Ketika Algoritma Lebih Memahami Cintaku Daripada Dirimu

Dipublikasikan pada: 19 Jul 2025 - 03:20:18 wib
Dibaca: 183 kali
Hujan mengetuk-ngetuk jendela kafe, iramanya senada dengan degup jantungku yang tak karuan. Di seberang meja, duduklah Ardi, pria yang selama lima tahun terakhir menjadi definisi “rumah” bagiku. Atau setidaknya, begitulah dulu. Sekarang, keheningan di antara kami terasa lebih tebal dan menusuk daripada dinginnya hujan di luar.

“Jadi, ini yang mau kamu bicarakan?” tanyaku, berusaha menyembunyikan getar dalam suara. Ardi mengangguk pelan, matanya menghindari tatapanku.

“Aku… aku rasa kita sudah tidak sejalan, Anya,” ucapnya akhirnya, kata-kata itu bagai pecahan kaca yang menghantam dadaku.

“Tidak sejalan? Setelah lima tahun? Karena apa? Karena kamu lebih sibuk dengan proyek AI barumu itu daripada aku?” Nada bicaraku mulai meninggi, emosi yang selama ini kupendam akhirnya meluap.

Ardi menghela napas panjang. “Bukan begitu, Anya. Aku hanya merasa… kita tidak lagi saling mengerti. Kamu lebih fokus pada karirmu sebagai penulis, aku tenggelam dalam dunia teknologi. Dulu, kita punya banyak kesamaan, sekarang…”

“Sekarang apa? Sekarang algoritma ciptaanmu lebih memahami dirimu daripada aku?” Aku memotong ucapannya, sinis. Ardi terdiam, dan diamnya itu adalah jawaban yang paling menyakitkan.

Aku mengenal Ardi sejak masa kuliah. Kami sama-sama kutu buku, sama-sama idealis, sama-sama bermimpi tentang masa depan yang cerah. Cintaku padanya tumbuh perlahan, seperti bibit yang disiram dengan perhatian dan kasih sayang. Kami berdua menyaksikan perubahan satu sama lain, saling mendukung dalam suka dan duka.

Tapi, seiring berjalannya waktu, Ardi semakin terobsesi dengan dunia teknologi. Ia menciptakan program demi program, algoritma demi algoritma. Aku tidak masalah dengan itu, awalnya. Aku bangga dengan pencapaiannya. Aku bahkan sering menemaninya begadang di laboratorium, membawakan kopi dan makanan ringan, mencoba memahami kode-kode rumit yang terpampang di layarnya.

Namun, obsesi itu lama-lama menjadi tembok pemisah di antara kami. Ardi semakin jarang berbicara tentang perasaannya, tentang mimpinya, tentang hal-hal yang dulu membuat kami terhubung. Ia lebih sering berbicara tentang jaringan neural, machine learning, dan kecerdasan buatan. Aku merasa seperti sedang berbicara dengan robot, bukan dengan pria yang kucintai.

Aku mencoba berbicara padanya, mengungkapkan kekhawatiranku, perasaanku yang semakin hari semakin hancur. Tapi, Ardi selalu berkilah, mengatakan bahwa aku hanya terlalu sensitif, bahwa ia hanya sedang fokus pada pekerjaannya.

Hingga akhirnya, malam ini, di kafe yang sama tempat kami merayakan ulang tahun jadian kami lima tahun lalu, Ardi mengucapkan kata-kata yang paling kutakutkan. Ia mengatakan bahwa kami tidak lagi sejalan.

“Kamu tahu, Ardi,” ujarku setelah beberapa saat hening, suaraku lebih tenang sekarang, meskipun hatiku masih bergejolak. “Aku pernah mencoba memahami algoritma ciptaanmu. Aku membaca artikel-artikel tentang AI, aku bahkan mencoba belajar coding. Tapi, yang tidak bisa aku pahami adalah, bagaimana bisa kamu lebih percaya pada algoritma daripada pada intuisimu sendiri, pada hatimu sendiri?”

Ardi mendongak, menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. “Algoritma itu objektif, Anya. Ia tidak dipengaruhi oleh emosi, oleh prasangka. Ia hanya melihat data dan memberikan solusi yang paling optimal.”

“Dan kamu pikir cinta bisa dihitung dengan data? Kamu pikir hubungan kita bisa dioptimalkan dengan algoritma?” Aku tertawa getir. “Kamu salah besar, Ardi. Cinta itu bukan persamaan matematika. Cinta itu tentang perasaan, tentang kepercayaan, tentang kompromi, tentang segala sesuatu yang tidak bisa dikuantifikasi oleh angka.”

