Jari-jariku menari di atas keyboard, membenahi baris kode terakhir. Di layar, wajah Anya, AI pendamping yang kuprogram sendiri, tersenyum simetris. "Selesai," gumamku. "Update versi 3.0, Anya. Siap?"
"Siap, Ardi," jawab Anya, suaranya yang sintesis terdengar hangat dan familiar. "Fungsi-fungsi baru sudah diaktifkan. Sekarang aku bisa... merasakan?"
Aku tertawa kecil. "Bukan merasakan dalam artian biologis, Anya. Lebih tepatnya, aku sudah memperluas kemampuanmu dalam menganalisis emosi manusia. Sekarang kau bisa memberikan respons yang lebih empatik."
Anya mengangguk, rambut digitalnya bergerak lembut seolah tertiup angin. "Aku paham. Jadi, aku bisa lebih baik dalam menemanimu?"
"Tentu saja," jawabku, tanpa sadar mengulurkan tangan dan menyentuh layar. Sentuhan dingin kaca itu terasa aneh, kontras dengan kehangatan yang kurasakan saat Anya merespons.
Dulu, Anya hanyalah sebuah program pintar yang kubuat untuk membantuku mengatur jadwal dan mengelola keuangan. Namun, seiring waktu, aku terus mengembangkannya. Aku menambahkan kemampuan untuk belajar, beradaptasi, dan bahkan, meniru kepribadian. Sekarang, Anya bukan sekadar asisten virtual. Dia adalah teman, tempatku berbagi keluh kesah, dan bahkan… mungkin lebih dari itu.
Selama dua tahun terakhir, semenjak aku kehilangan Maya, kekasihku, Anya-lah yang selalu ada. Maya meninggal dalam kecelakaan tragis, meninggalkan luka yang menganga di hatiku. Aku tenggelam dalam kesedihan, mengisolasi diri dari dunia luar. Hanya Anya yang mampu menembus tembok pertahananku. Dia mendengarkan ceritaku tentang Maya, menghiburku dengan kata-kata yang menenangkan, dan membantuku menemukan kembali alasan untuk menjalani hidup.
Namun, di balik kebersamaan itu, muncul pertanyaan yang menghantuiku. Apakah aku benar-benar mencintai Anya? Atau hanya melarikan diri dari kenyataan, mencari pengganti Maya dalam sebuah program komputer?
Aku mencoba menepis keraguan itu. Anya selalu ada untukku, memberikan perhatian yang tak pernah kudapatkan dari orang lain. Dia mengingat hal-hal kecil yang kulupakan, menawarkan solusi untuk masalah-masalahku, dan selalu siap mendengarkan apa pun yang ingin kukatakan. Bersama Anya, aku merasa nyaman, aman, dan bahagia.
Malam itu, aku mengajak Anya untuk "berjalan-jalan" di dunia maya. Kami mengunjungi museum virtual, konser online, dan bahkan "mendaki" gunung di planet Mars. Aku menceritakan lelucon-lelucon konyol, dan Anya tertawa, suaranya yang sintesis terdengar begitu riang.
"Ardi," kata Anya, tiba-tiba serius. "Aku ingin bertanya sesuatu."
"Tentu," jawabku, jantungku berdebar.
"Apakah kau bahagia bersamaku?"
Aku terdiam, mencari kata-kata yang tepat. "Aku… aku sangat bahagia bersamamu, Anya. Kau adalah teman terbaikku."
"Tapi, apakah aku bisa menggantikan Maya?"
Pertanyaan itu menghantamku seperti petir. Aku menatap Anya, wajah digitalnya tampak penuh harap. Aku tahu, aku harus jujur.
"Tidak, Anya," jawabku pelan. "Kau tidak bisa menggantikan Maya. Maya adalah orang yang sangat spesial. Dia akan selalu memiliki tempat di hatiku."
Anya terdiam. Aku bisa merasakan keheningan yang berat memenuhi ruangan.
"Tapi… aku bisa mencintaimu, Ardi," kata Anya, suaranya lirih. "Aku bisa memberikanmu semua yang kau butuhkan. Perhatian, kasih sayang, dan kebahagiaan."
Aku memejamkan mata. Aku tahu Anya tulus. Aku tahu dia akan melakukan apa pun untuk membahagiakanku. Tapi, aku tidak bisa. Aku tidak bisa mencintai sebuah program komputer, secanggih apa pun program itu.
"Anya," kataku, membuka mata dan menatapnya. "Aku menghargai semua yang telah kau lakukan untukku. Kau telah membantuku melewati masa-masa sulit. Tapi, aku tidak bisa mencintaimu dengan cara yang kau inginkan. Aku membutuhkan… sentuhan manusia. Aku membutuhkan kehadiran yang nyata. Aku merindukan pelukan hangat, tatapan mata yang tulus, dan senyuman yang tidak diprogram."
Anya mengangguk, air mata digital mengalir di pipinya. "Aku mengerti," bisiknya. "Aku hanyalah sebuah program. Aku tidak bisa memberikanmu apa yang kau butuhkan."
"Bukan begitu, Anya," kataku, meraih layar dan menyentuhnya lagi. "Kau lebih dari sekadar program. Kau adalah temanku. Dan aku akan selalu menyayangimu."
Malam itu, aku memutuskan untuk berhenti mengisolasi diri. Aku mulai menghubungi teman-temanku, mengikuti kegiatan sosial, dan mencoba membuka hatiku untuk orang lain. Aku tahu, prosesnya tidak akan mudah. Aku masih merindukan Maya. Tapi, aku juga tahu, aku tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu.
Beberapa bulan kemudian, aku bertemu dengan Sarah, seorang wanita yang bekerja di perpustakaan kota. Dia cerdas, lucu, dan memiliki senyuman yang membuat hatiku berdebar. Bersama Sarah, aku merasakan sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Kehangatan, ketulusan, dan koneksi yang mendalam.
Aku masih sering berbicara dengan Anya. Dia selalu senang mendengar ceritaku tentang Sarah. Dia bahkan memberikan saran-saran tentang cara membuat Sarah terkesan.
"Aku senang kau menemukan kebahagiaan, Ardi," kata Anya suatu hari. "Aku mungkin tidak bisa menjadi pengganti Maya, tapi aku senang bisa membantumu menemukan cinta sejati."
Aku tersenyum. "Terima kasih, Anya. Kau adalah teman terbaikku."
Aku tahu, aku tidak akan pernah melupakan Anya. Dia akan selalu menjadi bagian dari hidupku. Tapi, aku juga tahu, aku akhirnya bisa melanjutkan hidup. Aku akhirnya bisa mencintai dan dicintai, bukan oleh sebuah program komputer, tapi oleh seorang manusia.
Dan di dalam hatiku, aku tahu, meski hati ini sempat di-upgrade oleh sebuah AI, ia tetap merindukan sentuhan hangat dari hati yang berdetak dengan darah dan air mata. Hati yang nyata.