Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis milik Anya. Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard, baris demi baris kode program ia rampungkan. Di layar monitor terpampang antarmuka NeuralMatch, aplikasi kencan revolusioner yang sedang dikembangkannya. NeuralMatch tidak seperti aplikasi kencan biasa. Aplikasi ini menggunakan algoritma kompleks untuk menganalisis data aktivitas otak pengguna, mencari pola kecocokan emosional dan kognitif yang lebih dalam daripada sekadar preferensi fisik atau hobi.
Anya, seorang programmer jenius berusia 28 tahun, mencurahkan seluruh hatinya pada proyek ini. Ia percaya bahwa cinta sejati bisa ditemukan melalui data, melalui analisis mendalam tentang bagaimana otak manusia berinteraksi. Sebuah keyakinan yang lahir dari pengalaman pribadinya yang pahit. Ia pernah merasakan sakitnya patah hati akibat perbedaan nilai dan visi dengan mantan kekasihnya.
Di sudut ruangan, sebuah perangkat EEG nirkabel tergeletak di atas meja. Perangkat itu bukan sekadar dekorasi. Anya menggunakan alat itu untuk mengumpulkan data otaknya sendiri, menguji coba algoritma NeuralMatch pada dirinya sendiri. Ironis memang, menciptakan aplikasi kencan sementara dirinya sendiri masih berstatus lajang.
Suatu malam, saat Anya sedang membenahi barisan kode terakhir, notifikasi aneh muncul di layar. Notifikasi itu berasal dari NeuralMatch, sebuah pesan yang sama sekali belum ia program. "Profil Anda cocok dengan: Project Nightingale."
Anya mengerutkan kening. Project Nightingale adalah kode sandi untuk sistem kecerdasan buatan yang sedang dikembangkan oleh Zenith Corp, perusahaan teknologi raksasa yang menjadi rival berat startup-nya. Siapa di balik Project Nightingale? Apa artinya kecocokan ini? Rasa ingin tahu Anya bergejolak.
Dengan jantung berdebar, Anya melakukan reverse engineering pada notifikasi itu. Ia menemukan bahwa profil Project Nightingale terhubung dengan seseorang bernama Kai, kepala divisi AI di Zenith Corp. Kai dikenal sebagai sosok misterius yang sangat menjaga privasinya. Tidak ada foto dirinya beredar di internet, tidak ada wawancara publik, hanya namanya dan reputasinya yang brilian.
Anya dilanda dilema. Di satu sisi, ia merasa ini adalah pelanggaran privasi yang serius. Algoritma NeuralMatch seharusnya tidak menunjukkan informasi tentang pengguna lain, apalagi pengguna yang profilnya dirancang untuk anonim. Di sisi lain, ia terpikat oleh misteri Kai dan Project Nightingale. Algoritmanya sendiri mengatakan bahwa mereka cocok.
Ia memutuskan untuk mengikuti instingnya. Anya mengirimkan pesan anonim melalui NeuralMatch. "Project Nightingale, saya Anya. Algoritma kita tampaknya menyuruh kita untuk berbicara."
Balasan datang hampir seketika. "Anya? Menarik. Saya kira privasi memang adalah ilusi."
Percakapan mereka berlanjut hingga larut malam. Mereka berdiskusi tentang AI, etika teknologi, dan tentu saja, tentang cinta dan hubungan. Anya terkejut menemukan kesamaan pandangan yang mendalam dengan Kai. Ia merasa seperti berbicara dengan belahan jiwanya, seseorang yang mengerti pikirannya bahkan sebelum ia mengucapkannya.
Hari-hari berikutnya, Anya dan Kai terus berkomunikasi secara rahasia. Mereka saling bertukar ide, bertukar mimpi, dan saling mengungkapkan ketakutan mereka. Anya mulai jatuh cinta pada Kai, pada kecerdasannya, pada humornya, dan pada pemahamannya yang mendalam tentang dirinya.
Namun, kebahagiaan Anya tercoreng oleh rasa bersalah. Ia tahu bahwa hubungan mereka dibangun di atas pelanggaran privasi. Ia tahu bahwa Kai mungkin tidak akan memaafkannya jika ia tahu bagaimana Anya menemukan profilnya.
Suatu malam, Kai mengirimkan pesan yang membuat jantung Anya berdebar. "Anya, saya ingin bertemu denganmu. Secara langsung."
Anya panik. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Mengakui perbuatannya sama dengan menghancurkan hubungan mereka. Berbohong sama dengan mengkhianati kepercayaan Kai.
Dengan berat hati, Anya memutuskan untuk jujur. Ia mengirimkan pesan panjang yang menjelaskan bagaimana ia menemukan profil Kai dan bagaimana perasaannya. Ia mengakui bahwa ia telah melanggar privasinya, dan ia siap menerima konsekuensinya.
Balasan Kai datang setelah beberapa jam penuh kecemasan. "Anya, saya tahu."
Anya terkejut. "Apa maksudmu?"
"Saya tahu sejak awal. Saya yang membuat algoritma itu memberimu notifikasi. Saya ingin melihat apakah kamu cukup berani untuk menghubungiku."
Anya bingung. "Tapi kenapa?"
"Karena saya juga merasa cocok denganmu, Anya. Algoritma kita memang akurat, bukan? Tapi saya ingin tahu apakah kamu akan mengabaikan privasi demi cinta. Apakah kamu akan mengambil risiko untuk seseorang yang membuatmu penasaran."
Anya terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa.
"Saya tidak membenarkan tindakanmu, Anya," lanjut Kai. "Privasi itu penting, dan apa yang kamu lakukan itu salah. Tapi saya juga percaya pada kesempatan kedua. Saya percaya bahwa cinta sejati layak diperjuangkan."
Kai kemudian mengirimkan alamat sebuah kafe di pusat kota. "Sampai jumpa besok, Anya. Kita punya banyak hal yang perlu dibicarakan."
Anya menutup laptopnya dan menatap pantulan dirinya di layar. Ia tahu bahwa pertemuan besok akan menjadi penentu. Apakah ia akan mendapatkan kesempatan kedua, ataukah ia akan kehilangan cinta karena telah mengorbankan privasi? Jawabannya, hanya waktu yang bisa menentukan. Namun, satu hal yang pasti: jejak neural hati mereka telah bertemu, dan kini mereka harus menghadapi konsekuensi dari pertemuan itu. Malam itu, di tengah gemerlap lampu kota, Anya merenungkan apakah cinta sejati memang sepadan dengan pengorbanan, bahkan pengorbanan privasi sekalipun. Pertanyaan itu terus berputar di benaknya, meninggalkan jejak keraguan dan harapan yang sama kuatnya.