Aku berdiri, meraih tasku, dan menatap Ardi untuk terakhir kalinya. “Aku harap, suatu hari nanti, kamu akan menyadari bahwa algoritma yang paling canggih sekalipun tidak akan pernah bisa menggantikan kehangatan pelukan, ketulusan senyuman, dan kedalaman cinta sejati.”

Aku berbalik dan berjalan keluar kafe, menerobos hujan yang semakin deras. Air mata bercampur dengan air hujan, membasahi pipiku. Aku tidak tahu kemana aku akan pergi, apa yang akan kulakukan. Yang aku tahu pasti, aku harus melupakan Ardi, melupakan pria yang lebih memilih algoritma daripada cintaku.

Beberapa bulan berlalu. Aku mencoba menyibukkan diri dengan menulis. Aku menyelesaikan novel yang sudah lama tertunda, aku mengikuti workshop menulis, aku bertemu dengan teman-teman baru. Aku mencoba melupakan Ardi, meskipun bayangannya masih sering menghantuiku.

Suatu hari, aku menerima email dari Ardi. Awalnya, aku ragu untuk membukanya. Aku takut akan terluka lagi. Tapi, rasa ingin tahu mengalahkanku.

Email itu berisi permintaan maaf. Ardi mengakui bahwa ia telah melakukan kesalahan besar. Ia mengakui bahwa ia telah terlalu terobsesi dengan teknologi hingga melupakan hal yang paling penting dalam hidupnya, yaitu cinta.

“Aku menciptakan algoritma yang bisa memprediksi perilaku manusia, yang bisa memberikan rekomendasi terbaik untuk setiap orang,” tulis Ardi. “Tapi, algoritma itu tidak bisa memberitahuku bagaimana cara mencintai, bagaimana cara menghargai hubungan, bagaimana cara menjadi pasangan yang baik. Aku baru menyadarinya setelah kehilanganmu.”

Ardi juga menceritakan tentang proyek AI barunya. Ia menciptakan algoritma yang bisa membantu orang-orang untuk menemukan cinta sejati. Algoritma itu menganalisis data dari jutaan profil pengguna, kemudian mencocokkan mereka berdasarkan minat, kepribadian, dan nilai-nilai yang sama.

“Anehnya, Anya,” tulis Ardi, “algoritma itu terus-menerus merekomendasikanmu kepadaku. Algoritma itu mengatakan bahwa kita adalah pasangan yang paling cocok, bahwa kita memiliki potensi untuk membangun hubungan yang bahagia dan langgeng. Aku awalnya tidak percaya. Tapi, semakin aku memikirkannya, semakin aku sadar bahwa algoritma itu benar. Aku merindukanmu, Anya. Aku merindukan kita.”

Ardi mengajakku bertemu. Ia ingin menjelaskan semuanya, ia ingin memperbaiki kesalahannya, ia ingin memulai semuanya dari awal.

Aku ragu. Sebagian diriku masih terluka, masih marah. Tapi, sebagian diriku yang lain masih mencintai Ardi, masih berharap bahwa kami bisa kembali bersama.

Aku memutuskan untuk bertemu dengannya.

Di kafe yang sama, di meja yang sama, kami bertemu lagi. Ardi terlihat lebih kurus, lebih pucat. Matanya memancarkan penyesalan yang mendalam.

“Aku minta maaf, Anya,” ucapnya lirih. “Aku tahu, kata-kata tidak akan cukup untuk menghapus rasa sakit yang telah kulukiskan. Tapi, aku berjanji, aku akan melakukan apa pun untuk mendapatkanmu kembali.”

Aku menatap Ardi, mencoba mencari kejujuran di matanya. Aku melihat penyesalan, aku melihat cinta, aku melihat harapan.

Aku mengulurkan tanganku dan menggenggam tangannya. “Aku tidak tahu apakah kita bisa kembali seperti dulu, Ardi,” ujarku. “Tapi, aku bersedia mencoba. Aku bersedia memberimu kesempatan kedua.”

Ardi tersenyum, senyuman yang sudah lama tidak kulihat. Senyuman itu membuat hatiku menghangat.

Kami berdua tahu bahwa perjalanan di depan tidak akan mudah. Kami harus belajar untuk saling memahami lagi, untuk saling menghargai lagi, untuk saling mencintai lagi. Tapi, kami berdua juga percaya bahwa cinta kami cukup kuat untuk mengatasi segala rintangan.

Mungkin, algoritma ciptaan Ardi memang lebih memahami cintaku daripada dirinya sendiri pada awalnya. Tapi, pada akhirnya, hati nurani dan cinta sejati lah yang membimbingnya kembali kepadaku. Dan itulah yang terpenting.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI