Kilau layar monitor memantulkan cahaya biru ke wajah Ara. Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard, kode-kode rumit tersusun rapi bagai notasi simfoni. Ia sedang memfinalisasi 'AmorAI', sebuah algoritma revolusioner yang dirancangnya selama dua tahun terakhir. Bukan sekadar aplikasi kencan biasa, AmorAI berjanji untuk memprediksi kompatibilitas emosional dan – yang paling ambisius – meminimalkan potensi patah hati.
Ara menghela napas. Ia tahu, klaim itu terdengar bombastis, bahkan naif. Tapi ia yakin, dengan data yang cukup, pola bisa dikenali. Ekspresi wajah, nada bicara, riwayat media sosial, bahkan preferensi musik dan film, semuanya diolah menjadi jutaan titik data yang kemudian dianalisis oleh algoritma kompleks. AmorAI akan mencari kecocokan, potensi konflik, dan celah-celah rapuh yang bisa berujung pada kehancuran sebuah hubungan.
“Gila, Ara. Lo serius mau launching ini?” Suara Reno, sahabat sekaligus rekan kerjanya, membuyarkan konsentrasi Ara. Reno berdiri di ambang pintu, cangkir kopi mengepul di tangannya.
Ara mengangguk, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. “Serius banget. Bayangin, Ren, berapa banyak orang bisa diselamatkan dari sakit hati yang nggak perlu.”
Reno mendengus. “Diselamatkan dari sakit hati? Ara, lo kedengeran kayak robot. Cinta itu kan esensinya ya sakit hati. Tanpa sakit hati, nggak ada pendalaman, nggak ada pertumbuhan.”
“Omong kosong,” balas Ara, sengit. “Sakit hati itu cuma buang-buang waktu dan energi. Kita bisa fokus ke hal-hal yang lebih produktif kalau nggak sibuk nangisin mantan.”
Reno menggelengkan kepalanya. “Lo ngomong gini karena belum pernah ngerasain jatuh cinta, kan? Lo terlalu sibuk ngoding sampai lupa kalau hidup itu bukan cuma soal algoritma dan data.”
Ara terdiam. Ucapan Reno menohoknya. Memang benar, ia belum pernah benar-benar jatuh cinta. Hidupnya didedikasikan untuk coding, logika, dan efisiensi. Cinta, baginya, adalah sebuah variabel yang terlalu kompleks dan irasional untuk dipahami.
Namun, di balik sikap dinginnya, tersembunyi sebuah kerinduan. Ia ingin merasakan kehangatan, koneksi, dan euforia yang sering diceritakan orang-orang. Ia hanya tidak tahu bagaimana caranya. Mungkin itu sebabnya ia menciptakan AmorAI – sebagai pengganti, sebagai cara untuk memahami sesuatu yang terlalu abstrak baginya.
Minggu peluncuran AmorAI tiba. Aplikasi itu langsung meledak di pasaran. Jutaan orang mengunduh dan mulai mencari pasangan ideal mereka. Testimoni positif berdatangan. Orang-orang memuji akurasi prediksinya, kemampuannya dalam mengidentifikasi red flags, dan bantuannya dalam menemukan hubungan yang langgeng.
Ara merasa puas. Ia berhasil menciptakan sesuatu yang bermanfaat, yang benar-benar membantu orang lain. Tapi di balik kesuksesan itu, ada sesuatu yang hilang. Ia masih merasa hampa, sepi.
Suatu malam, saat sedang memeriksa data pengguna, Ara menemukan profil yang menarik perhatiannya. Namanya, Elan. Fotografer lepas, suka mendaki gunung, dan punya selera humor yang absurd. Algoritma AmorAI menunjukkan tingkat kecocokan yang tinggi antara Ara dan Elan.
Ara tertegun. Haruskah ia mencoba? Mungkinkah AmorAI benar-benar bisa memprediksi cinta, bahkan untuk penciptanya sendiri?
Dengan ragu, Ara mengirimkan pesan kepada Elan. Mereka mulai chatting, lalu berlanjut ke panggilan video. Elan ternyata orang yang menyenangkan, cerdas, dan penuh semangat. Ia membuat Ara tertawa, membuatnya merasa nyaman menjadi dirinya sendiri.
Setelah beberapa minggu, mereka memutuskan untuk bertemu. Kencan pertama mereka berjalan lancar. Mereka berbicara tentang banyak hal, mulai dari algoritma hingga arti kehidupan. Ara merasa ada koneksi yang kuat di antara mereka, sesuatu yang lebih dari sekadar data dan prediksi.
Beberapa bulan berlalu. Ara dan Elan semakin dekat. Mereka menjelajahi kota bersama, mendaki gunung, dan berbagi cerita tentang masa lalu mereka. Ara merasa bahagia, lebih bahagia dari yang pernah ia bayangkan. Ia mulai memahami apa yang dimaksud Reno dengan "pertumbuhan" dan "pendalaman."
Namun, di tengah kebahagiaan itu, muncul keraguan. Apakah cintanya pada Elan benar-benar tulus, atau hanya hasil dari perhitungan algoritma? Apakah ia benar-benar mencintai Elan, atau hanya mencintai gagasan tentang mencintai yang diprediksi oleh AmorAI?
Suatu malam, saat sedang duduk berdua di taman, Ara memutuskan untuk jujur kepada Elan. Ia menceritakan tentang AmorAI, tentang obsesinya pada data dan logika, tentang keraguannya pada perasaannya sendiri.
Elan mendengarkan dengan sabar, tanpa memotongnya. Setelah Ara selesai berbicara, Elan tersenyum.
"Ara," katanya lembut, "gue nggak peduli sama algoritma lo. Gue nggak peduli sama prediksi dan data. Gue suka sama lo karena lo itu lo. Karena lo pinter, karena lo kaku, karena lo punya passion yang besar sama apa yang lo kerjain."
"Tapi... bagaimana kalau algoritma itu salah?" tanya Ara, cemas. "Bagaimana kalau kita sebenarnya nggak cocok?"
Elan meraih tangan Ara, menggenggamnya erat. "Ara, cinta itu bukan soal kecocokan. Cinta itu soal pilihan. Kita memilih untuk saling mencintai, untuk saling menerima, untuk saling mendukung. Algoritma nggak bisa memprediksi itu. Yang bisa memprediksi itu cuma hati kita sendiri."
Ara menatap mata Elan. Ia melihat kejujuran, cinta, dan keyakinan. Ia akhirnya mengerti. AmorAI mungkin bisa memprediksi potensi kompatibilitas, tapi tidak bisa memprediksi cinta yang sebenarnya. Cinta adalah sesuatu yang lebih kompleks, lebih misterius, dan lebih indah dari sekadar angka dan kode.
Ara membalas genggaman tangan Elan. Ia tersenyum, tulus dan bahagia. Ia tidak lagi meragukan perasaannya. Ia mencintai Elan, bukan karena algoritma, tapi karena pilihannya sendiri.
Malam itu, Ara memutuskan untuk menghapus AmorAI dari ponselnya. Ia tidak lagi membutuhkan algoritma untuk memprediksi rasa sakit cinta. Ia siap menghadapi segala kemungkinan, dengan hati terbuka dan penuh cinta. Karena ia tahu, cinta sejati bukan tentang menghindari rasa sakit, tapi tentang menghadapi segala hal bersama-sama.