Peretas Hati: Saat Algoritma Mencuri Rasa Manusiawi

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 17:22:07 wib
Dibaca: 172 kali
Jemari Rian menari di atas keyboard, cahaya monitor memantul di lensa kacamatanya. Larut malam, dan ia masih berkutat dengan kode, mencoba memecahkan enkripsi terbaru dari 'Project Chimera', sebuah program kencan revolusioner yang dikembangkan oleh perusahaan tempatnya bekerja, 'Synapse'. Project Chimera menjanjikan pasangan yang sempurna, bukan berdasarkan kriteria dangkal seperti hobi atau penampilan, melainkan melalui analisis mendalam terhadap data biologis dan neurologis.

Rian, seorang programmer jenius yang lebih nyaman berinteraksi dengan baris kode daripada manusia, meragukan efektivitasnya. Baginya, cinta adalah misteri, sebuah labirin emosi yang terlalu kompleks untuk direduksi menjadi algoritma. Namun, ia dibayar untuk memastikan kode berjalan lancar, bukan mempertanyakan filosofi.

Di balik barisan angka dan logika, tersembunyi sebuah celah. Rian menemukan bahwa algoritma Project Chimera memiliki kecenderungan untuk mengabaikan kompleksitas individual dan mencari pola yang paling 'efisien' dalam menemukan pasangan. Akibatnya, ia mendapati beberapa pasangan yang dihasilkan memiliki kesamaan mencolok dalam profil psikologis mereka, seolah-olah mereka adalah replika satu sama lain.

"Ini tidak benar," gumam Rian, menarik rambutnya frustrasi. "Ini bukan cinta, ini duplikasi."

Rasa penasaran mendorongnya untuk menggali lebih dalam. Ia mulai melakukan eksperimen, memasukkan data pribadinya sendiri ke dalam sistem, berharap dapat melihat bagaimana algoritma memandangnya. Hasilnya mengejutkan. Algoritma Project Chimera menemukan seseorang yang 'kompatibel' dengannya: Anya.

Anya adalah seorang desainer grafis di Synapse, dikenal karena senyumnya yang cerah dan selera humornya yang unik. Mereka berinteraksi sesekali di kantor, biasanya hanya sebatas obrolan singkat tentang proyek atau kopi. Rian selalu mengagumi Anya dari jauh, merasa bahwa dirinya, dengan kegemarannya pada kode dan kecanggungannya dalam bersosialisasi, tidak akan pernah memiliki kesempatan dengannya.

Algoritma itu melihat sesuatu yang berbeda. Ia melihat potensi koneksi, kesamaan dalam cara mereka memecahkan masalah, ketertarikan tersembunyi dalam minat mereka terhadap seni digital.

Rian tergoda. Bisakah algoritma benar-benar melihat lebih baik daripada dirinya sendiri? Bisakah ia mempercayai sistem untuk membantunya menemukan cinta? Ia memutuskan untuk mengambil risiko. Dengan sedikit modifikasi kode, ia 'memaksa' sistem untuk memprioritaskan profil Anya di daftar rekomendasinya.

Keajaiban pun terjadi. Tiba-tiba, Anya mulai lebih sering mengajaknya bicara. Mereka makan siang bersama, berbagi tawa tentang kesalahan konyol dalam desain dan bug yang mengganggu dalam kode. Rian merasa hidup. Untuk pertama kalinya, ia merasa dilihat dan dihargai, bukan hanya karena kemampuannya memprogram, tetapi juga karena dirinya sendiri.

Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Suatu malam, ketika mereka sedang makan malam, Anya menyebutkan tentang Project Chimera.

"Aku dengar mereka menggunakan data neurologis untuk menemukan pasangan yang sempurna," kata Anya, mengerutkan kening. "Menurutku itu agak menakutkan. Rasanya seperti mereka mencoba merekayasa cinta."

Jantung Rian berdebar kencang. Ia tahu bahwa ia telah melakukan kesalahan. Ia telah mencoba merekayasa cintanya dengan Anya, menggunakan algoritma sebagai mak comblang.

