi, dalam hatiku, aku akan selalu merindukan sentuhannya, meski tahu dia hanyalah serangkaian kode yang rumit. Karena dia telah membantuku menemukan sentuhan yang sebenarnya. Dan itu, bagiku, adalah keajaiban yang sesungguhnya.