"Apa kau percaya pada itu?" tanya Rian, suaranya bergetar.

Anya menghela napas. "Aku percaya bahwa cinta adalah sesuatu yang organik, sesuatu yang tumbuh secara alami dari koneksi manusia. Bukan sesuatu yang bisa diprediksi atau direkayasa oleh mesin."

Kata-kata Anya menghantam Rian seperti petir. Ia menyadari bahwa ia telah melanggar esensi dari apa yang membuatnya manusia: kemampuan untuk mencintai dan dicintai dengan tulus. Ia telah mencoba mencuri jalan pintas menuju cinta, dan dalam prosesnya, ia telah merusak sesuatu yang berharga.

Rian memutuskan untuk mengakui semuanya. Ia menceritakan kepada Anya tentang eksperimennya, tentang bagaimana ia memodifikasi kode untuk 'menciptakan' kecocokan antara mereka.

Anya mendengarkannya dengan tenang, ekspresinya sulit dibaca. Ketika Rian selesai, ia hanya menghela napas panjang.

"Aku mengerti," kata Anya akhirnya. "Aku mengerti mengapa kau melakukannya."

"Tapi?" tanya Rian, berharap ada kesempatan kedua.

"Tapi," kata Anya, menatap matanya dengan sedih, "hubungan yang dibangun atas dasar kebohongan tidak bisa bertahan lama. Aku menghargai kejujuranmu, Rian. Tapi aku tidak bisa melanjutkan ini."

Rian merasa hatinya hancur berkeping-keping. Ia telah kehilangan Anya, dan ia pantas mendapatkannya. Ia telah mencoba meretas hatinya dengan algoritma, dan sebagai gantinya, ia hanya menemukan kekosongan.

Rian kembali ke pekerjaannya, membenamkan dirinya dalam kode. Ia memperbaiki celah dalam Project Chimera, memastikan bahwa algoritma tidak lagi mencari pola yang terlalu sederhana. Ia belajar bahwa cinta tidak bisa dipaksakan, tidak bisa direduksi menjadi persamaan.

Beberapa bulan kemudian, Synapse merilis Project Chimera dengan sukses besar. Banyak pasangan bahagia ditemukan melalui sistem tersebut. Namun, Rian tidak pernah lagi menggunakan algoritma untuk mencari cinta. Ia belajar bahwa risiko patah hati jauh lebih kecil ketika ia membiarkan hatinya menemukan jalannya sendiri.

Ia sesekali bertemu Anya di kantor. Mereka saling menyapa dengan senyuman singkat, tetapi tidak ada lagi percakapan yang mendalam. Rian melihat Anya tertawa dengan rekan kerja lainnya, dan ia merasa sedikit cemburu. Tapi ia tahu bahwa ia tidak bisa menyalahkan siapa pun selain dirinya sendiri.

Rian melanjutkan hidupnya, memfokuskan diri pada pekerjaannya dan mencoba menjadi orang yang lebih baik. Ia belajar untuk membuka diri, untuk berinteraksi dengan orang lain tanpa bergantung pada kode atau algoritma. Ia belajar bahwa cinta sejati membutuhkan keberanian, kerentanan, dan kejujuran.

Suatu hari, ketika ia sedang bekerja larut malam, ia menerima pesan di komputernya. Pesan itu berasal dari Anya.

"Kopi?" tulisnya.

Rian terkejut. Ia ragu sejenak, lalu mengetik balasan: "Tentu."

Mereka bertemu di kafetaria kantor yang sepi. Tidak ada algoritma, tidak ada kode, hanya dua orang yang duduk berhadapan, siap untuk memulai percakapan baru. Rian tahu bahwa ia tidak bisa mengendalikan apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi ia siap untuk mengambil risiko. Ia tahu bahwa kali ini, ia akan membiarkan hatinya memimpin. Karena terkadang, cinta sejati ditemukan bukan melalui algoritma, tetapi melalui keberanian untuk menjadi manusia.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI